BerandaKajianHaditsHaramkah Wanita Haidh Masuk ke Dalam Masjid?

Haramkah Wanita Haidh Masuk ke Dalam Masjid?

- Advertisement -spot_img
Studi Kritis Hadits Sayyidah ‘Aisyah Tentang Haramnya Wanita Haidh dan Orang Yang Junub Masuk ke Dalam Masjid. (Bagian. 1)
بسم الله الرحمن الرحيم

الحمد لله رب العالمين و الصلاة و السلام سيد المرسلين سيدنا محمد و على آله الطاهرين و أصحابه أجمعين أما بعد :

Segala puji hanya milik Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada penghulu para rasul, Sayyidina Nabi Muhammad ﷺ, dan kepada keluarga beliau yang suci,beserta para shahabatnya. Amma ba’du :

Masjid adalah tempat yang paling suci bagi ummat Islam di dunia. Dia dimuliakan karena merupakan simbol terpenting dan bersatunya ummat Islam dalam menambahkan keimanan dan ketakwaan. Namun bagaimana jadinya jika tempat tersebut dihuni atau disinggahi oleh orang yang tidak dalam keadaan suci, seperti wanita haidh misalnya.

Masa berbicara tentang wanita haidh yang masuk masjid, ada pembahasan hadits yang  berkaitan dengan masalah ini dan layak untuk dikaji. Hadits tersebut berbunyi :

 عن عائشة -رضي الله عنها- قالت: قال رسول الله -صلى الله عليه وسلم-إني لا أُحِلُّ المسجِدَ لحائِضٍ ولا جُنُبٍ

Dari ‘Aisyah radhiyallahu’anha ia berkata : Rasulullah ﷺ bersabda : “ Sesungguhnya saya tidak menghalalkan masjid untuk orang yang haidh dan orang yang junub”.

Takhrijul Hadits :

Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud as Sijistani dalam kitab sunannya dan Imam al Baihaqi asy Syafi’i al Asy’ari dalam kitab as Sunan al Kubra atau yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan al Baihaqi dari jalur Ibunda kaum mukminin sayyidah ‘Aisyah binti Abi Bakar radhiyallahu’anhuma. Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dalam kitab sunannya dan Imam ath Thabarani dalam kitab al Mu’jam al Kabir dari jalur Ibunda kaum mikminin sayyidah Ummu Salamah radhiyallahu’anha. Hanya saja, yang benar hadits ini berasal dari sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha, bukan dari sayyidah Ummu Salamah radhiyallahu’anha, sebagaimana yang dijelaskan oleh Imam Abu Zur’ah Ar Razi. Dan penjelasan beliau dinukil oleh Imam Ahli Jarh Wat Ta’dil, yakni  Imam Ibnu Abi Hatim ar Razi dalam kitab ‘Ilalnya.

Status Keabsahan Hadits

Mengenai status keabsahan hadits ini para ulama muhaditsin berbeda pendapat tentangnya. Sebagian dari mereka ada yang menshahihkannya, sebagian lainnya menghasankannya, dan sebagian lainnya lagi ada yang mendhoifkannya.

Diantara ulama ahli hadits yang menshahihkan hadits ini adalah Imam Ibnu Khuzaimah asy Syafi’i. Beliau mencantumkan hadits ini dalam kitab shahihnya. Nama asli kitab shahih beliau adalah Mukhtasharul Mukhtashar Minash Shahihil Musnad, hanya saja di kalangan ulama muta’akhirin lebih dikenal dengan sebutan Shahih Ibnu Khuzaimah. Dan setiap hadits yang beliau cantumkan dalam kitab shahihnya, maka secara otomatis dinilai shahih oleh beliau. Kecuali, hadits-hadits yang beliau jelaskan status kedhaifannya.

Yang kedua adalah Imam al Hafidz Ibnu Hajar al Asqalani asy Syafi’i, ahli hadits ternama yang tidak diragukan lagi akan kepakarannya dalam bidang ilmu hadits. Setelah beliau menyebutkan hadits ini dalam kitab Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, beliau menukil tashhih Imam Ibnu Khuzaimah atas hadits ini, dan beliau tidak mengomentari lagi, maka ini menunjukkan bahwa beliau condong kepada pendapat yang menshahihkan hadits ini. Wallahu a’lam. Selanjutnya adalah Imam Muhammad bin ‘Ali asy Syaukani sebagaimana yang beliau nyatakan dalam kitabnya Nailul Authar Syarh Muntaqal Akhbar dan as Sailul Jarrar al Mutadaffiq ‘Ala Hadaiqil Azhaar.

Adapun diantara ulama ahli hadits yang menghasankan hadits ini adalah Imam  Ibnul Qaththaan, sebagaimana yang beliau nyatakan dalam kitab beliau yang berjudul Bayaan al Wahm Wal Iiham. Kemudian, Imam Ibnu Sayyidin Naas yang berujar bahwa minimal tingkatan hadits ini adalah hasan. Lalu Imam az Zaila’i al Hanafi, sebagaimana yang beliau tegaskan dalam kitabnya Nashbur Rayah Fii Takhriji Ahaaditsil Hidayah.

Dari kalangan ulama mu’ashirin atau kontemporer ada Syaikh Abdullah bin Abdurrahman al Bassam, penulis kitab Taudhihul Ahkam Syarh Bulughil Maram dan Taisirul ‘Allaam Syarh ‘Umdatil Ahkam. Beliau tegaskan kehasanan status hadits ini dalam kitab beliau Taudhihul Ahkam Syarh Bulughil Maram.

Adapun diantara ulama muhaditsin yang menilai hadits ini dhoif adalah Imam Ibnu Hazm adh Dhahiri al Andalusi, mu’assis kedua madzhab Dhahiriyah, salah satu karya monumental beliau yang sampai kepada kita adalah kitab al Muhalla bil Atsar. Selanjutnya adalah Imam al Baihaqi, sebaimana yang dinukil oleh al Imam al ‘Alim al Wali Muhyiddin an Nawawi asy Syafi’I dalam kitab beliau al Majmu’ Syarhul Muhadzab. Lalu  Imam al Hafidz ‘Abdul Haqq al Isybili, seorang ulama pakar hadits dari Andalusia.

Dari kalangan ulama kontemporer ada Syaikh Muhammad Nashirudin al Albani. Beliau tegaskan kedhaifan hadits ini dalam beberapa kitab beliau, diantaranya Irwa’ul Ghalil Fii Takhriji Ahaaditsi Manaaris Sabiil, Dhaif Sunan Abi Dawud, Dhaiful Jami’ ash Shaghir Wa Ziyadatuh dan Tamamul Minnah Fit Ta’liiq ‘Ala Fiqhis Sunnah.

Hujjah Ulama Ahli Hadits Yang Mendhoifkan Hadits Ini

Diantara alasan atau hujjah ulama ahli hadits yang mendoifkan hadits ini adalah :

  1. Di dalam sanad periwayatan hadits ini ada perowi yang bernama Aflat bin Khalifah, sedangkan ia adalah seorang perowi yang majhul atau tidak diketahui akan kredibilitasnya. Demikian yang diutarakan oleh Imam Ibnu Hazm adh Dhahiri dan yang sependapat dengannya.

Dan sebagaimana yang sudah maklum bagi para pembelajar ilmu mushthalah hadits, kejahalahan akan kredibilitas seorang perawi itu dapat mencederai keshahihan sebuah hadits atau dengan kata lain bisa menyebabkan sebuah hadits menjadi dhaif.

  1. Di dalam sanad periwayatan hadits ini ada seorang perowi yang bernama Jasrah binti Dijajah. Al Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al Bukhari al Ju’fi dalam kitabnya at Tarikh al Kabir berujar :

عند جسرة عجائب

“ Jasrah ini memliki hadit-hadits yang ajib atau aneh ”.

Perkataan Imam al Bukhari ini menunjukkan bahwa beliau menilai Jasrah sebagai perowi yang dhaif. Demikian yang diutarakan oleh sebagian ulama ahli hadits yang mendhaifkan hadits di atas.

Tidak hanya itu, bahkan Imam Ibnu Rif’ah asy Syafi’i, seorang ahli fiqh madzhab Syafi’i menyatakan dalam kitab al Mathlab al ‘Aalii Fii Syarhi Wasiith al Ghazali bahwa Jasrah adalah seorang perowi yang matruk. Dan shighah jarh dengan lafadh “si fulan matruk” ini merupakan jarh yang cukup keras. Seakan-akan orang yang mengucapkannya ini menganggap si perowi telah berdusta atau yang semisalnya, dan hadits yang diriwayatkan olehnya tidak boleh ditulis, dijadikan sebagai bahan I’tibar apalagi dijadikan sebagai hujjah atau dalil.

  1. Hadits ini termasuk hadits mudhtharib. Dan idhthirabnya terdapat pada sanadnya. Alasannya, karena dalam riwayat Imam Abu Dawud dan Imam al Baihaqi disebutkan bahwa Jasrah binti Dijajah meriwayatkan hadits ini dari sayyidah ‘Aisyah radhiyallahu’anha, sedangkan dalam riwayat Imam Ibnu Majah dan Imam at Thabarani disebutkan bahwa ia meriwayatkan hadits ini dari sayyidah Ummu Salamah radhiyallahu’anha. Demikian yang diutarakan oleh Syaikh Muhammad Nashirudin al Albani dan para pengikutnya.

Dan hadits mudhtharib sebagaimana yang sudah maklum dalam ilmu musthalahul hadits termasuk ke dalam jajaran hadits dhaif. Karena idhthirab itu menandakan bahwa hafalan dan kedhabitan perowi tersebut bermasalah atau tidak kuat. Sedangkan salah satu syarat hadits shahih maupun hasan adalah para perowinya harus dhabith, baik dhathus shadr ataupun dhabthul kitab. Wallahu a’lam.

Hujjah Ulama Ahli Hadits Yang Menshahihkan Hadits Ini

Adapun alasan atau hujjah ulama ahli hadits yang menshahihkan  hadits ini adalah karena syarat-syarat hadits shahih sudah terpenuhi pada hadits ini. Dan sebuah hadits dikatakan shahih jika padanya  terpenuhi lima syarat, yaitu :

  1. Isnadnya harus bersambung dari awal sampai akhir.
  2. Para perawinya harus orang-orang yang ‘adil riwayat. Seseorang disebut ‘adil jika terkumpul padanya empat kriteria, yaitu : Islam, berakal, baligh, tidak fasiq, dan tidak melakukan hal-hal yang dapat mencederai muru’ahnya. Adapun maksud ‘adil riwayat adalah para perawi tersebut harus memiliki sifat ke’adalahan yang sudah tersebut diatas ketika meriwayatkan atau menyampaikan hadits kepada muridnya.
  3. Para perawinya harus orang-orang yang dhabith, baik dhabtush shadr ataupun dhabtul kitab dengan kedhabitan yang sempurna.
  4. Tidak terdapat syudzudz padanya atau dengan kata lain, hadits itu harus bukan hadits yang syadz. Sebuah hadits dikatakan syadz apabila hadits tersebut diriwayatkan oleh seorang perowi yang tsiqah, akan tetapi hadits itu baik sanad ataupun matnnya menyelishi hadits yang diriwayatkan oleh perowi yang lebih tsiqah darinya, baik dari sisi kualitas maupun dari sisi kuantitasnya.
  5. Tidak ada illat atau kecacatan tersembunyi yang dapat mencederai keshahihan hadits tersebut.

Hujjah Ulama Ahli Hadits Yang Menghasankan Hadits Ini

Sebagaimana alasan para ulama ahli hadits yang menshahihkan hadits ini karena terpenuhinya syarat-syarat hadits shahih padanya, begitu juga para ulama muhaditsin yang menghasankan hadits ini beralasan karena terpenuhinya syarat-syarat hadits hasan pada hadits sayyidah ‘Aisyah diatas. Dan syarat-syarat hadits hasan sama dengan syarat-syarat hadits shahih. Bedanya, perowi hadits shahih harus memiliki kedhabitan yang sempurna, sedangkan perowi hadits hasan tidak harus seperti itu. Wallahu a’lam bish shawab

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami