BerandaRenunganKisahKu Temukan Jalan Hidupku

Ku Temukan Jalan Hidupku

- Advertisement -spot_img

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Ingatanku kembali memutar ke belakang. Aku teringat bagaimana masa kecilku dulu. Di mana aku belum tahu akan makna dari hidup ini. Yang aku pikirkan hanyalah kapan aku gede dan bisa hidup seperti orang-orang yang aku lihat saat itu. Hingga aku sering melamun dan bisa dibilang aku tidak pernah belajar lagi, selain hanya di sekolah dan TPA di desaku.

Saat itu aku baru duduk di kelas 4 MI (Madrasah Ibtida’iyah). Di mana aku merasa telah kehilangan hidupku. Sebenarnya aku adalah seorang anak yang bisa dibilang cukup pandai. Hampir setiap orang disekitarku selalu mengagumkan prestasiku. Namun aku tidak pernah mempedulikannya. Yang ada dibenakku hanyalah mengapa semua ini menimpaku. Mengapa umiku begitu cepat meninggalkanku.

Hingga pagi hari setelah umiku meninggal, aku masih berdiam diri tak berbicara sedikitpun. Seakan-akan aku tidak terima dengan semua ini. Sekian banyak saudara dan kerabatku yang menasehatiku. Mereka semua bilang kalau wajah umiku masih tersenyum dan disekitarnya semerbak bau wangi. Bahkan tak jarang aku mendengar cerita orang-orang di desaku, katanya mereka terbangun di tengah malam karena mencium bau wangi ketika ambulan yang membawa jenazah umiku lewat. Begitu juga abiku, tak bosan-bosannya ia menasehatiku. Namun aku terlalu naif dengan semua itu. Aku menganggap itu semua bohong. Sebab aku sendiri tadak merasakannya. Bahkan mereka tidak memperlihatkan jenazah umiku kepadaku.

Sebenarnya aku juga merasa kesal pada keluargaku. Seminggu sebelum umiku meningal, mereka tidak mempertemukanku dengannya. Aku masih ingat betul sore hari sebelum umiku dibawa ke rumah sakit. Umi memanggilku dan mengatakan sesuatu, dan itulah kata terakhirnya yang ia ucapkan kepadaku, “Ghulam…. Tolong panggilkan Abi.” Suaranya terdengar lirih. Sore itu memang umiku sudah mulai sakit. Aku hanya menurutinya dan tidak tahu apa yang Umi bicarakan pada Abi. Yang jelas terdengar lirih dan kelihatan begitu serius.

Pagi hari sebelum aku berangkat sekolah Ummiku masih tidur. Kata Abi, Ummi masih sakit. Jadi aku tidak usah pamitan sama Ummi. Sepulang sekolah ku dapati rumahku begitu sepi, lengang, dan tak ada seorangpun di dalam. Kata tanteku, Ummi sedang berobat dan adikku masih tidur di rumah tante. Namun hingga sore hari Abi dan Ummi tak kunjung pulang. Aku pun bertanya pada tetangga tentang hal ini, hingga aku tau urusan ini benar-benar serius. Ummi dirawat di rumah sakit. Ketika aku ingin menyusul Ummi, semua keluarga melarang dan tak ada yang mau mengantarku ke sana. Mereka bilang Ummiku hanya sebentar di rumah sakit. Aku pun menurut hingga akhirnya aku tak pernah lagi melihat wajah lembut Ummi, kecuali setelah dibalut kain putih. Itu pun hanya ketika diangkat sebelum dikebumikan.

Lama-kelamaan, aku mulai bisa menerima semua ini dan masuk lagi ke sekolah setelah sekian waktu berlalu. Aku mendapati kesepian melanda rumahku. Rumah kosong tak berpenghuni. Tidak ada lagi yang menyambutku selepas pulang dari sekolah selain hanya kesepian. Tiada lagi canda, tawa, dan juga tangisan anak kecil terdengar di dalamnya. Adikku yang baru berusia 9 bulan terpaksa diasuh oleh tante dan ikut tinggal di rumahnya. Bermain bersama teman-teman sepulang sekolah akhirnya menjadi cara bagiku untuk mengusir rasa sepi di hati. Sering sekali aku pulang malam karena bergaul dengan teman-temanku yang nakal. Abiku sering memarahiku karena kelakuanku. Tapi, aku tak pernah mempedulikannya, acuh.

“Ghulam terusin sekalian! Kalau nakal jangan tanggung-tanggung.” Dengan nada tinggi Abi memarahiku. Bahkan sampai memukulku gara-gara aku pulang malam terus. Ketika itu aku tersadar akan salahku. Aku sering memalukan Abiku karena hatiku sudah begitu keras, aku tidak juga berubah. Seakan tidak ada gunanya Abiku marah-marah tiap hari, percuma.

Aku terus mengikuti alur hidupku apa adanya. Mengalir bak air sungai, hingga aku tiba di tahun ke enam sekolahku. Tidak ada protes ini, ataupun protes itu. Semua berjalan begitu saja. Tapi aku masih punya rasa iri ketika melihat teman-teman bersama ibunya, bercengkrama. Rasa ingin kembali mendapat kasih sayang dari seorang ibu muncul di benakku. Hingga datang kepadaku seorang ibu dan bapak yang ingin mengadopsiku sebagai anak laki-lakinya. Mereka tidak pandai dan berprestasi. Ibu itu sering sekali menasehatiku, agar aku rajin belajar. Tapi aku tahu kenakalanku sudah terlampau jauh. Aku juga sangat malas untuk belajar. Dan entah mengapa aku masih merasa lebih beruntung ketika Abiku tidak memberikanku pada mereka, walaupun aku begitu bandel.

Setelah kelulusanku dari bangku kelas 6, aku dimasukkan ke sebuah pesantren di daerah Kendal. Aku tidak protes, apa lagi menolak. Karena aku belum tahu apa arti dari hidup ini. Yang aku tahu hanyalah aku harus menjalani hidup ini apa adanya dan sesuai alur yang ada. Namun aku mulai menemukan makna hidup di pesantren ini. Aku juga mulai merasakan indahnya hidup. Masa lalu yang menyedihkan pun perlahan sirna dari diriku. Aku terus memperhatikan dan meresapi ceramah dan motifasi dari ustadz-ustadzku. Aku perhatikan semua pelajaran yang ada dengan seksama. Ternyata semua yang dulu pernah Abiku ajarkan kepadaku, juga diajarkan di pesantren. Aku baru menyesal ketika teringat dulu aku begitu cuek ketika dinasehati. Dulu aku tidak pernah memperhatikan ketika diajari, selain hanya pura-pura saja. Namun aku berusaha untuk bisa memperbaiki semuanya di pesantren. Terima kasih ya Allah, Engkau telah tunjukkan jalan yang terbaik dalam hidup ini.

 

                                                                                               Ghulam

 

 

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami