BerandaKajianRenunganPesantren untuk Nusantara : Di Balik Lahirnya Hari Santri Nasional

Pesantren untuk Nusantara : Di Balik Lahirnya Hari Santri Nasional

- Advertisement -spot_img

Pendahuluan

Sejarah mencatat bahwa kemerdekaan Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran para ulama, santri, dan lembaga pesantren di seluruh nusantara. Jauh sebelum republik ini berdiri, pesantren telah menjadi pusat pendidikan, perlawanan terhadap penjajah, sekaligus tempat penyemaian semangat kebangsaan yang berpadu erat dengan nilai-nilai keislaman. Ketika sebagian kalangan memaknai perjuangan sebagai gerakan bersenjata semata, pesantren menafsirkan kemerdekaan sebagai bagian dari jihad fi sabilillah — sebuah bentuk pembelaan terhadap tanah air yang dipandang sebagai kewajiban agama.
(Inggar Saputra, “Resolusi Jihad: Nasionalisme Kaum Santri Menuju Indonesia Merdeka,” Jurnal Islam Nusantara, Vol. 3, No. 1, 2019, hlm. 2).

Atas dasar peran historis tersebut, ditetapkannya tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional memiliki landasan yang kuat. Penetapan ini tertuang dalam Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015, yang menegaskan bahwa tanggal tersebut diperingati untuk mengenang peristiwa dikeluarkannya Resolusi Jihad oleh Nahdlatul Ulama (NU) di Surabaya pada tahun 1945.
(Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri, 2015, pertimbangan c).

 

Pesantren dan Semangat Kebangsaan Pra-Kemerdekaan

Keberadaan pesantren di Nusantara sejak lama telah menjadi lembaga pendidikan rakyat yang menanamkan nilai cinta tanah air melalui prinsip-prinsip ajaran agama. Dakwah para kiai dan santri tidak hanya berperan dalam menyebarkan ajaran Islam, tetapi juga membawa misi untuk menumbuhkan kesadaran politik masyarakat terhadap rezim penjajah. Hal ini ditegaskan oleh Abdul Mun’im dalam karyanya Fragmen Sejarah NU: Menyambung Akar Budaya Nusantara (Jakarta: Pustaka Compass, 2017), hlm. 284, yang mencatat bahwa banyak pesantren di Jawa dan Madura menjadi basis pergolakan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, di antaranya Pesantren Tebuireng di Jombang dan Pesantren Sidoresmo di Surabaya.

Semboyan “Hubbul Wathan Minal Iman” (cinta tanah air adalah bagian dari iman) yang pertama kali digaungkan oleh Kiai Hasyim Asy‘ari, pendiri Nahdlatul Ulama, bukan sekadar slogan semata. Ungkapan ini merupakan doktrin moral yang menegaskan bahwa cinta tanah air merupakan bagian dari keimanan, sekaligus menjadi sumber inspirasi bagi ribuan santri untuk terjun berjuang — baik di medan perang, maupun melalui pendidikan dan dakwah sosial.
(Muhammad Rijal Fadli dan Bobi Hidayat, “K.H. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945,” Repository Universitas Muhammadiyah Metro, 2018, hlm. 4).

 

Resolusi Jihad dan Spirit Kemerdekaan

Kontribusi para santri dan kiai dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia mencapai puncaknya melalui Resolusi Jihad yang difatwakan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy‘ari pada 22 Oktober 1945. Resolusi tersebut menegaskan bahwa membela tanah air dari penjajahan merupakan kewajiban bagi setiap muslim (fardhu ‘ain), dan siapa pun yang gugur dalam perjuangan itu akan memperoleh derajat syahid. (Inggar Saputra, “Resolusi Jihad: Nasionalisme Kaum Santri Menuju Indonesia Merdeka,” Jurnal Islam Nusantara, Vol. 3, No. 1, 2019, hlm. 5).

Dalam naskah yang direproduksi oleh Tim Sejarawan Tebuireng (A. L. Bustami dan Tim Sejarawan Tebuireng, Resolusi Jihad: Perjuangan Ulama Dalam Menegakkan Kemerdekaan, Jombang: Pustaka Tebuireng, 2015, hlm. 93–94), terdapat butir penting Resolusi Jihad yang berbunyi:

“Menegakkan dan mempertahankan Republik Indonesia yang telah diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 adalah kewajiban setiap umat Islam. Apabila ada pihak yang hendak merusak kemerdekaan dan kedaulatan negara, maka wajib atas umat Islam untuk melawannya.”

Seruan di atas kemudian menjadi dasar moral bagi rakyat Surabaya untuk melakukan perlawanan terhadap pasukan sekutu dan NICA (Belanda) yang berupaya Kembali menegakkan kolonialisme. Dalam Jurnal Al-Qalam Vol. 26 No. 2 yang berjudul “Fatwa dan Resolusi Jihad : Historistas Jihad dan Nasionalisme di Indonesia,” disebutkan bahwa seruan fatwa ini kemudian segera disebarluaskan ke berbagai pesantren di Jawa Timur hingga membuahkan gelombang jihad yang puncaknya terjadi pada 10 November 1945, yang kini diperingati sebagai Hari Pahlawan ((Juma’, “Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad: Historisitas Jihad dan Nasionalisme di Indonesia,” Jurnal Al-Qalam Vol. 26 No. 2, UIN Sunan Ampel Surabaya, 2020, hlm. 3).

Kontribusi Pesantren dalam Mempertahankan Republik

Pasca bangsa ini memproklamasikan kemerdekaanya pada 17 Agustus 1945, pesantren menempati posisi strategis sebagai markas logistic, pusat komunikasi, dan konsolidasi moral bagi para pejuang. Banyak di antara para ulama dan kiai yang turut andil dalam diplomasi politik dan penyusunan fatwa yang berorientasikan penjagaan terhadap stabilitas spiritual bangsa seperti K.H. Wahid Hasyim, K.H. Abdul Wahab Chasbullah, dan K.H. Bisri Syansuri.

Seorang sejarawan dan peneliti Gugun El-Guyanie dalam karyanya “Resolusi Jihad Paling Syar’i: Biarkan Kebenaran Bicara” memaparkan bahwa setidaknya ada beberapa pesantren di Jawa Timur yang bahkan menyediakan lumbung pangan sekaligus tempat berlindung bagi lascar Hizbullah dan Sabilillah. (Gugun El-Guyanie, “Resolusi Jihad Paling Syar’i: Biarkan Kebenaran Bicara”, Yogyakarta: Pustaka Pesantren, tahun 2010, hlm. 45).

Dalam jurnal “Resolusi Jihad: Nasionalisme Kaum Santri Menuju Indonesia Merdeka” yang ditulis oleh Saputra juga dipertegas bahwa dengan adanya Resolusi Jihad memberikan legitimasi religius terhadap para pejuang bersenjata hingga menjadi gerakan rakyat yang bersifat nasional (Saputra, “Resolusi Jihad: Nasionalisme Kaum Santri Menuju Indonesia Merdeka,” Jurnal Islam Nusantara Vol. 3 No. 1, 2019, hlm. 8).

Dengan perpaduan antara spirit religius dan nasionalisme tersebut membuat perjuangan kaum santri dan kiai tidak sekedar heroik, tetapi juga serat akan ideologisnya dalam melawan penjajahan karena dorongan iman, bukan karena tendensi politik semata.

Dari Resolusi Jihad Menuju Hari Santri Nasional

Setelah tujuh decade berlalu, nilai-nilai perjuangan kaum santri Kembali diangkat oleh pemerintah Indonesia melalui Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Dalam konsiderannya dijelaskan:

“Bahwa ulama dan santri pondok pesantren memiliki peran besar dalam perjuangan merebut kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia serta mengisi kemerdekaan.” (Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri, 2015, pertimbangan a).

Penetapan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional bukan hanya sebagai tanda penghargaan negara terhadap sejarah, tetapi juga pengakuan bahwa eksistensi pesantren telah menjadi kekuatan moral bangsa. Pemerintah menegaskan bahwa peringatan ini bukan hari libur, melainkan momentum untuk meneladani semangat jihad dan nasionalisme kaum santri (Keppres No. 22/2015, Pasal 1).

Makna dan Relevansi Hari Santri

Hari Santri bukan sekadar peringatan simbolik, tetapi refleksi atas kontribusi pesantren dalam menjaga nilai keislaman dan keindonesiaan. Santri modern kini diharapkan mampu melanjutkan perjuangan kiai terdahulu: memperkuat akhlak, ilmu, dan kepedulian sosial di tengah tantangan zaman (Abdul Mun’im, Fragmen Sejarah NU: Menyambung Akar Budaya Nusantara, Jakarta: Pustaka Compass, 2017, hlm. 298).

Seperti dikatakan oleh Gugun El-Guyanie, semangat Resolusi Jihad harus dihidupkan dalam konteks kontemporer: membela bangsa dari kebodohan, kemiskinan, dan disintegrasi (El-Guyanie, Resolusi Jihad Paling Syar’i, hlm. 112). Maka, Hari Santri menjadi momentum untuk menyatukan nilai-nilai keislaman dengan keindonesiaan — bahwa mencintai Indonesia adalah bagian dari ibadah.

 

Penutup

Dari masa kolonial hingga kemerdekaan, pesantren, kiai, dan santri telah memainkan peran sentral dalam menjaga eksistensi bangsa. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 adalah tonggak sejarah yang mengikat Islam dan nasionalisme dalam satu napas perjuangan. Penetapan Hari Santri Nasional merupakan bentuk pengakuan negara terhadap jasa besar tersebut.
Dengan demikian, sejarah menunjukkan bahwa kaum santri bukan hanya penjaga moral bangsa, tetapi juga penjaga kemerdekaan dan persatuan Republik Indonesia.

 

Daftar Referensi

  • Bustami, A. L., & Tim Sejarawan Tebuireng. (2015). Resolusi Jihad: Perjuangan Ulama Dalam Menegakkan Kemerdekaan. Jombang: Pustaka Tebuireng.
    • El-Guyanie, G. (2010). Resolusi Jihad Paling Syar’i: Biarkan Kebenaran Bicara. Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
    • Fadli, M. R., & Hidayat, B. (2018). “K.H. Hasyim Asy’ari dan Resolusi Jihad dalam Usaha Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945.” Repository Universitas Muhammadiyah Metro.
    • Juma’. (2020). “Fatwa Jihad dan Resolusi Jihad: Historisitas Jihad dan Nasionalisme di Indonesia.” Jurnal Al-Qalam, Vol. 26 No. 2. UIN Sunan Ampel Surabaya.
    Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2015 tentang Hari Santri. (2015). Jakarta: Sekretariat Negara RI.
    • Mun’im, A. (ed.). (2017). Fragmen Sejarah NU: Menyambung Akar Budaya Nusantara. Jakarta: Pustaka Compass.
    • Saputra, I. (2019). “Resolusi Jihad: Nasionalisme Kaum Santri Menuju Indonesia Merdeka.” Jurnal Islam Nusantara, Vol. 3 No. 1, hlm. 1–10.

 

 

 

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
12,700PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
9,600PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami