BerandaKajianUsrohArti Sebuah Kesetiaan

Arti Sebuah Kesetiaan

- Advertisement -spot_img

Arti Kesetiaan Kita sering mendengar kata setia, apa sebenarnya maknanya? Kesetiaan adalah suasana hati yang tidak bisa meninggalkan sesuatu yang sudah menjadi bagian dalam hidupnya. Kesetiaan adalah salah satu kualitas hidup yang paling mahal. Kesetiaan adalah bagian yang paling tulus dari cinta, sebab cinta sejati membawanya pada pengorbanan yang menjadi bukti dari kesetiaan. Meski demikian, kesetiaan tidak cukup hanya  dengan ucapan dan rayuan belaka, sebab kesetiaan itu ada di dalam hati. Ketegasan sikap, pengorbanan, dan ketulusan dalam menjalin hubungan, jauh lebih nyata untuk membuktikan kesetiaan, dibandingkan sekedar mengobral rayuan. Untuk menjadi setia, kita tidak dapat hidup hanya untuk diri sendiri. Orang yang setia biasanya memiliki komitmen, bersedia menderita untuk orang yang dicintainya. Karenanya, setiap orang pasti mendambakannya.

Dalam kehidupan rumah tangga, kesetiaan adalah keinginan untuk tetap berpegang pada komitmen yang sudah disepakati, bertahan dalam suka maupun duka, untuk mewujudkan harapan dan impian keluarga, dengan segala kekurangan dan kelebihan dari masing-masing pasangan. Kesetiaan adalah sikap saling mengerti, saling menjaga dan tidak saling menjatuhkan. Kesetiaan adalah sikap rela berkurban untuk kebahagiaan keluarga, dan menjaga nama baiknya.

Kesetiasaan Rasulullah saw Kepada Istri

Sebuah pepatah mengatakan: “Jika kamu ingin istrimu menjadi seperti Khadijah, maka jadilah kamu seperti Muhammad saw untuknya”.

Rumah tangga Rasulullah saw memang merupakan teladan ideal dalam membangun kesetiaan. Bagaimana harmoni yang beliau bangun dengan para istrinya, seperti apa perlakuan dan sikap yang beliau kembangkan terhadap mereka, dan masih banyak lagi. Yang jelas, kesetiaan Rasulullah saw tetap terjaga, meskipun beliau memiliki banyak istri. Bahkan kesetiaan itu tetap ada, meski istri yang dicintainya telah tiada.

Sebagai suami Rasulullah saw tahu bagaimana memperlakukan para istrinya dengan baik. Perlakuan baik seorang suami terhadap istrinya menunjukan kemuliaan dan ketinggian akhlaknya. Karena itulah maka Rasulullah saw bersabda:

” أَكْمَلُ الْمُؤءمِنِيْنَ إِيْمَاناً أَحْسَنُهُمْ خُلُقاً وَخِيَارُهُمْ خِيَارُهُمْ لِنِسَائِهِمْ ” أخرجه أبو داود

“Seorang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya di antara mereka. Sedangkan yang paling baik diantara mereka adalah yang paling baik perangainya terhadap istri-istri mereka.” (HR. Abu Daud)

Rasulullah saw adalah seorang suami yang sangat menghormati dan meninggikan kedudukan para istrinya. Betapapun banyak dan beratnya tanggung jawab yang harus dipikul sang Rasul, beliau tidak pernah lupa hak-hak para istrinya. Beliau memperlakukan mereka dengan penuh kelembutan dan kasih sayang. Beliau tidak pernah mengurangi hak mereka, atau menuntut mereka berlaku lebih dari kemampuannya. Begitupun sikap para istrinya. Allah Ta’ala berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mewarisi wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS. An-Nisa’ (4): 19)

Akhlak Rasulullah saw Terhadap para Istrinya

Berkata Ummul Mukminin Aisyah ra, “ Sekelompok orang Habasyah masuk ke masjid dan bermain di dalamnya. Ketika itu Rasulullah saw berkata kepadaku, “Wahai Humaira’, apakah kamu senang melihat mereka?” Aku menjawab, “Ya”. Maka beliau berdiri di pintu rumah, akupun menghampirinya. Kuletakkan daguku di atas pundaknya, dan kusandarkan wajahku di pipinya. Di antara ucapan mereka (orang-orang Habasyah) waktu itu, ‘Abu Al-Qasim (Rasulullah saw) orang baik. Lalu Rasulullah saw berkata, “Cukup”.  Aku berkata, “Ya Rasulullah , jangan tergesa-gesa”. Beliaupun berdiri lagi untukku. Kemudian beliau berkata lagi, “Cukup”. Aku berkata, “Jangan tergesa-gesa ya Rasulullah”. Bukan melihat mereka bermain yang aku suka, tetapi aku ingin wanita-wanita itu tahu kedudukan Rasulullah saw bagiku dan kedudukanku dari beliau. (HR. An-Nasai dalam sunannya)

Lihatlah, bagaimana kesetiaan Rasulullah saw terhadap Ummul mukminin Aisyah ra. Beliau rela berdiri lama dan mengendongnya demi menunjukkan kepada orang lain kedudukannya di sisi Rasulullah saw sebagai suaminya. Rasulullah saw sangat mengerti kebutuhan Aisyah ra yang dinikahinya dalam usia dini, usia bermain untuk anak-anak seusianya.

Beliau saw tidak pernah menuntut Aisyah untuk dewasa sebelum waktunya, meski harus menyandang nama istri seorang Rasul.  Dengan sabar dan setia beliau meladeni istrinya yang masih kekanak-kanakkan, meski beban berat kerasulan ada di pundaknya. Sebaliknya Aisyah pun berusaha mengimbangi pola pikir dan pola hidup suami yang dicintainya. Itulah kesetiaan yang hakiki, rela mengorbankan kesenangan diri sendiri, demi memberikan kebahagiaan pada orang yang dicintainya

Contoh yaang lain dikisahkan Imam Ahmad dan Abu Daud, yang meriwayatkan hadits dari Ummu Kultsum, dia berkata, “Zainab membersihkan kutu dari kepala Rasulullah saw dan di tempat beliau ketika itu terdapat istri Utsman bin Madz’un dan beberapa wanita kaum Muhajirin yang mengeluhkan tentang rumah mereka. Mereka keluar dari rumahnya masing-masing karena merasa terhimpit di dalamnya, kemudian mereka berkata kepada Zainab yang kemudian tidak meneruskan membersihkan kutu dari rambut Rasulullah saw. Beliau bersabda kepada Zainab, “Engkau tidak harus berkata saja, namun berkatalah sambil meneruskan pekerjaanmu (membersihkan kutu dari rambut beliau).”

Hadits di atas menunjukkan betapa kesetiaan menghadirkan rasa berkorban pada diri Rasulullah saw dan istrinya. Beliau rela berbagi dengan kaum wanita, yang mengeluhkan urusan rumah tangga mereka pada Zainab saat ia sedang bersama Rasulullah saw. Begitupun Zainab, meski harus mendengarkan keluhan kaum wanita yang datang padanya, dia tetap setia mencari kutu di kepala Rasulullah saw, dan tidak berhenti dari pekerjaannya. Sungguh indah kesetiaan itu, jika diletakkan pada tempatnya.

Kisah-kisah tersebut merupakan contoh pengelolaan keluarga yang sempurna didasarkan pada cinta dan kesetiaan pada Allah Ta’ala. Terutama bagi para suami yang memiliki kewajiban untuk menjaga dan mendidik para istrinya dengan penuh kelembutan, kesabaran, dan hikmah. Kesetiaan seorang suami terhadap istrinya, menyadarkannya akan tanggung jawab pendidikan yang tak dapat diabaikan. Hal itu dilakukan untuk menggapai kebahagiaan bersama dalam membina mahligai rumah tangga, di dunia dan akhirat.

Atas dasar ini pula suami tidak akan mudah menyerah, pada saat melihat hasil dari usahanya tidak sesuai dengan harapannya. Suami akan terus berusaha dan berjuang, mendidik dan mendampingi istrinya sampai batas optimal. Karena hal itu sudah menjadi bagian dari tanggung jawabnya.  Kesetiaan membawanya pada komitmen, agar sanggup menenggelamkan semua pertahanan ego yang ada pada dirinya. Untuk memberi kepuasan dan kebahagiaan bagi pasangan hidupnya.

Tidak mudah memang, terlebih hidup di akhir zaman yang penuh dengan fitnah ini. Namun sebagai umat yang selalu setia kepada junjungannya Nabi Muhammad saw, sepantasnya selalu meneladaninya dalam segala hal, termasuk dalam menjaga kesetiaan. Hal itu bukan sesuatu yang mustahil, selama ada komitment yang kuat dari setiap pasangan.  Wallahul A’lam bish shawab

 

Penulis: Ustadzah Siswati Ummu Ahmad

Editor: Yazid Abu Fida’

 

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami