BerandaKonsultasiHaruskah Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat Ketika Baligh?

Haruskah Mengucapkan Dua Kalimat Syahadat Ketika Baligh?

- Advertisement -spot_img

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum Warahmatullah Wabarakatuh

Apakah seorang yang terlahir muslim harus mengucapkan syahadat ketika baligh? Karena di daerah saya ada sebagian yang mengatakan kalau belum bersyahadat itu artinya Islam turunan bahkan ada yang mengatakan bahwa yang belum bersyahadat itu adalah kafir. Bagaimanakah saya harus meluruskan pemahaman tersebut? Mohon penjelasannya ustadz.

Jawaban :

Wa’alaikumsalam Warahmatullah Wabarakatuh

Ada segelintir kalangan dari umat Islam yang memiliki paham nyeleneh yaitu mereka mewajibkan setiap orang yang ingin diterima iman dan islamnya maka ia harus mengucapkan syahadat ulang atau kalau sudah mencapai usia baligh seseorang harus mengucap dua kalimat syahadat. Ini adalah pendapat yang bertentangan dengan syariat Islam karena syahadat itu sebenarnya adalah sebagai bukti keislaman seseorang yang sebelumnya bukan Islam, adapun yang dari lahir ia dilahirkan dari keluarga muslim maka tidak perlu lagi mengucap syahadat. Para ulama mengatakan :

الطفل الصغير يتبع المسلم من أبويه في الديانة

“Hukum seorang anak kecil beragama Islam mengikuti agama kedua orang tuanya.”

Jika ada pertanyaan: apakah perlu bagi seorang anak yang dibesarkan oleh dua orang tua muslim untuk menyatakan syahadat mereka setelah mencapai baligh (pubertas)?.

Bagaimana status seorang anak yang dibesarkan di rumah di mana ayah adalah muslim tapi ibu tidak dan ayah belum menyuruh menegakkan shalat dari usia 10 tahun dan anak-anaknyapun tidak shalat ?. Maka Jawabannya ada beberapa pendapat mengenai hal ini.

Pendapat pertama, anak yang lahir dari dua orang tua yang muslim di hukumi muslim dengan kesepakatan ulama’. Jika orang tua memiliki agama yang berbeda, maka anak mengikuti orang yang beragama Islam, apakah itu ayah atau ibu. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah (semoga Allah merahmatinya) mengatakan :

الطفل إذا كان أبواه مسلمين كان مسلماً تبعاً لأبويه باتفاق المسلمين ، وكذلك إذا كانت أمه مسلمة عند جمهور العلماء كأبي حنيفة والشافعي وأحمد” . (انتهى من مجموع الفتاوى ، ج 10، ص 437)

Jika orang tua anak keduanya muslim, maka ia Muslim juga, mengikuti orang tuanya, menurut kesepakatan kaum muslimin. Hal yang sama berlaku jika ibunya adalah Muslim, menurut mayoritas ulama seperti Abu Hanifah, al-Shaafa’i dan Ahmad. )Akhir kutipan dari  kitab Majmu’ Al-Fatawa, , vol. 10 / hlm. 437)

Dikatakan pula dalam Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah (vol. 4 / hlm. 270): “Para fuqaha’ telah sepakat bahwa jika ayah telah menjadi Muslim dan ia memiliki anak-anak, maka anak-anak ini harus dianggap sebagai Muslim mengikuti ayahnya.

 

Jumhur ulama’ (Hanafi, Hanbali dan Syafi’i) memiliki pandangan akan status Muslim dengan salah satu orang tuanya, apakah itu ayah atau ibunya, sehingga anak-anak harus dianggap sebagai Muslim dengan mengikuti orang tua, karena Islam harus ditegakkan dan tidak ada yang dilebihkan, karena itu adalah agama Allah yang ia ridhai untuk hamba-Nya.”

Pendapat Kedua, Ketika anak Muslim mencapai usia pubertas, ia tidak perlu mengucapkan Syahadatnya lagi. Hal ini dikuatkan dengan pernyataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang mengatakan:

واتفق المسلمون على أن الصبي إذا بلغ مسلماً لم يجب عليه عقب بلوغه تجديد الشهادتين. (انتهى من  درء التعارض، ج 4، ص 107)

“Kaum Muslim telah sepakat bahwa jika seorang anak mencapai usia pubertas sebagai seorang Muslim, ia tidak diperlukan untuk memperbaharui Shahaadatayn tersebut.” (Akhir kutipan dari kitab Dar‘u At-Ta’aarudh, vol. 4 / hlm. 107)

Dan beliau rahimahullah juga kembali menegaskan dengan perkataanya yang berbunyi :

السلف والأئمة متفقون على أن أول ما يُؤمر به العباد الشهادتان ، ومتفقون على أن من فعل ذلك قبل البلوغ لم يؤمر بتجديد ذلك عقب البلوغ. (انتهى من  درء التعارض، ج 4، ص 107)

Generasi awal dan para imam telah sepakat bahwa hal pertama yang diperintahkan kepada umat adalah dua syahadatnya, dan mereka sepakat bahwa jika seseorang melakukan itu sebelum mencapai pubertas, dia tidak boleh diperintahkan untuk memperbarui bahwa ketika ia mencapai pubertas.” (Dikutip  dari kitab Dar‘u At-Ta’aarudh, vol. 4 / hlm. 107.)

Tetapi jika setelah mencapai pubertas ia mengatakan atau melakukan sesuatu yang menunjukkan bahwa ia tidak ridha dengan Islam, maka ia dianggap sebagai murtad dan diperlakukan sebagai orang yang telah murtad dari agama Islam.

Sebagaimana yang disadur dalam Al-Fatawa Al-Kubro, vol. 1, hlm. 64, dijelaskan bahwa dalam hal putusan duniawi, anak berada di bawah peraturan yang sama seperti orang tuanya, karena dia tidak independen. Ketika ia mencapai pubertas dan berbicara banyak kata-kata Islam atau tidak percaya, maka ia akan dinilai atas dasar itu, menurut kesepakatan kaum muslimin. Jika orang tuanya adalah orang Yahudi atau Kristen, kemudian ia menjadi Muslim, maka ia adalah seorang Muslim menurut kesepakatan kaum Muslim. Jika mereka Muslim dan ia menjadi kafir, maka dia adalah kafir menurut kesepakatan ummat Muslim.

Pendapat Ketiga: Ketika anak mencapai usia tujuh tahun, orang tuanya harus menginstruksikan dia untuk shalat dan mendorong dia untuk melakukannya, karena diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin’ Amr bin Al-‘Ash radhiallahu anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

مُرُوا أَوْلادَكُمْ بِالصَّلاةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ سِنِينَ ، وَاضْرِبُوهُمْ عَلَيْهَا وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ (رواه أبو داود،  495، وصححه الألباني في صحيح أبي داود  466)

“Perintahkan anak-anak Anda untuk shalat ketika mereka berusia tujuh tahun dan memukul mereka jika mereka tidak melakukannya ketika mereka berumur sepuluh.” Diriwayatkan oleh Abu Dawud (495); dishahihkan oleh al-Albani dalam shahih Abi Dawud (466).

Imam An-Nawawi mengatakan: Para ulama’ berpendapat bahwa hal Ini adalah wajib bagi ayah dan ibu untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang bersuci, shalat dan hukum lain setelah usia tujuh tahun, dan memukul mereka jika mereka tidak melakukannya setelah usia sepuluh.  (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, vol. 3 / hlm. 11)

Ibnu Qudaamah mengatakan: Anjuran ini disyariatkankan bagi anak untuk membiasakan diri melaksanakan shalat, sehingga ia akan merasa nyaman dengan itu dan ia tidak akan mengabaikan hal tersebut ketika mencapai pubertas, tetapi hal tersebut tidak diwajibkan atas dia. (Al-Mughni, vol. 1 / hlm. 682)

Jika seorang anak tidak shalat sebelum usia pubertas, tidak menjadikan dia sebab keluar dari agama islam, karena ia tidak memiliki anjuran untuk melakukan itu dan itu tidak wajib baginya.

Syaikh al-Islam mengatakan: Shalat tidak wajib bagi seorang anak, bahkan jika ia telah mencapai usia sepuluh. Ini adalah pandangan mayoritas ulama.  (Al-Ikhtiyaraat Al-Fiqhiyyah, vol. 1 / hlm. 32)

Berdasarkan hal ini, anak yang memiliki ayah Muslim dan ibu non-Muslim adalah seorang Muslim. Jika dia mencapai usia sepuluh dan tidak shalat, ia bukan kafir karena ia tidak berdoa, karena ia tidak dianjurkan untuk itu sampai ia mencapai usia pubertas. Jika dia mencapai usia pubertas dan berlanjut dengan tidak shalat, maka ia murtad dari Islam disebabkan meningglkan shalat. Wallahu A’lam.

 

 

Artikel ini merupakan versi terjemahan dari situs : islamqa.info

Alih bahasa : Abdurrahman Al-Ghazi

Editor         : Azzam Elmahdie

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami