BerandaKonsultasiPendistribusian Aqiqah

Pendistribusian Aqiqah

- Advertisement -spot_img

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum, saya ingin mengajukan pertanyaan kepada ustadz mengenai pendistribusian aqiqah, apakah dalam hal ini ada ketentuan khusus yang berlaku? Cukup sekian, Jazakumullah khairan.

Jawaban :

Walaikumsalam, berbica soal pendistribusian aqiqah, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan dan dijelaskan sebagaimana berikut :

  1. Memanfaatkan Sembelihan Aqiqah

            Hukum aqiqah setelah melalui proses penyembelihan adalah sebagaimana hukum yang berlaku dalam udhiyah yang ditinjau dari sisi pendistribusiannya menurut kalangan ahlul ilmi. Hal ini dikuatkan dengan pendapat sebagian ulama di antaranya adalah :

Al-Hasan Al-Bashri mengatakan, “Aqiqah itu segala sesuatunya dikerjakan sama seperti halnya udhiyah”. (Al-Muhalla, 4/237)

Atha’ mengatakan, “Orang yang mempunyai hajat aqiqah itu boleh memakan hasil sembelihannya dan membagikannya, karena Allah memerintahkan demikian. Atau jika mau, bisa dianggap sebagai sedekah. (Al-Muhalla, 4/237).

Al-Hafizh Ibnu Abdil Barr mengatakan, “Hal-hal yang dilakukan saat aqiqah itu dilalui sama seperti apa yang dilalui ketika ber-qurban. Yakni dagingnya boleh dimakan, disedekahkan dan diberikan kepada tetangga. Pendapat ini seperti ini juga terdapat dalam riwayat Aisyah dan juga pendapat yang dipegang oleh jumhur ulama’ (Fathul Malik, 7/109)

Dan hal terpenting dalam pendistribusian aqiqah, para ulama tidak ada yang berselisih pendapat mengenai tata cara pendistribusiannya. Di antara mereka ada yang berpendapat dibagikan kepada para fakir miskin berupa daging mentah, ada juga yang berpendapat untuk dimasak kemudian di bagikan ke tetangga, atau dengan cara dibuatkan makanan kemudian mengundang para fakir miskin dan tetangga untujk menikmati sajian walimah aqiqah tersebut. Hanya saja bila disajikan dalam bentuk yang sudah dimasak lebih baik, karena tidak memberatkan memberatkan mereka untuk memasak. (Diintisarikan dari kitab Tuhfah al-Maulud, hlm. 59-60)

  1. Memberikan potongan daging bagian kaki hewan aqiqah kepada orang yang membantu persalinan (Bidan)

Sebagian ahlul ilmu menganjurkan agar orang yang membantu proses persalinan agar mendapatkan jatah daging bagian kaki hewan aqiqah. Sebagai bentuk rasa berterima kasih atas jasanya, sehingga diberikan jatah daging pada bagian yang spesial dan disukai banyak orang. Mereka berhujjah dengan perbuatan sahabat Ali bin Abi Thalib yang pernah meng-aqiqahi untuk anaknya dan memberikan bagian kaki hewan aqiqah kepada orang yang membantu persalinan istrinya. (Tuhfah al-Muhtaj ila Adillah al-Minhaj, 2/539)

  1. Memberi makan non-muslim dari hasil aqiqah

Sebagian ahlul ilmi berpendapat makruh hukumnya memberi makan orang kafir yang diambilkan dari hasil sembelihan aqiqah. Hal semacam ini pernah ditanyakan kepada Imam Malik perihal apakah orang dari kalangan Nasrani boleh diberi makan dari hasil udhiyah dan aqiqah, namun beliau berpendapat bahwa hendaknya hasil sembelihan udhiyah dan aqiqah tidak didistribusikan kepada mereka. (Mawahib al-Jalil, 4/393)

Hanya saja dalam riwayat lain beliau juga berpendapat bahwa yang demikian itu diperbolehkan dalam hal aqiqah. Kebolehan tersebut di-qiyas kan dengan kebolehannya dalam hal udhiyah. (Mawahib al-Jalil, 4/393)

Pendapat di atas juga dikuatkan oleh Syeikh Hisamuddin dalam kitabnya al-Mufashal fi Ahkam al-Aqiqah yang menjelaskan bahwa tidak ada alasan yang menghalangi pemberian makan kepada Ahli Dzimmah yang diambilakan dari aqiqah. Terlebih lagi bilamana target pendistribusiannya adalah para fakir miskin, tetangga dan kerabat.

  1. Hukum memanfaatkan kulit hewan aqiqah

Pada asalnya bagian manapun dari sembelihan hewan aqiqah tidak boleh diperjualbelikan. Pasalnya sebagian besar permasalahan dalam aqiqah itu dikaitkan dengan berbagai permasalahan dalam udhiyah.

Sedangkan bila merujuk pada kajian dalam hal udhiyah, para ahli fikih telah menetapkan bahwa sesuatu yang diambil dari udhiyah itu tidak boleh diperjualbelikan, baik itu adalah dagingnya, kulitnya, maupun bagian kaki dan kepalanya. Baik itu dia niatkan karena menjalankan kewajiban maupun karena mengamalkan sunnah. Karena di sisi lain imam Ahmad juga menegaskan agar tidak ada bagian mana pun dari sembelihan udhiyah untuk diperjualbelikan. (Hisamuddin Ifanah, Ahkam al-Aqiqah, hlm. 112)

Namun di sisi lain ada juga kalangan yang berpendapat bolehnya menjual kulit hewan aqiqah kemudian menyedekahkan hasil jualnya. Pendapat demikian diambil dari sahabat Ibnu Umar c dan diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir dari Ahmad dan Ishaq (Ibnu Qudamah, al-Mughni, 9/450).

Dalam suatu riwayat dari Aisyah d juga disebutkan bolehnya memanfaatkan kulit hewan aqiqah dengan menjadikannya wadah air, jaket, sandal dan lainnya.  Hal ini di-qiyas kan dengan kulit hewan udhiyah yang dijadikan wadah air yang digunakan untuk membuat nabidz, yaitu air rendaman kurma. (Hisamuddin Ifanah, Ahkam al-Aqiqah, hlm. 113)

Perlu diperjelas bahwa menurut pakar fikih segala hal yang berlaku dalam udhiyah ada kesamaan dengan yang berlaku pada aqiqah sebagaimana pendapat madzhab Maliki, madzhab Syafi’i, dan madzhab Hambali dalam suatu riwayat. Yakni tetap adanya larangan menjual bagian manapun termasuk kulit aqiqah. (Al-Haththabi, Mawahib al-Jalil, 4/394)

Hal ini diperjelas lagi oleh Ibnu Rusyd bahwa hukum daging aqiqah , kulit dan seluruh bagiannya berlaku sebagaimana hukum daging udhiyah, baik dalam hal memakannya, menyedekahkannya, serta mengenai larangan untuk diperjualbelikan. (Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, 1/377)

  1. Kemakruhan memecah tulang hewan aqiqah

Dalam hal ini ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama. Di antaranya adalah :

Pendapat madzhab Syafi’i dan Hambali yang menganjurkan pemotongan hewan aqiqah sesuai dengan ruas tulangnya, tidak sampai menghancurkan tulangnya, dan dimasak dalam keadaan utuh perbagian anggota badannya. Mereka ber-hujjah dengan hadits seorang wanita pembantu persalinan fatimah yang diberi bagian daging aqiqah bagian kaki yang masih utuh. (Hisamuddin Ifanah, Ahkam al-Aqiqah, hlm. 116)

Namun dalam satu riwayat imam Nawawi menambahkan bahwa dalam perkara ini tidak ada kepastian larangan yang dimaksud. Dan pendapat yang paling shahih menurut beliau tidak makruh.(An-Nawai, al-Majmu’, 8/430)

Berbeda dengan imam Malik yang berpendapat bahwa bolehnya memecah tulang sembelihan hewan aqiqah, bahkan dianjurkan. Hal itu karena ada maksud untuk menyelisihi perbuatan orang-orang pada zaman jahiliyah yang tidak memecah pemotongan hewan aqiqah sebagaiman juga pendapat dari sebagian madzhab Syafi’i. (Syarh al-Kharsyi, 3/48).

Wallahu A’lam Bish Shawab

 

Oleh : Qolam El-Fikr

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami