Setiap kita bisa mengatakan cinta. Mudah sekali bilang; I love u, aisiteru, aku tresno koe, Tiamo, saranghe, dsb. Dsb. Itu mudah sekali. Tapi cinta sejati butuh bukti, lebih dari itu butuh bakti. Maka ucapan cinta cuma “bungkus”, sedangkan berkorban adalah “Isi”. Ungkapan cinta cuma gimik, sedangkan membuktikannya itu baru otentik.
Nabi shalallahu ‘alaiui wa salam bersabda,
ูุง ููุคูู ููู ุฃุญุฏููู ุญุชู ุฃูููู ุฃุญุจูู ุฅููู ู ู ููุฏููู ุ ููุงูุฏููู ุ ูุงููุงุณู ุฃุฌู ุนููู
“Tidak beriman salah seorang di antara kalian, hingga aku menjadi sosok yang paling dia cintai, melebihi cintanya kepada anaknya, orang tuanya dan seluruh manusia” (Muttafaq ‘Alaihi)
Sebuah tuntutan mencintai yang tidak biasa dari Nabi shalallaahu ‘alaihi wa salam. Mencintainya adalah tuntutan keimanan. Bukti dan bakti sekaligus. Mungkin itulah yang membuat Ali bin Abi Thalib rela bertaruh nyawa menggantikan Nabi di pembaringannya saat Nabi pergi berhijrah. Tidur di kasur Nabi saat sekian pemuda Quraisy siap mengeksekusi. Ali muda sudah menunjukkan bukti dan baktinya pada Nabi.
Mungkin juga, inilah sebab Bilal tak kuasa menggaungkan azan kembali paska wafatnya Nabi kecuali hanya dua kali. Kalimat syahadat dalam azan membawa Bilal pada ingatan terindahnya bersama sang Kekasih. Lantunan azan membuatnya selalu menangis, ia tidak sanggup melafadzkannya kembali. Nama Muhammad di dalamnya selalu berhasil membuat ia luluh; bahwa sosok itu sudah tidak ada lagi.
Adalah Umar al Faruq, sang gagah perkasa, tidak ada yang tidak gentar dengan wibawanya. Tapi Umar menjadi orang paling tak berdaya saat kabar Sang Nabi pergi menemui Rabbnya. Pedihnya perpisahan terlukiskan dari kata-katanya, “Siapa yang mengatakan Muhammad telah mati akan kupenggal kepalanya. Muhammad hanya pergi menemui Tuhannya sebagaimana Musa dahulu pergi. Muhammad tidak mati!” begitu menarik cinta al Faruq, dahulu ia ingin membunuh Nabi, kemudian ia menjadi orang paling rapuh saat Nabi pergi
Cinta itu punya energi luar biasa. Mungkin itulah yang membuat Khubaib bin Adi begitu sabar dan tegar di tiang salib penuh penyiksaan. Seorang quraisy bertanya, “Sukakah engkau duduk manis bersama keluargamu, sedangkan Muhammad menggantikanmu?” Jawaban penuh keberanian itu meluncur dari lisannya, “Demi Allah. Aku tidak pernah rela duduk bercengkrama bersama istri dan anakku, sedangkan Rasulullah harus terkena musibah, bahkan aku tidak rela meski ada secuil duri yang menyakitinya.”
Cinta itu soal setia, seperti jawaban Sa’ad bin Muadz mewakili kaum Anshar di saat perang Badar yang menentukan, “Majulah wahai Rasulullah! Sekiranya engkau terjun ke dalam lautan, kami pun akan terjun bersamamu. Tidak akan ada dari kami yang akan mundur… Maka majulah bersama kami dengan berkah dari Allah.”
Cinta itu adalah soal memahami yang tidak terkatakan. Adalah Abu Bakar ash Siddiq di penghujung hari sebelum wafatnya Sang Nabi, hari di mana Nabi bersabda, “Ada seorang hamba yang diberikan pilihan oleh Allah antara kehidupan dunia berikut kemewahannya atau memilih sesuatu yang ada di Sisi-Nya, dan hamba tersebut memilih apa yang ada di sisi-Nya.”
Semua sahabat menyimak tanpa bisa memahaminya, hanya Abu Bakar seorang yang kemudian menangis pedih, lalu ia berkata dengan perih, “Ya Rasulullah ayah dan ibu kami sebagai tebusanmu.” Tangisnya pecah, air matanya tumpah. Abu Bakar paham ini adalah kalimat perpisahan, bahwa Nabi memilih pergi menemui Tuhannya.
Panjangnya perjalanan Abu Bakar bersahabat dengan Nabi melewati liku dan luka perjuangan membuat cinta Abu Bakar tidak tertandingi, ia mampu memahami apa yang tidak terkatakan, ia mampu menyelami makna yang tidak diucapkan.
Bahasa cinta para sahabat mungkin berbeda. Tapi bakti mereka adalah bukti bahwa cinta bukan sekedar penghias kata-kata. Cinta bagi mereka adalah mengikuti, menolong, berkorban harta, bertaruh nyawa. Cinta dalam tafsiran mereka adalah menghormati, membela, mentaati, dan menjadikan yang dicinta di atas segala-galanya.
—
“๐ด๐๐ก๐ ๐๐’๐ ๐๐๐ ๐โ๐๐๐๐ก๐ – ๐๐๐๐๐๐ข ๐๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐ฆ๐๐๐ ๐๐๐ข ๐๐๐๐ก๐.”
๐ป๐๐ก๐-โ๐๐ก๐ ๐๐๐๐๐๐ขโ ๐๐๐๐ก๐, โ๐๐ก๐-โ๐๐ก๐ ๐๐๐๐๐๐โ ๐๐๐๐๐.
๐ท๐๐ ๐ฆ๐๐๐ ๐๐๐ข ๐๐๐๐ก๐ ๐๐๐๐๐๐ก๐ข๐๐๐ ๐๐๐๐๐ ๐ก๐๐๐ก๐๐๐ ๐๐ข๐๐๐ ๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐.
๐ฝ๐๐๐ ๐ด๐ ๐๐ข๐ ๐กโ๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐ ๐๐ ๐๐ ๐ฆ๐๐๐ ๐๐๐ข ๐๐๐๐๐, ๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐ฆ๐ ๐๐ข๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐ก๐ข ๐๐๐๐๐ก ๐ข๐๐ก๐ข๐ ๐๐๐ข ๐๐๐๐๐.
๐๐โ๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐๐๐๐๐ข. ๐๐๐๐ก๐๐ข ๐๐๐๐๐๐๐ก๐๐๐๐ข, ๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐ฆ๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐.
๐ท๐ โ๐๐๐ ๐๐โ๐๐๐๐ข, ๐ ๐๐๐ข๐ ๐๐ข๐๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐ข๐๐ ๐๐๐ก๐, ๐๐๐ ๐๐ ๐๐๐๐๐๐ ๐๐๐๐ ๐ฆ๐๐๐ ๐๐๐๐๐๐๐๐.
12 Rabiul Awal 1443 H
Shalallahu ‘ala Nabiyyina Muhammad.
Akhukum Fillah , Fajar Jaganegara, alumni Darusy Syahadah KMI, angkatan ke-18.