BerandaRenunganKisahAKU TETAP BERTAHAN

AKU TETAP BERTAHAN

- Advertisement -spot_img

gambar-bermunajat

Liburan Ramadhon kali ini berbeda dengan liburan di tahun–tahun sebelumnya. Bingung antara pulang atau muqim di pondok. Walaupun jarak antara rumah dan pondok dapat di tempuh selama satu setengah jam. Tapi ada kejadian yang membuat aku takut untuk pulang ke rumah. Aku takut dicemooh oleh keluargaku. Karena qadarulloh… Allah memberi kesempatan kepadaku untuk mendalami ilmu di kelas yang sama, ya… ’’Aku tinggal kelas’’.

Masya Allah ya… Seorang Abi itu tak kenal lelah. Walaupun seharian bekerja di bawah terik matahari, ia tak pernah mengeluh. Seorang Abi itu motivator terbesar dalam hidupku. Pokoknya aku bangga deh sama abi. Abi adalah sosok terhebat yang pernah aku tahu.

Namun akhir-akhir ini aku sedikit berubah memandang abiku. karena ada peristiwa yang membuat hati  ini tersayat. Tapi walau bagaimanapun beliau tetaplah sosok yang sangat berjasa dalam hidupku.

Pagi itu, Bagaikan di sambar petir. Sakit….marah ….kecewa! Begitulah yang aku rasakan. Seseorang yang selama ini aku percaya telah khianat. Entah kenapa? Pagi itu timbul rasa penasaranku untuk melihat kotak masuk di HP milik Abi. Setelah kubuka tertulis sebuah pesan yang tidak seharusnya ada. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan karena saat itu aku masih duduk di bangku SMP. Aku dipaksa  untuk memikirkan hal itu.

Kuputuskan  untuk memberitahu Umi dan Umi memintaku untuk menyimpan nomor tersebut di HP Umi. Betapa terkejutnya aku ketika aku tahu bahwa ia adalah wanita yang selama ini aku yakini kebaikannya. Aku langsung memberitahu  hal itu kepada Umi. Anehnya wajah Umi terlihat biasa saja. Sejak itu aku tahu, Umi sudah terbiasa dengan sikap Abi. Aku takjub dengan ketegarannya.

Sejak kejadian itu, aku yang dulunya polos, mulai mencari perhatian dari orang lain. Itu semua aku lakukan hanya untuk mencari kasih sayang yang mulai berkurang. Seiring berjalannya waktu aku semakin tertekan dengan perilaku Abi yang semakin hari semakin menjauh dari batasannya. Meski beliau telah banyak yang menasehati, tapi tidak dapat dipungkiri bahwa hidayah tak akan datang kecuali atas izin Allah. “Nak… kalau bukan karena anak-anak, Umi udah minta cerai dari dulu.” kata-kata  itu sering membuatku menangis ketika mengingatnya. Kasihan adik-adikku yang masih sangat butuh  kasih sayang dari Umi dan Abi. Kalau sampai keduanya bercerai, apa yang akan terjadi pada mereka? Ya Allah … kuatkanlah kami.

Setelah seminggu sakit di pondok, aku diantar ustadzah untuk berobat ke dokter  terdekat. Dokter itu adalah ustadz bidang kesehatan di pondokku. Diagnosa kram ginjal pun kudapatkan, hingga akhirnya ustadzah mengizinkanku untuk berobat di rumah selama 6 hari.

Terik mentari semakin menambah panas hatiku. Bagaimana tidak? Aku melihat perbuatan yang tak sewajarnya, aku tak mampu memberitahukannya pada Umi, cukup hatiku yang remuk redam. Karenanya, aku tak mau melihat adek-adek terlantar oleh Umi. Maafkan aku, aku belum siap menghadapi kenyataan yang akan terjadi.

Senja pun mulai menampakkan eloknya yang mengharuskan ku untuk segera kembali ke pondok dengan beban yang masih mengganggu pikiranku. Akhirnya aku kembali ke pondok karena aku tahu satu minggu lagi ujian semester genap akan aku jalani. Akupun menjalani ujian dengan pikiran yang kacau. Bagaimana mungkin aku bisa konsentrasi sedangkan keluargaku sedang terjadi ketidak-harmonisan. Padahal bagiku keluarga adalah salah satu motivator dalam belajarku.

Qadarullah… aku dinyatakan tinggal kelas. Sehari kemudian Allah mengizinkanku untuk bertemu keluargaku. Berbagai cemoohan pun kudapatkan karena keluargaku terkenal pandai. Jadi bagi mereka adalah aib yang sangat besar ketika mendengar bahwa aku tidak naik kelas. Dengan harap-harap cemas akupun menata hati untuk memberitahu Umi tentang peristiwa yang membebani pikiranku. “Saat ini Umi udah punya anak besar. Umi capek nasehatin Abi, Umi udah ridha mau kalian apakan Abimu.” kata Umi terbata-bata.

Keesokan harinya…

“Nduk… Kamu beneran mau tetap sekolah di pondok? Abi penginnya kamu di rumah saja melanjutkan bisnis Abi. Sebenarnya hari ini Abi ada kejutan buat kamu. Kemaren Abi ke dealer beli motor buat kamu dan insya’allah hari ini akan diantar.” bujuk Abi.

Astaghfirullah…… Ya Allah… Ya Hayyul Qoyyum… Kuatkanlah keimananku. Aku tak mungkin menggadaikan keimananku demi motor baru dan pekerjaan itu. Ku coba merangkai kata untuk menolak tawaran Abi. Alhamdulillah lewat perantara doa-doaku. Abi bisa luluh. Ilmu telah menungguku yang mengharuskanku kembali ke lautan ilmu. Kan ku jadikan cemohan mereka sebagai cambukan untukku ketika futur menghinggapiku. Aku tetap akan bertahan insya’allah. Ya Allah……Mudahkan semua urusanku!  Amiiiin.

                                                                                      HHH “Faqirun ila Afwi Robby’’

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami