Daftar Isi
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ لِلّٰهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ، وَنَعُوْذُ بِاللّٰهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهْدِهِ اللّٰهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ، وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ.
نَحْمَدُهُ سُبْحَانَهُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ، حَمْدًا يُوَافِي نِعَمَهُ وَيُكَافِئُ مَزِيْدَهُ. نَحْمَدُهُ عَلَى نِعْمَةِ الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ، وَعَلَى نِعَمٍ لَا تُحْصَى عَدَدًا، ظَاهِرَةً وَبَاطِنَةً، نِعَمِ الْأَمْنِ وَالْعَافِيَةِ، وَنِعْمَةِ الْهُدَى وَالِاسْتِقَامَةِ.
وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللّٰهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ، إِلٰهًا حَقًّا، وَرَبًّا صِدْقًا، نَشْهَدُ أَنَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى لَا يُعْبَدُ إِلَّا إِيَّاهُ، وَلَا يُطَاعُ إِلَّا فِيْمَا أَمَرَ.
وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ، بَلَّغَ الرِّسَالَةَ، وَأَدَّى الْأَمَانَةَ، وَنَصَحَ الْأُمَّةَ، فَصَلَوَاتُ رَبِّي وَسَلَامُهُ عَلَيْهِ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ.
أَمَّا بَعْدُ، فَيَا أَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللّٰهِ، فَإِنَّ التَّقْوَى خَيْرُ زَادٍ لِيَوْمِ الْمَعَادِ. قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ.
وَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اتَّقِ اللّٰهَ حَيْثُمَا كُنْتَ، وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا، وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ.
قَالَ اللّٰهُ تَعَالَى: لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ.
Mukadimah
Hadirin jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah, marilah kita panjatkan puji dan syukur ke hadirat Allah l atas segala limpahan nikmat-Nya yang tiada terhitung, terutama nikmat iman dan Islam yang hingga hari ini masih Allah karuniakan kepada kita. Dengan iman itulah hati menjadi terang, dan dengan Islam itulah hidup memiliki arah dan batas. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan kita Nabi Muhammad ﷺ, teladan agung dalam kelembutan sikap dan keteguhan prinsip, kepada keluarga beliau, para sahabat, serta umatnya yang setia berjalan di atas petunjuk hingga akhir zaman.
Selanjutnya, melalui mimbar yang mulia ini, khatib berwasiat kepada diri khatib pribadi dan kepada seluruh jama’ah sekalian untuk senantiasa meningkatkan kualitas iman dan takwa kepada Allah l. Takwa bukan hanya diucapkan, tetapi dijaga dalam sikap, pilihan, dan batasan hidup yang kita pegang. Di tengah derasnya arus zaman yang sering mengaburkan makna toleransi, iman dan takwa menjadi kompas agar kita tetap mampu bersikap lapang dada tanpa kehilangan jati diri, serta berbuat baik kepada siapa pun tanpa harus mengorbankan prinsip-prinsip agama yang telah Allah tetapkan.
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, dewasa ini kita hidup di tengah zaman yang sangat lantang mengumandangkan kata toleransi. Ia diucapkan di mimbar-mimbar, ditulis di media, dan digemakan di ruang publik, seakan menjadi ukuran utama kebaikan seseorang. Namun sayangnya, semakin sering kata itu disebut, semakin kabur pula batas maknanya. Toleransi tidak lagi sekadar dimaknai sebagai sikap saling menghormati dan hidup berdampingan, tetapi perlahan bergeser menjadi tuntutan untuk mencairkan keyakinan, mengaburkan prinsip, bahkan menekan hati nurani agar membenarkan sesuatu yang sejatinya bertentangan dengan iman. Banyak di antara kita yang akhirnya bingung: antara ingin menjaga kedamaian, tetapi takut kehilangan jati diri; antara ingin terlihat ramah, namun khawatir telah melangkah terlalu jauh. Di sinilah ujian itu hadir, bukan pada keras atau lembutnya sikap kita, melainkan pada kemampuan kita menjaga iman tetap utuh di tengah derasnya arus zaman yang terus mengaburkan batas antara toleransi dan kompromi akidah.
Realitas Toleransi di Zaman Sekarang
Jama’ah Jum’at yang dimuliakan Allah, realitas toleransi di zaman sekarang sering kali bergeser dari makna yang lurus. Tidak sedikit orang memahami toleransi sebagai sikap menyamakan semua agama dan keyakinan, seolah-olah kebenaran bersifat relatif dan tidak lagi memiliki batas yang tegas. Atas nama saling menghormati, umat Islam kerap didorong untuk mengendurkan keyakinannya, bahkan dianggap berlebihan ketika tetap berpegang teguh pada prinsip akidah. Padahal Islam sejak awal telah mengajarkan kejujuran dalam perbedaan, hidup berdampingan tanpa harus meleburkan iman. Allah Ta’ala menegaskan batas itu dengan firman-Nya:
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
“Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS. Al-Kāfirūn: 6)
Ayat ini bukanlah seruan untuk bermusuhan, melainkan penegasan bahwa toleransi tidak berarti menghapus perbedaan keyakinan, tetapi menjaga kehormatan iman sambil tetap berbuat adil dan berakhlak mulia.
Lebih dari itu, tekanan sosial di zaman ini sering hadir secara halus namun menghimpit. Umat Islam didorong untuk ikut merayakan, membenarkan, atau setidaknya diam terhadap penyimpangan akidah, demi dianggap toleran, moderat, dan tidak kaku. Media sosial dan ruang publik pun menjadi ladang normalisasi kompromi iman atas nama kebersamaan dan persatuan semu. Padahal Allah telah mengingatkan bahwa mengikuti arus mayoritas tanpa ilmu dan iman justru dapat menyesatkan. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تُطِعْ أَكْثَرَ مَنْ فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَنْ سَبِيْلِ اللّٰهِ
“Dan jika engkau menuruti kebanyakan orang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah.” (QS. Al-An’ām: 116)
Ayat ini seakan menggugah hati kita, bahwa menjaga iman di tengah derasnya arus zaman adalah ujian besar, dan di situlah kualitas takwa seorang hamba benar-benar diuji: mampu tetap lembut dalam akhlak, namun kokoh dalam prinsip.
Hakikat Toleransi dalam Islam
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, hakikat toleransi dalam Islam bukanlah sikap lemah atau kehilangan arah, melainkan sikap adil, lapang dada, dan berbuat baik kepada siapa pun tanpa menzalimi diri sendiri maupun orang lain. Islam tidak mengajarkan kebencian, apalagi kezaliman, hanya karena perbedaan keyakinan. Bahkan kepada orang yang berbeda iman, Islam tetap memerintahkan akhlak yang mulia, kejujuran, dan keadilan. Inilah toleransi yang lahir dari iman yang sehat, bukan dari rasa rendah diri. Sebagaimana dijelaskan oleh Imam Ibnu Katsir rahimahullah, ketika menafsirkan ayat tentang hubungan dengan non-Muslim, beliau menegaskan bahwa Islam memerintahkan keadilan dan kebaikan kepada siapa pun yang tidak memerangi kaum Muslimin, tanpa harus mencampuradukkan urusan agama (Tafsīr Ibni Katsīr, juz 8).
Namun perlu disadari oleh kita bersama, bahwa dalam Islam ada perbedaan yang sangat mendasar antara toleransi sosial dan kompromi akidah. Toleransi sosial berkaitan dengan muamalah: bekerja sama, saling menolong dalam urusan kemanusiaan, menjaga kedamaian hidup bermasyarakat. Adapun akidah adalah wilayah keyakinan yang tidak mengenal tawar-menawar. Imam Al-Qurthubi rahimahullah menjelaskan bahwa ayat “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” adalah penegasan pemisahan keyakinan, bukan penolakan hidup berdampingan. Setiap agama memiliki batas yang tidak boleh dilanggar, agar kebenaran tetap jelas dan kebatilan tidak disamarkan (Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān, juz 20).
Islam, dengan kesempurnaan ajarannya, mengajarkan umatnya untuk hidup berdampingan tanpa harus mengorbankan prinsip keimanan. Seorang Muslim bisa ramah tanpa harus larut, bisa menghormati tanpa harus menyetujui, dan bisa hidup damai tanpa harus meleburkan keyakinan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa sikap lembut kepada manusia tidak boleh mengantarkan seseorang pada pengorbanan agama, karena menjaga agama adalah bentuk kasih sayang terbesar, baik untuk diri sendiri maupun orang lain (Majmū’ al-Fatāwā, juz 28).
Dari sinilah kita belajar, bahwa toleransi sejati bukanlah menghapus batas, melainkan menjaga keseimbangan antara akhlak yang mulia dan iman yang kokoh.
Teladan Nabi ﷺ dalam Bersikap Toleran
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, jika kita ingin memahami toleransi yang lurus dan bermartabat, maka teladan terbaiknya adalah Nabi Muhammad ﷺ. Dalam kehidupan bermasyarakat, Rasulullah ﷺ dikenal sebagai pribadi yang paling mulia akhlaknya, bahkan kepada mereka yang berbeda iman. Beliau berinteraksi dengan non-Muslim dengan kejujuran, amanah, dan kasih sayang, menepati perjanjian, menghormati hak-hak mereka, serta tidak pernah berbuat zalim. Kelembutan tutur kata dan keindahan akhlak beliau menjadi jembatan dakwah yang membuka banyak hati, tanpa harus memaksa atau menyakiti. Dari sinilah kita belajar bahwa toleransi sejati lahir dari keluhuran budi, bukan dari sikap keras apalagi kebencian.
Namun pada saat yang sama, Rasulullah ﷺ adalah sosok yang paling tegas ketika perkara menyentuh tauhid dan ibadah. Beliau tidak pernah berkompromi dalam urusan akidah, sekalipun ditawari kedudukan, harta, dan kekuasaan agar bersedia mencampuradukkan ajaran. Ketegasan ini bukanlah kekakuan, melainkan bentuk penjagaan terhadap kebenaran yang dititipkan Allah. Dari teladan beliau, kita memahami bahwa kelembutan tidak identik dengan menghapus batas kebenaran. Seorang Muslim bisa sangat santun dalam pergaulan, namun tetap kokoh dalam prinsip, karena justru di situlah kemuliaan iman dan kejujuran dakwah Rasulullah ﷺ tercermin.
Mengapa Toleransi Harus Memiliki Batas
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, toleransi harus memiliki batas karena akidah adalah fondasi paling mendasar dalam kehidupan seorang Muslim. Akidah bukan sekadar identitas, tetapi keyakinan yang menentukan arah hidup dan keselamatan akhirat. Jika fondasi ini digoyahkan atas nama toleransi, maka bangunan iman akan runtuh perlahan tanpa disadari. Allah Ta’ala menegaskan kejelasan iman dan kekufuran sebagai dua jalan yang tidak mungkin disatukan. Ketika Islam mengajarkan toleransi, itu bukan berarti mencampuradukkan keyakinan, tetapi menempatkan iman pada posisinya yang terhormat. Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah menjelaskan bahwa kejelasan akidah adalah rahmat, karena dengan batas itulah kebenaran tetap terjaga dan umat tidak terseret pada kebingungan yang menyesatkan (Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, jilid 1, hlm. 935).
Tanpa batas yang jelas, toleransi akan berubah menjadi relativisme agama, yakni anggapan bahwa semua keyakinan sama benarnya dan tidak ada kebenaran yang pasti. Inilah bahaya besar yang merusak iman secara perlahan, karena hati dipaksa untuk menerima kebatilan sebagai sesuatu yang wajar. Padahal menjaga batas toleransi justru merupakan bentuk kasih sayang, bukan kebencian. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa mencintai manusia tidak boleh mengantarkan pada pembenaran terhadap kesyirikan dan kebatilan, karena kasih sayang sejati adalah menunjukkan jalan kebenaran, bukan menutupinya demi kenyamanan sesaat (Majmū’ al-Fatāwā, juz 7, hlm. 284–285).
Maka ketika seorang Muslim menjaga batas toleransi, sesungguhnya ia sedang menjaga amanah iman, sekaligus meneladani sikap penuh hikmah yang diajarkan oleh Islam: lembut dalam akhlak, namun tegas dalam prinsip.
Batasan-batasan Toleransi yang Perlu Dipahami
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, Islam membolehkan bahkan menganjurkan umatnya untuk berbuat baik kepada siapa pun, tanpa memandang perbedaan agama dan keyakinan. Kebaikan, keadilan, dan akhlak mulia adalah ajaran universal yang menjadi wajah indah Islam. Seorang Muslim diperintahkan untuk bersikap jujur, amanah, dan berbuat ihsan kepada tetangga, rekan kerja, dan siapa saja yang hidup berdampingan dengannya. Namun kebaikan itu memiliki batas yang jelas: tidak boleh sampai membenarkan keyakinan yang bertentangan dengan tauhid. Allah menegaskan bahwa berbuat baik tidak sama dengan meridhai kekufuran. Dalam tafsirnya, Imam Ibnu Katsir menjelaskan bahwa perintah berbuat adil dan baik kepada non-Muslim tidak pernah bermakna membenarkan akidah mereka, karena tauhid adalah hak Allah yang tidak boleh dikompromikan (Ibnu Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓīm, jil. 8, hlm. 90).
Demikian pula dalam urusan kerja sama. Islam membolehkan bekerja sama dalam urusan dunia, sosial, dan kemanusiaan: menolong yang membutuhkan, menjaga keamanan, membangun masyarakat yang damai dan adil. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri pernah bermuamalah dan membuat perjanjian dengan non-Muslim dalam urusan dunia. Namun Islam dengan tegas melarang kerja sama dalam ritual ibadah dan perkara agama. Karena ibadah adalah bentuk penghambaan murni kepada Allah yang tidak boleh dicampuradukkan. Syaikh Abdurrahman As-Sa‘di rahimahullah menjelaskan bahwa ayat “bagimu agamamu dan bagiku agamaku” adalah penetapan batas yang tegas antara muamalah duniawi yang dibolehkan dan urusan ibadah yang harus dijaga kemurniannya (As-Sa‘di, Taisīr al-Karīm ar-Raḥmān fī Tafsīr Kalām al-Mannān, jil. 1, hlm. 935).
Begitu pula dalam sikap menghormati. Islam mengajarkan kita untuk menghormati pemeluk agama lain sebagai sesama manusia, menjaga perasaan mereka, dan tidak bersikap kasar atau merendahkan. Akan tetapi penghormatan itu tidak boleh berubah menjadi keikutsertaan dalam peribadatan agama lain atau mencampuradukkan ajaran. Seorang Muslim boleh hidup damai, berdampingan, dan menjaga persaudaraan kemanusiaan, namun tetap wajib menjaga kemurnian ajaran Islam. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa mencintai dan menghormati manusia tidak boleh mengantarkan pada tasyabbuh dalam ibadah atau penghapusan batas akidah, karena menjaga agama adalah bentuk kasih sayang terbesar bagi diri sendiri dan orang lain (Ibnu Taimiyah, Majmū’ al-Fatāwā, jil. 7, hlm. 284–285). Dari sinilah kita memahami bahwa toleransi yang benar bukanlah menghapus batas, melainkan menjaga keseimbangan antara akhlak yang mulia dan iman yang kokoh.
Refleksi untuk Jamaah
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, dari seluruh uraian ini marilah kita bercermin dan bertanya kepada diri sendiri: sudahkah kita menjadi Muslim yang ramah tanpa kehilangan jati diri? Di tengah derasnya arus opini publik, kita sering diuji bukan dengan paksaan, tetapi dengan tekanan halus agar ikut larut, diam, atau menyetujui sesuatu yang perlahan menggerus iman. Padahal Allah telah mengingatkan kita agar tidak mengikuti sesuatu tanpa ilmu dan keyakinan yang benar. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ
“Dan janganlah engkau mengikuti sesuatu yang tidak engkau ketahui.” (QS. Al-Isrā’: 36)
Seorang Muslim dituntut untuk berani berkata “cukup” ketika iman mulai terancam, karena keteguhan itu bukan tanda kebencian, melainkan bukti kejujuran dalam beragama. Rasulullah ﷺ pun mengingatkan bahwa keselamatan iman sering terletak pada kemampuan menjaga batas, sebagaimana sabda beliau:
مِنْ حُسْنِ إِسْلَامِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لَا يَعْنِيهِ
“Di antara kebaikan Islam seseorang adalah meninggalkan apa yang tidak bermanfaat baginya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2317).
Maka di sanalah kemuliaan seorang hamba diuji: tetap santun dalam sikap, namun tegas menjaga iman agar tetap selamat hingga menghadap Allah.
Penutup Khutbah Pertama
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, sebelum kita beranjak menuju khutbah kedua, marilah kita perkuat kembali tekad untuk senantiasa bertakwa kepada Allah l dengan menjaga keseimbangan antara rahmat dan prinsip. Islam tidak mengajarkan kita menjadi pribadi yang keras hingga menutup pintu kebaikan, tetapi juga tidak membenarkan sikap longgar yang mengorbankan iman. Ketakwaan sejati hadir ketika hati dipenuhi kasih sayang, sementara prinsip dijaga dengan keteguhan. Semoga Allah menjadikan kita hamba-hamba-Nya yang mampu bersikap lembut tanpa kehilangan arah, ramah tanpa larut, dan tegas tanpa kebencian. Dengan itulah kita melangkah menuju khutbah kedua, seraya memohon kepada Allah agar nasihat yang disampaikan benar-benar meresap ke dalam hati, menguatkan iman, dan menuntun langkah kita di jalan yang diridhai-Nya.
بَارَكَ اللَّهُ لِي وَلَكُمْ فِي القُرْآنِ العَظِيمِ، وَنَفَعَنَا بِمَا فِيهِ مِنَ الآيِ وَالذِّكْرِ الحَكِيمِ. أَقُولُ قَوْلِي هَذَا، وَأَسْتَغْفِرُ اللَّهَ العَظِيمَ لِي وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ المُسْلِمِينَ مِنْ كُلِّ ذَنْبٍ، فَاسْتَغْفِرُوهُ، إِنَّهُ هُوَ الغَفُورُ الرَّحِيمُ.
Khutbah Kedua
اَلْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ، كَمَا يُحِبُّ رَبُّنَا وَيَرْضَى. اَلْحَمْدُ لِلَّهِ عَلَى إِحْسَانِهِ، وَالشُّكْرُ لَهُ عَلَى تَوْفِيقِهِ وَامْتِنَانِهِ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلٰهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, inti dari seluruh pesan khutbah ini adalah bahwa toleransi dalam Islam merupakan buah dari akhlak yang mulia, bukan sarana untuk mengaburkan akidah dan mencairkan prinsip keimanan. Seorang Muslim dituntut untuk berlapang dada, bersikap santun, dan menghadirkan kedamaian di tengah masyarakat, namun tetap jujur dan tegas dalam keyakinannya. Islam memerintahkan kita untuk hidup damai, menebar kebaikan, dan menjauhi permusuhan, tetapi pada saat yang sama juga mengajarkan kejelasan sikap agar kebenaran tidak tercampur dengan kebatilan. Dari sinilah keseimbangan itu lahir: hati yang lembut dalam berinteraksi, namun iman yang kokoh dalam prinsip, sehingga toleransi tidak berubah menjadi kompromi akidah, dan kedamaian tidak dibangun di atas pengorbanan iman yang Allah titipkan kepada kita.
Penutup dan Pesan Praktis dalam Kehidupan Sehari-hari
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah, pesan khutbah ini tidak berhenti di mimbar, tetapi harus hidup dalam keseharian kita. Di lingkungan kerja dan sekolah, marilah kita bersikap bijak, santun dalam tutur kata, adil dalam bertindak, serta tidak mudah terseret arus opini yang mengaburkan prinsip. Di ruang media sosial, tempat banyak kata diucapkan tanpa pertimbangan, seorang Muslim dituntut untuk lebih berhati-hati, tidak ikut menyebarkan kebingungan, apalagi pembenaran terhadap kebatilan. Lebih dari itu, tanggung jawab besar ada di dalam keluarga. Orang tua, pendidik, dan siapa pun yang menjadi teladan harus menanamkan kepada anak-anak dan generasi muda bahwa toleransi yang benar adalah menghormati tanpa mencampuradukkan keyakinan, hidup berdampingan tanpa kehilangan jati diri, dan berbuat baik tanpa harus mengorbankan iman.
Sebagai penutup, marilah kita tundukkan hati dan memohon kepada Allah l, semoga Dia menganugerahkan kepada kita kebijaksanaan dalam bersikap, kejernihan dalam menilai, dan keteguhan dalam menjaga iman. Ya Allah, kokohkanlah iman kami di tengah berbagai ujian zaman, lapangkanlah akhlak kami dalam pergaulan, dan lembutkanlah perilaku kami tanpa melemahkan prinsip agama kami. Anugerahkan kepada kami keselamatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang mampu menghadirkan kedamaian dengan iman yang terjaga dan akhlak yang mulia, hingga kelak kami kembali kepada-Mu dalam keadaan Engkau ridha kepada kami.
أُوصِيكُمْ عِبَادَ اللَّهِ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللَّهِ، فَإِنَّ التَّقْوَى زَادُ الْقُلُوبِ، وَنُورُ الطَّرِيقِ، وَعِصْمَةُ الْعَبْدِ فِي الشِّدَّةِ وَالرَّخَاءِ. فَاتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ، وَاسْتَمْسِكُوا بِالْهُدَى، وَأَكْثِرُوا مِنَ الِاسْتِغْفَارِ، فَإِنَّهُ أَمَانُ الْعِبَادِ وَسَبَبُ الرَّحْمَةِ وَدَفْعِ الْبَلاءِ.
فَقَالَ اللهُ تَعَالَى اِنَّ اللهَ وَ مَلَائِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى النَّبِيِّ يٰأَيُّهَا الَّذِيْنَ أٰمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَ سَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَعَلَىٰ آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ. اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَىٰ مُحَمَّدٍ وَعَلَىٰ آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَىٰ إِبْرَاهِيمَ وَعَلَىٰ آلِ إِبْرَاهِيمَ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ.
اَللّٰهُمَّ اهْدِنَا لِأَحْسَنِ الْأَخْلَاقِ، لَا يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلَّا أَنْتَ، وَاصْرِفْ عَنَّا سَيِّئَهَا، لَا يَصْرِفُ عَنَّا سَيِّئَهَا إِلَّا أَنْتَ.
اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَا قُلُوْبًا لَيِّنَةً بِالرَّحْمَةِ، وَإِيْمَانًا ثَابِتًا لَا يَتَزَعْزَعُ بِالشُّبُهَاتِ، وَبَصِيْرَةً نَعْرِفُ بِهَا الْحَقَّ حَقًّا وَنَتَّبِعُهُ، وَنَعْرِفُ الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَنَجْتَنِبُهُ.
اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنَا مِنْ عِبَادِكَ الَّذِيْنَ يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ حُسْنِ الْمُعَامَلَةِ وَثَبَاتِ الْعَقِيْدَةِ، بَيْنَ لِيْنِ الْأَخْلَاقِ وَقُوَّةِ الْمَبْدَإِ، فَلَا نُفَرِّطُ فِي دِيْنِنَا، وَلَا نَظْلِمُ أَحَدًا مِنْ خَلْقِكَ.
اَللّٰهُمَّ احْفَظْ دِيْنَنَا الَّذِيْ هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِنَا، وَأَصْلِحْ دُنْيَانَا الَّتِيْ فِيْهَا مَعَاشُنَا، وَأَصْلِحْ آخِرَتَنَا الَّتِيْ إِلَيْهَا مَعَادُنَا، وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لَنَا فِيْ كُلِّ خَيْرٍ، وَالْمَوْتَ رَاحَةً لَنَا مِنْ كُلِّ شَرٍّ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً، وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً، وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ.
وَصَلَّى اللّٰهُ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَالْحَمْدُ لِلّٰهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
Oleh : Santri Darsya




