BerandaRenunganQaul HikmahBukti dan Bakti Cinta Kepada Nabi 

Bukti dan Bakti Cinta Kepada Nabi 

- Advertisement -spot_img

Setiap kita bisa mengatakan cinta. Mudah sekali bilang; I love u, aisiteru, aku tresno koe, Tiamo, saranghe, dsb. Dsb. Itu mudah sekali. Tapi cinta sejati butuh bukti, lebih dari itu butuh bakti. Maka ucapan cinta cuma “bungkus”, sedangkan berkorban adalah “Isi”. Ungkapan cinta cuma gimik, sedangkan membuktikannya itu baru otentik.

Nabi shalallahu ‘alaiui wa salam bersabda,

لا يُؤْمِنُ أحدُكم حتى أكونَ أحبَّ إليه من ولدِهِ ، ووالدِهِ ، والناسِ أجمعينَ

“Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku menjadi sosok yang paling dia cintai, melebihi cintanya kepada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia” (Muttafaq ‘Alaihi)

Sebuah tuntutan mencintai yang tidak biasa dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa salam. Mencintainya adalah tuntutan keimanan. Bukti dan bakti sekaligus. Mungkin itulah yang membuat Ali bin Abi Thalib rela bertaruh nyawa menggantikan Nabi di pembaringannya saat Nabi pergi berhijrah. Tidur di kasur Nabi saat sekian pemuda Quraisy siap mengeksekusi. Ali muda sudah menunjukkan bukti dan baktinya pada Nabi.

Mungkin juga, inilah sebab Bilal tak kuasa menggaungkan azan kembali paska wafatnya Nabi kecuali hanya dua kali. Kalimat syahadat dalam azan membawa Bilal pada ingatan terindahnya bersama sang Kekasih. Lantunan azan membuatnya selalu menangis, ia tidak sanggup melafadzkannya kembali. Nama Muhammad di dalamnya selalu berhasil membuat ia luluh; bahwa sosok itu sudah tidak ada lagi.

Adalah Umar al Faruq, sang gagah perkasa, tidak ada yang tidak gentar dengan wibawanya. Tapi Umar menjadi orang paling tak berdaya saat kabar Sang Nabi pergi menemui Rabbnya. Pedihnya perpisahan terlukiskan dari kata-katanya, “Siapa yang mengatakan Muhammad telah mati akan kupenggal kepalanya. Muhammad hanya pergi menemui Tuhannya sebagaimana Musa dahulu pergi. Muhammad tidak mati!” begitu menarik cinta al Faruq, dahulu ia ingin membunuh Nabi, kemudian ia menjadi orang paling rapuh saat Nabi pergi

Cinta itu punya energi luar biasa. Mungkin itulah yang membuat Khubaib bin Adi begitu sabar dan tegar di tiang salib penuh penyiksaan. Seorang quraisy bertanya, “Sukakah engkau duduk manis bersama keluargamu, sedangkan Muhammad menggantikanmu?” Jawaban penuh keberanian itu meluncur dari lisannya, “Demi Allah. Aku tidak pernah rela duduk bercengkrama bersama istri dan anakku, sedangkan Rasulullah harus terkena musibah, bahkan aku tidak rela meski ada secuil duri yang menyakitinya.”

Cinta itu soal setia, seperti jawaban Sa’ad bin Muadz mewakili kaum Anshar di saat perang Badar yang menentukan, “Majulah wahai Rasulullah! Sekiranya engkau terjun ke dalam lautan, kami pun akan terjun bersamamu. Tidak akan ada dari kami yang akan mundur… Maka majulah bersama kami dengan berkah dari Allah.”

Cinta itu adalah soal memahami yang tidak terkatakan. Adalah Abu Bakar ash Siddiq di penghujung hari sebelum wafatnya Sang Nabi, hari di mana Nabi bersabda, “Ada seorang hamba yang diberikan pilihan oleh Allah antara kehidupan dunia berikut kemewahannya atau memilih sesuatu yang ada di Sisi-Nya, dan hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya.”

Semua sahabat menyimak tanpa bisa memahaminya, hanya Abu Bakar seorang yang kemudian menangis pedih, lalu ia berkata dengan perih, “Ya Rasulullah ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu.” Tangisnya pecah, air matanya tumpah. Abu Bakar paham ini adalah kalimat perpisahan, bahwa Nabi memilih pergi menemui Tuhannya.

Panjangnya perjalanan Abu Bakar bersahabat dengan Nabi melewati liku dan luka perjuangan membuat cinta Abu Bakar tidak tertandingi, ia mampu memahami apa yang tidak terkatakan, ia mampu menyelami makna yang tidak diucapkan.

Bahasa cinta para sahabat mungkin berbeda. Tapi bakti mereka adalah bukti bahwa cinta bukan sekedar penghias kata-kata. Cinta bagi mereka adalah mengikuti, menolong, berkorban harta, bertaruh nyawa. Cinta dalam tafsiran mereka adalah menghormati, membela, mentaati, dan menjadikan yang dicinta di atas segala-galanya.

“𝐴𝑛𝑡𝑎 𝑚𝑎’𝑎 𝑚𝑎𝑛 𝑎ℎ𝑏𝑎𝑏𝑡𝑎 – 𝑒𝑛𝑔𝑘𝑎𝑢 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑎𝑚𝑎 𝑜𝑟𝑎𝑛𝑔 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑢 𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎.”

𝐻𝑎𝑡𝑖-ℎ𝑎𝑡𝑖 𝑚𝑒𝑛𝑎𝑟𝑢ℎ 𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎, ℎ𝑎𝑡𝑖-ℎ𝑎𝑡𝑖 𝑚𝑒𝑚𝑖𝑙𝑖ℎ 𝑖𝑑𝑜𝑙𝑎.

𝐷𝑖𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑢 𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎 𝑚𝑒𝑛𝑒𝑛𝑡𝑢𝑘𝑎𝑛 𝑘𝑒𝑙𝑎𝑘 𝑡𝑒𝑛𝑡𝑎𝑛𝑔 𝑆𝑢𝑟𝑔𝑎 𝑑𝑎𝑛 𝑁𝑒𝑟𝑎𝑘𝑎.

𝐽𝑖𝑘𝑎 𝐴𝑙 𝑀𝑢𝑠𝑡ℎ𝑜𝑓𝑎 𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑠𝑜𝑠𝑜𝑘 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑘𝑎𝑢 𝑑𝑎𝑚𝑏𝑎, 𝑚𝑎𝑘𝑎 𝑘𝑖𝑟𝑎𝑛𝑦𝑎 𝑆𝑢𝑟𝑔𝑎 𝑗𝑎𝑑𝑖 𝑏𝑒𝑔𝑖𝑡𝑢 𝑑𝑒𝑘𝑎𝑡 𝑢𝑛𝑡𝑢𝑘 𝑘𝑎𝑢 𝑑𝑒𝑘𝑎𝑝.

𝑊𝑎ℎ𝑎𝑖 𝑁𝑎𝑏𝑖 𝑘𝑎𝑚𝑖 𝑟𝑖𝑛𝑑𝑢. 𝑈𝑚𝑎𝑡𝑚𝑢 𝑚𝑒𝑛𝑐𝑖𝑛𝑡𝑎𝑖𝑚𝑢, 𝑚𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑏𝑒𝑑𝑎.

𝐷𝑖 ℎ𝑎𝑟𝑖 𝑙𝑎ℎ𝑖𝑟𝑚𝑢, 𝑠𝑒𝑚𝑢𝑎 𝑚𝑢𝑘𝑚𝑖𝑛 𝑏𝑒𝑟𝑠𝑢𝑘𝑎 𝑐𝑖𝑡𝑎, 𝑚𝑒𝑠𝑘𝑖 𝑑𝑒𝑛𝑔𝑎𝑛 𝑐𝑎𝑟𝑎 𝑦𝑎𝑛𝑔 𝑏𝑒𝑟𝑎𝑛𝑒𝑘𝑎.

 

 

12 Rabiul Awal 1443 H

Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad.

Akhukum Fillah , Fajar Jaganegara, alumni Darusy Syahadah KMI, angkatan ke-18.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami