Seperti Apakah Aqiqah yang Sesuai Syar’i?
Oleh : Ust. ‘Azzam Elmahdie
Muqaddimah
Tidak bisa dipungkiri bahwa salah satu nikmat terbesar bagi seorang hamba dalam sebuah keluarga muslim adalah dikaruniai perbendaharaan dan anak yang banyak. Hal itu lantaran Allah subhanahu wata’ala telah menjadikannya sebagai fitrah yang dicintai oleh manusia dalam firman-Nya yang berbunyi :
ٱلْمَالُ وَٱلْبَنُونَ زِينَةُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَٱلْبَٰقِيَٰتُ ٱلصَّٰلِحَٰتُ خَيْرٌ عِندَ رَبِّكَ ثَوَابًا وَخَيْرٌ أَمَلً
“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amal kebajikan yang terus menerus adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. (QS. Al-Kahfi : 46)”
Pada ayat di atas Allah subhanahu wata’ala mengaitkan perbendaharaan dan juga anak-anak dengan perhiasan dunia, karena dalam harta ada keelokan dan juga manfaat, sedangkan pada anak-anak ada kekuatan dan juga pembelaan, sehingga keduanya dinamakan sebagai perhiasan kehidupan dunia (Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, vol. 10, hlm. 413).
Sungguh menjadi sebuah kebanggan bagi semua orang tua, terutama seorang ayah jika mereka bisa mengamalkan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika mendapatkan nikmat berupa lahirnya anak. Dorongan untuk bisa mengamalkan sunnah tersebut terinspirasi dari beberapa hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, di antaranya adalah :
كُلُّ غُلاَمٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ سَابِعِهِ وَيُحْلَقُ وَيُسَمَّي
“Setiap bayi tergadai dengan aqiqahnya, disembelihkan (kambing) untuknya pada hari ke tujuh, dicukur dan diberi nama” (HR. At-Tirmidzi no. 1522, Ibnu Majah no. 3165)
Tradisi Aqiqah pada Masa Jahiliyah
Perihal menyelenggarakan aqiqah ini memang sudah menjadi tradisi di masyarakat, bukan hanya berlaku pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan bangsa Arab saja, namun juga sudah menjadi hal yang lumrah di kalangan masyarakat luas bahkan di kalangan orang-orang awam. Hanya saja dalam prakteknya masih banyak didapati hal-hal yang tidak sesuai dengan tuntunan syari’at.
Pada zaman jahiliyah misalnya, mereka melumuri kepala bayi dengan darah sembelihan yang digunakan untuk aqiqah. Namun setelah datangnya cahaya ilmu syari’at Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan contoh penyelenggaraan aqiqah dengan benar tanpa ada unsur keyakinan dan ritual yang justru memperkeruh kemurnian tauhid dengan hal-hal yang berbau syirik dan semisalnya. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari jalur Ummul Mu’minin ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha :
كَانُوْا فِى اْلجَاهِلِيَّةِ اِذَا عَقُّوْا عَنِ الصَّبِيّ خَضَبُوْا قُطْنَةً بِدَمِ اْلعَقِيْقَةِ. فَاِذَا حَلَقُوْا رَأْسَ الصَّبِيّ وَضَعُوْهَا عَلَى رَأْسِهِ، فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اِجْعَلُوْا مَكَانَ الدَّمِ خَلُوْقًا
“Dahulu orang-orang pada masa jahiliyah apabila mereka ber’aqiqah untuk seorang bayi, mereka melumuri kapas dengan darah ‘aqiqah, lalu ketika mencukur rambut si bayi mereka melumurkan pada kepalanya”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Gantilah darah itu dengan minyak wangi“. [HR. Ibnu Hibban juz 12, hlm. 124, no. 5308]
Fenomena Aqiqah di Masyarakat
Bila melihat tradisi aqiqah dewasa ini, masih banyak sekali kita dapati berbagai macam ritual-ritual yang diyakini memberikan kenyamanan dan keselamatan bagi keluarga yang seringkali dilakukan pasca kelahiran si bayi sampai pada penyelenggaraan aqiqah. Hal itu terbukti di beberapa daerah yang masih kental menganut tradisi nenek moyang mereka.
Di jawa misyalnya, tradisi klasik kejawen berupa perayaan penimbunan ari-ari yang biasanya dikerjakan oleh sang ayah, dikubur di dekat pintu utama tempat tinggal, dipasang pagar bambu dan penerangan yang berbentuk lampu minyak dalam kurun 35 hari (selapan). Yang demikian itu diyakini karena ari-ari mempunyai “jasa” yang cukup besar sebagai batur bayi (sahabat bayi) sejak di dalam kandungan. Oleh karena itu semenjak fungsi utama ari-ari selesai dikala bayi lahir, organ ini akan terus dirawat dan dikubur sedemikian rupa agar tidak dicerna binatang ataupun membusuk di tong sampah.
Belum lagi tradisi aqiqah ini seringkali diiringi dengan ritual adat kejawen yang lebih dikenal dengan sebutan Sepasaran. Dimana dalam upacara tersebut pihak keluarga mempersilahkan tetangga sekitar beserta keluarga besar untuk turut mendoakan atas bayi yang sudah dilahirkan bersama dengan kenduri, bagi yang punya harta yang lebih umumnya melakukannya layaknya orang yang memiliki hajat (mantu). Adapun inti dari acara sepasaran ini adalah upacara selamatan sekalian memberitakan nama bayi yang telah lahir.
Orang tua era dulu melakukan upacara puputan bersama sedia kan sharing macam sesaji, tapi masyarakat jawa moderen biasanya acara puputan dibikin seiring bersama dengan upacara sepasaran ataupun selapanan, perihal ini terkait kapan tali pusar putus berasal dari pusar bayi.
Bila semua ritual adat di masyarakat tersebut dikaji secara syar’i, maka akan justru kontroversial dengan tuntutan syar’i. Pasalnya, ritual yang mengiringi aqiqah tersebut bermuatan kepercayaan terhadap benda mati dan arwah orang yang sudah meninggal dan diyakini bisa memberikan dampak menolak marabahaya dan mendatangkan keberkahan. Padahal keyakinan yang seperti ini adalah keyakinan yang batil sebagaimana yang telah ditegaskan oleh Allah subhanahu wata’ala dalam firman-Nya :
قُلِ اللَّهُمَّ مَالِكَ الْمُلْكِ تُؤْتِي الْمُلْكَ مَنْ تَشَاءُ وَتَنزعُ الْمُلْكَ مِمَّنْ تَشَاءُ وَتُعِزُّ مَنْ تَشَاءُ وَتُذِلُّ مَنْ تَشَاءُ بِيَدِكَ الْخَيْرُ إِنَّكَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
Katakanlah, “Ya Allah, Engkau-lah yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa atas segala sesuatu.” (QS. Ali-Imran : 26)
Pada ayat lain juga dipertegas lagi bahwa semua makhluk dan benda mati tidak bisa memberikan dampak buruk dan marabahaya tanpa izin dan kehendak Allah, seperti yang disebutkan dalam firman-Nya :
مَا أَصَابَ مِن مُّصِيبَةٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ وَمَن يُؤْمِن بِاللَّهِ يَهْدِ قَلْبَهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Tidak ada suatu musibah pun yang menimpa seseorang kecuali dengan ijin Allah; dan barangsiapa yang beriman kepada Allah niscaya Dia akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. At-Taghabun : 11)
Maka berpijak dari landasan syar’i di atas menjadikan kita sadar betapa pentingnya mengkaji dan mendalami ilmu-ilmu syar’i agar setiap aktivitas kita bernilai ibadah dan diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala .
Bagaimanakah Aqiqah yang Syar’i
Setiap hamba pasti berharap agar setiap amalan dan ibadahnya sesuai dengan apa yang menjadi tuntutan Syari’at Islam dan diterima di sisi Allah subhanahu wata’ala . Namun kendala dalam hal ini adalah karena minimnya ilmu dan mencukupkan pada ilmu yang dimiliki, sehingga dampak buruknya adalah melewati batas yang bukan kapasitas kita berbicara di pelbagai permasalahan di luar ilmu yang telah dipelajari. Inilah salah satu faktor terbesar terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam agama.
Perlu diketahui bahwa selain dari minimnya ilmu dan merasa tahu, ada juga faktor lain yang menghalangi manusia untuk mendapatkan petunjuk yang benar. Di antaranya adalah karena dorongan mengikuti hawanafsu, fanatik terhadap satu kelompok, bahkan karena tidak memiliki prinsip ajaran yang kuat akhirnya terbawa arus ideologi yang justru sumbernya di luar ajaran Islam.
Setelah menimbang problematika di atas, maka kembali kepada ajaran Islam yang benar sesuai dengan pemahaman salafush shalih dalam hal aqiqah ini adalah penting untuk dikaji dan diamalkan. Terlebih ia merupakan amalan mulia yang setiap orang berlomba-lomba ingin menunaikannya sebagai bentuk syukur atas karunia Rabb-nya.
Maka dengan hadirnya makalah di hadapan pembaca yang budiman ini, semoga bisa menambah wawasan ilmu syar’i kita, dan sekaligus bisa menginspirasi kaum muslimin untuk lebih menambah semangat kaum muslimin dalam mengkaji keilmuan Islam lebih dalam.
Definisi Aqiqah
Dalam kajian definisi aqiqah secara etimologi, makna aqiqah adalah rambut yang tumbuh di kepala bayi yang baru lahir. Dinamakan demikian karena rambut tersebut tumbuh di atas kulit. Sedangkan pada asalnya aqiqah itu adalah rambut yang berada di kepada si bayi ketika dilahirkan. (Ibnu Manzhur, Lisan al-‘Arab, 10/256).
Dalam kitab al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu lebih diperjelas bahwa yang dinamakan aqiqah secara bahasa itu adalah rambut yang diatasnamakan bayi yang baru lahir. Kemudian bangsa Arab mengistilahkan aqiqah dengan sembelihan adalah ketika mencukur rambut si bayi yang baru lahir. Penamaan tersebut diambil berdasarkan kebiasaan mereka dalam menamai sesuai dengan nama sebab keberadaannya atau dengan hal yang semisal. (Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa adillatuhu, 3/636).
Adapun definisi aqiqah dalam terminologi syar’i aqiqah adalah rambut yang tumbuh di kepala bayi yang keluar ketika lahir dari rahim ibunya, karena penyembelihan hewan qurban aqiqah diikutsertakan bersama dengan pemotongan rambutnya. (Ibnu Abdil Barr, al-Istidzkar, 5/314)
Ada juga yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan aqiqah adalah hewan sembelihan yang disembelih berkenaan dengan bayi yang baru lahir dan dilaksanakan pada hari ketujuh dari usia kelahirannya. Hal itu sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas karunia nikmat lahirnya seorang anak laki-laki maupun perempuan. (Hisamuddin ‘Ifanah, Ahkam al-‘Aqiqah, hlm. 11)
Mengenai perincian sembelihan hewan aqiqah ulama berpendapat bahwa untuk seorang bayi laki-laki disembelihkan satu ekor kambing sedangkan bagi bayi perempuan disembelihkan satu ekor kambing (Taqiyuddin Abu Bakr bin Muhammad Al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, 2/242)
Pensyari’atan Aqiqah
Dalam perkara ini imam Malik berpendapat bahwa tidak ada perbedaan pendapat tentang disyari’atkan-nya aqiqah dalam madzhabnya, dan Yahya bin Sa’id Al-Anshari mengatakan, “Saya pernah mendapati orang-orang menyebut-nyebut tentang aqiqah bagi anak laki-laki dan anak perempuan. Demikian juga sudah menjadi hal yang pernah dilakukan oleh penduduk Hijaz baik dahulu maupun sekarang bahkan di praktekkan oleh para ulama’, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Mundzir.
Selain itu, di antara kalangan sahabat yang sependapat dengan Imam Malik adalah Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar, dan Ummul Mu’minin Aisyah g sebagaimana yang diriwayatkan dari Fathimah bin Rasulullah, Buraidah Al-Aslami, Al-Qasim bin Muhammad, Urwah bin Az-Zubair, Atha’ bin Abi Rabbah, Az-Zuhri dan Abu Zinad.
Pendapat ini selain dipegang oleh Imam Malik, juga dipegang oleh kalangan penduduk Madinah, Imam Asy-Syafi’i dan para pengikutnya, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan sekelompok dari mayoritas ahlul ilmi yang semuanya berpendapat bahwa aqiqah merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Maka jika sunnah tersebut eksistensinya telah ada, semestinya akan ada yang berpendapat demikian dan tidak menjadi masalah ketika ada yang tidak sependapat dengan hal itu.
Hanya saja kalangan ahli ra’yi (madzhab Hanafi) tidak membenarkan bahwa aqiqah itu merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam . Dalam hal ini mereka tidak sependapat dengan riwayat-riwayat yang datang dari Rasulullah, para Sahabat, dan yang meriwayatkannya juga dari kalangan Tabi’in. (Muhammad bin Abu Bakar Ayyub Az-Zar’i, Tuhfah al-Maulud Bi Ahkam al-Maulud, hlm. 36)
Kalangan yang berpendapat bahwah aqiqah merupakan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mereka berdalil berdasarkan hadits :
عَنْ أَبِىْ مُوْسَى رَضِىَ اللهُ عَنْهُ قَالَ وُلِدَ لِى غُلَامٌ، فَأَتَيْتُ بِهِ النَّبِىُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَسَمَّاهُ إِبْرَاهِيْمُ، فَحَنَكَهُ بِتَمْرَةٍ
“Dari Abu Musa a dia berkata, “Aku mempunyai anak laki-laki yang barus saja lahir, lalu aku membawanya untuk menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam . Lalu beliau memberikan nama bayi tersebut Ibrahim, lantas men-tahnik nya dengan sebiji kurma.” (HR. Al-Bukhari, jilid 18, hlm. 254)
عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيْهِ : أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ عَقَّ عَنِ الْحَسَنِ وَالْحُسَيْنِ. قَالَ الشَّيْخِ الْأَلْبَانِي : صَحِيْحٌ
“Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah meng-aqiqahi atas nama Hasan dan juga Husain.” Syeikh Al-Albani mengatakan, “Hadits ini shahih”.
Selain riwayat di atas juga ada redaksi yang lebih rinci tentang berapa hewan yang harus disembelih untuk aqiqah berikut pelaksanaanya.
عَنْ أُمِّ كُرْزٍ الْكَعْبِيَّةِ، قَالَتْ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «عَنِ الْغُلَامِ شَاتَانِ مُكَافِئَتَانِ، وَعَنِ الْجَارِيَةِ شَاةٌ قَالَ أَبُو دَاوُدَ: سَمِعْت أَحْمَدَ قَالَ: مُكَافِئَتَانِ: أَيْ مُسْتَوِيَتَانِ أَوْ مُقَارِبَتَانِ
Dari Ummu Kurz Al Ka’biyyah, ia berkata, saya mendengar Rasulullah shallallahu wa ‘alaihi wa sallam bersabda, “Untuk anak laki-laki dua kambing yang sama dan untuk anak perempuan satu kambing.” Abu Daud berkata, saya mendengar Ahmad berkata, “Mukafiatani yaitu yang sama atau saling berdekatan.” (HR. Abu Daud no. 2834 dan Ibnu Majah no. 3162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)
عَنْ سَمُرَةَ عَنِ النَّبِيّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ غُلاَمٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيْقَتِهِ. تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ وَ يُحْلَقُ رَأْسُهُ وَ يُسَمَّى.
Dari Samurah, dari Nabi shallallahu wa ‘alaihi wa sallam , beliau bersabda, “Setiap anak tergadai dengan ‘aqiqahnya, yang disembelih untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama”. [HR. Ibnu Majah juz 2, hal. 1056, no. 3165]
Hikmah Disyari’atkannya Aqiqah
Tidak diragukan lagi bahwa semuanya syari’at itu mendatangkan maslahat dan maanfaat bagi para pemeluknya. Tidak terkecualikan aqiqah, yang juga mempunyai banyak hikmah dan keutamaan di balik pensyari’atannya. Berikut ini adalah beberapa hikmah disyari’atkannya aqiqah menurut penuturan para ulama’ :
Pertama, aqiqah merupakan perilaku berlemah lembut dan kasih sayang dengan mengumumkan kabar nasabnya seorang anak. Karena dengan demikian akan menghindari adanya perkataan yang tidak dinginkan dan tidak baik yang menyebar sampai ke telinga banyak orang sehingga bisa jadi ada orang yang memanggilkan kalau itu anaknya. Maka dengan terlaksananya hal itu status anak tersebut bisa ditentukan. Selain itu juga akan menjadi panutan yang mengajak kepada sifat berderma dan menjauhi hal-hal yang mengajak kepada kekikiran. (Ad-Dahlawi, Hujjatullah al-Balighah, hlm. 728)
Kedua, merupakan bentuk syukur kepada Allah subhanahu wata’ala atas limpahan nikmat berupa dikaruniakan anak, dan meningkatkan keutamaan berderma dan murah hati, serta memperindah hubungan kerabat, teman dekat dengan berkumpul bersama menyantap sajian makanan. Sehingga dengan demikian akan menyuburkan rasa cinta dan kasih sayang serta kelembutan terhadap sesama. (Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqah al-Islami wa Adillatuhu, 3/637).
Selain itu, dianjurkan ucapan selamat bagi orang tua yang baru saja mendapatkan buah hati, yaitu bacaan sebagaimana diajarkan oleh para ulama Syafi’iyah: Dianjurkan ucapan selamat kedapa orang tua yang mendapatkan buah hati. Berikut ini adalah doa sekaligus ucapan selamat yang diajarkan oleh para salaf beserta jawaban dari do’a tersebut:
بَارَكَ اللهُ لَكَ فِي الْمَوْهُوْبِ لَكَ، وَشَكَرْتَ الْوَاهِبَ، وَبَلَغَ أَشُدَّهُ، وَرُزِقْتَ بِرَّهُ. وَيَرُدُّ عَلَيْهِ الْمُهَنَّأُ فَيَقُوْلُ: بَارَكَ اللهُ لَكَ وَبَارَكَ عَلَيْكَ، وَجَزَاكَ اللهُ خَيْرًا، وَرَزَقَكَ اللهُ مِثْلَهُ، وَأَجْزَلَ ثَوَابَكَ.
“Semoga Allah memberkahimu dalam anak yang diberikan kepadamu. Kamu pun bersyukur kepada Sang Pemberi, dan dia dapat mencapai dewasa, serta kamu dikaruniai kebaikannya.” Sedang orang yang diberi ucapan selamat membalas dengan mengucapkan: “Semoga Allah juga memberkahmu dan melimpahkan kebahagiaan untukmu. Semoga Allah membalasmu dengan sebaik-baik balasan, mengaruniakan kepadamu sepertinya dan melipatgandakan pahalamu.” (An-Nawawi, Al-Adzkar hlm. 349)
Selain aqiqah itu adalah bentuk rasa syukur kepada Allah subhanahu wa ta’ala , aqiqah juga merupakan bentuk wasilah seorang hamba untuk lebih bisa mendekatkan diri kepada Allah subhanahu wa ta’ala .
Ketiga, sebagai bentuk fidyah dan tebusan bagi anak yang baru lahir sebagaimana telah Allah subhanahu wa ta’ala Nabi Isma’il dengan sembelihan seokor domba. (Hisamuddin ‘Ifanah, Ahkam al-‘Aqiqah, hlm. 34)
Nabi shallallahu wa ‘alaihi wa sallam juga telah memberitahukan bahwa hendaknya dalam penyembelihan aqiqah untuk lahirnya seorang anak ini hendaknya diniatkan berdasarkan niatan ibadah seperti halnya penyembelihan yang diperuntukkan untuk udhiyah dan haddyu.
Keempat, Mengumumkan dan memberi tahu bahwa si Fulan telah diberi rizki berupa lahirnya seorang anak yang dia beri nama demikian. Maka dengan demikian akan menjadi jelas dan dimengerti di kalangan banyak orang, mulai dari keluarga, tetangga, dan teman, sehingga mereka mau mendo’akan dan mengucapkan selamat serta menghadiri aqiqahnya. Hal inilah yang potensi besar dalam menambah hubungan kasih sayang dan cinta di antara kaum muslimin. Dan tidak diragukan lagi bahwa pada point ini sejalan dengan Fiman Allah subhanahu wa ta’ala :
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّث
”Dan terhadap nikmat Tuhanmu, maka hendaklah kamu siarkan” (QS. Adh-Dhuha : 11)
Kelima, merupakan wujud jaminan sosial dalam Islam. Pasalnya orang yang melangsungkan aqiqah untuk anaknya dengan menyembelih hewan qurban kemudian diberikan kepada para fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan, teman, tetangga. Maupun dengan cara mengundang mereka untuk menghadiri aqiqahnya akan meringankan beban orang-orang fakir dan yang membutuhkan. (Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad, 1/99-100)
Hal ini ditegaskan Imam Ibnul Hajj bahwah salah satu faedah dari melangsungkan aqiqah adalah sebagai bentuk menghidupkan sunnah dan memadamkan kebid’ahan, sekalipun tidak mendapatkan barakah darinya, hal tersebut merupakan bentuk penjagaan terhadap anak dari berbagai macam bentuk penyakit. Karena sunnah itu bila sudah dikerjakan akan menjadi faktor datangnya kebaikan dan keberkahan, lain halnya dengan kebid’ahan yang justru bersebrangan dengan hal tersebut. (Al-Madkhal, 3/228-229).