BerandaRenunganKisahMENGGAPAI CAHAYA HIDAYAH

MENGGAPAI CAHAYA HIDAYAH

- Advertisement -spot_img

Menjemput Hidayah

Semenanjung canda, tawa dan kebersamaan itu mungkin tak akan dan tak dapat ku ulangi lagi. Karena itu hanyalah masa lalu yang membuatku jauh dari Allah. Menenggelamkanku dalam dosa-dosa yang seharusnya tak ku jamah dan menarikku ke dalam dunia yang sesat dan menyesatkan.

Aku adalah seorang gadis polos korban broken home. Kedua orang tuaku cerai. Ayahku nikah lagi dan ibuku pergi merantau keluar negeri. Sehingga sangat sulit untuk mendapat kabar dari beliau. Hari-hariku diiringi oleh duka dan isak tangis. Tak ada yang mempedulikanku. Dan semua inilah yang menyebabkanku jauh dari kehangatan keluarga. Ini adalah pemicu yang menjerumuskanku menjadi anak punk.

Di komunitas ini banyak kesamaan antara alur ceritaku dengan mereka yang menjadi anggota punk. Di sini juga aku menemukan kebahagiaan yang tak pernah ku dapatkan saat di rumah. Tiga tahun yang lalu, tepatnya ketika aku kelas 1 SMK, awal aku terjerumus dalam dunia gelap. Tak tahu kenapa aku sangat bangga mempunyai komunitas itu, padahal awalnya biasa-biasa saja. Sehingga semakin lama aku semakin berani menampakkan status anak punk di lingkungan rumah, masyarakat maupun sekolah.

Bangga? Ya, dulu memang aku bangga mempunyai banyak teman laki-laki yang mengajariku minum minuman keras, nyimeng, ngrokok, ngepil, bahkan pergaulan bebas. Karena jarang perempuan berani seperti ini. Ini juga kulakukan untuk melepaskan segala penat, kesal dan ingin melupakan segala masalah yang menghampiriku. Pernah juga aku menjual barang-barang haram itu ke teman-teman sekolah dan adik kelasku. Merekapun senang-senang saja mendapat barang haram plus harga murah. Karena aku mendapatkannya langsung dari bandarnya.

Tak hanya menjual barang haram, aku juga sering ngepunk ke kota-kota besar dengan ngompreng truck bersama teman-teman sekomunitas. Terkadang hampir seminggu tanpa mandi, uang saku dan bekal. Kita hanya bermodal ngamen di lampu merah dan malak untuk makan. Sedangkan kalau tidur cukup di emperan toko. Tak ada rasa malu antara laki-laki dan perempuan yang bercampur baur.

Kupikir ibuku tak lagi mempedulikanku. Sehingga bertahun-tahun aku masih tetap di komunitas  punk  karena beliau tak tahu. Padahal beliau sudah pulang merantau. Ah, terserah… yang penting aku happy dan dunia di genggamanku.

Suatu ketika, ibuku geram dan marah, ketika aku ngepunk, ibuku sms. “Dik, pulang! Dalam waktu 12 jam kamu ga pulang terpaksa ibu laporkan ke polisi!” Dan masih banyak lagi sms sms yang mengancamku. Tapi aku tak peduli, hingga akhirnya aku pulang ke rumah diantar oleh temanku. Ternyata memang benar, aku dilaporkan ke polsek. Karena di rumah hanya ada bibi, paman dan nenek. Waktu aku ngambil barang-barangku untuk ku bawa kabur, ternyata bibiku mengusir temanku lalu mengunci semua pintu. Saat itu juga nenekku memelukku, menangis dan berkata,  “Nduk… apa kamu nggak malu seperti ini, padahal keluargamu keturunan dari orang yang baik-baik.” Deg. Hatiku terasa teriris-iris, air mata berlinang membasahi pipi. Sangat perih ku dengar kata-kata itu.

Tak lama kemudian, ibu, bibi dan pamanku yang lain datang dari polsek. Dengan garang pamanku berkata, “Ternyata kamu ingat rumah ya? Lalu ibuku menimpali, “Udah, kamu pergi saja dari rumah ini! Lagian ibu ga merasa kehilangan anak walaupun kamu adalah anah satu-satunya yang ibu miliki. Atau ibu memasukkan kamu ke sel saja bersama teman-temanmu!” Semua perkataan mereka ku jawab dengan nada ketus, tanpa pikir panjang aku dihakimi, dipukul, lalu menangis sejadi-jadinya, dan tanpa sadar pula aku berkata, “Ya udah, aku masuk pondok saja asal kalian tidak mengusir hidup teman-temank !” Dan ibuku menjawab, “Ok, kalau itu emang maumu.” Akhirnya pertengahan kelas 2 SMK, aku keluar dari sekolah, tanpa pamit ke guru-guru dan teman-temanku.

Setelah itu aku privat ngaji, belajar dari alif, ba’, ta’, selama setengah tahun dan melanjutkan sekolah di pondok. Robby Izzati… Inilah pintu hidayahku, tahun ajaran baru 2012 aku diterima di sebuah pondok ternama. Walaupun awalnya terpaksa dan belum bisa menyesuaikan diri dengan keadaan pondok, tapi aku tetap berjuang untuk akhiratku. Karena tak mungkin juga aku mati nanti masih berstatus anak punk. Na’udzubillah…

Seiring berjalannya waktu, hatiku mulai terbuka, bisa menerima semua ini dengan suka cita.  Keluargaku juga menyambutnya dengan baik. Bahkan semakin hari semakin harmonis.

Di pondok ini aku diajarkan arti tauhid, tata cara ibadah yang benar, serta kebersamaan dan persaudaraan yang sesungguhnya. Dan banyak lagi pelajaran-pelajaran yang tak mungkin ku dapat di luar sana. Alhamdulillah sampai sekarang aku bisa istiqomah di jalan Nya. Aku mampu  meninggalkan jurang kesesatanku selama ini. Tak terasa, setelah tahun lagi aku lulus menuntut ilmu di sini. Subhanallah.

Semoga secarik ceritaku ini dapat memberi pelajaran berharga bagi para pembaca sekalian. Ingatlah Allah menilai kita di akhir perjalanan hidup, bukan di awal perjalanan hidup. Semoga Allah mengampuni segala kekhilafan dan menetapkan hatiku ke dalam keistiqomahan. Amiin.

 

Shalihah

Di Bumi Allah

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami