BerandaKajianAdabJangan Merasa Lebih Tahu

Jangan Merasa Lebih Tahu

- Advertisement -spot_img

Dalam proses belajar, seorang murid membutuhkan seorang guru. Guru dibutuhkan untuk mentransfer ilmu yang ia miliki atau menjelaskan ilmu yang tidak dipahami oleh murid. Selain itu guru juga dijadikan suri tauladan dalam masalah akhlak oleh para muridnya.

Para penuntut ilmu hendaknya menghormati dan memuliakan guru yang telah mengajarkan ilmu kepadanya. Berlaku sopan, rendah hati dan tidak menyakitinya. Karena para guru adalah orang-orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu kepada anak didiknya. Allah pun memuliakan mereka karena ilmu yang dimilikinya. Sehingga mereka layak untuk dihormati dan dimuliakan.

Di antara bentuk  penghormatan terhadap guru adalah tidak merasa lebih tahu ketika belajar kepadanya. Sekalipun ia memang sudah mengetahui perkara yang dibahas oleh sang guru. Misalnya, jika guru membicarakan suatu perkara yang sudah diketahui, janganlah ia memotong atau mendahului perkataannya dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa dia telah mengetahui perkara tersebut. Namun hendaknya ia tetap mendengarkan dan memperhatikannya dengan seksama. Begitulah para salaf berakhlak terhadap guru-guru mereka.

Seorang ulama bernama Atha’ mengatakan, “Seorang pemuda pernah menyampaikan sebuah hadits, maka saya mendengarkannya dengan seksama seakan-akan aku belum pernah mendengarnya sama sekali, padahal saya sudah mendengarnya sejak dulu.” (al-Jami’ Li Akhalaq ar-Rawi wa Adaab as-Saami’, karya Al Khathib Al-Baghdadi)

Sedangkan memotong atau mendahului perkataan guru dengan tujuan untuk menunjukkan kepandaiannya kepada orang lain akan menimbulkan perasaan berbangga diri dan sombong. Merasa lebih mengetahui dari pada orang lain, bahkan gurunya. Padahal orang yang sombong akan sulit menerima ilmu yang disampaikan orang lain. Karena sombong adalah menganggap dirinya lebih baik dari orang lain dan menganggap orang lain penuh dengan kekurangan. Sehingga ia merasa tidak pantas menerima kebenaran dari orang yang dianggap banyak kekurangan. Dari Abdullah bin Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu– , Rasulullah – shallallahu ‘alaihi wasallam-  bersabda:

الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ

“Sombong adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim)

Menurut Imam Al Baghawi, maksud Ghamthun Nas adalah meremehkan mereka dan menganggap mereka tidak ada apa-apanya.” (Syarhus Sunnah, vol. 13, halm. 166)

Ibnu Rajab berkata, “Orang yang sombong memandang dirinya sempurna dan memandang orang lain penuh dengan kekurangan. Sehingga ia akan merendahkan dan meremehkan mereka. Menganggap mereka tidak berhak menerima hak-hak dari dirinya dan tidak menerima kebenaran dari seorang pun dari mereka ketika disampaikan kepadanya.” (Jami’ul Ulum wal Hikam)

Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu tidak akan mendapat ilmu jika ada perasaan sombong dalam hatinya. Karena ia merasa lebih pandai dari sang guru, dan gurunya dianggap tidak lebih pandai dari dirinya. Sehingga ia meremehkan dan menolak kebenaran ilmu yang disampaikan gurunya.

 

Sikap Para Salaf

Para salaf pun sangat mencela sikap merasa lebih tahu saat belajar ini. Diceritakan dari Mu’ad bin Sa’id, beliau berkata, “Suatu ketika kami sedang berada di majelis Atha’ bin Abi Rabah. Lalu ada seseorang yang berbicara tentang satu masalah. Kemudian ada orang yang lain yang menyangkal ucapannya. Maka Atha’ berkata, “Subhanallah, akhlak apakah ini? Mimpi buruk apakah ini? Sungguh aku pernah mendengar hadits dari seseorang padahal aku lebih mengetahui dari pada dia. Namun aku tunjukkan kepadanya seakan-akan aku belum mengetahuinya sama sekali.” (al-Jami’ Li Akhalaq ar-Rawi wa Adaab as-Saami’, karya Al-Khathib Al Baghdadi, I/200)

Diriwayatkan dari Khalid bin Shafwan, ia berkata, “Jika engkau mendengarkan seseorang menyampaikan hadits yang telah engkau dengar sebelumnya, atau memberi suatu kabar yang sudah engkau ketahui, maka janganlah engkau menyelanya dengan tujuan agar orang lain mengetahui bahwa engkau telah mengetahuinya. Karena hal itu termasuk adab yang buruk.” (al-Jami’ Li Akhalaq ar-Rawi wa Adaab as-Saami’, karya Al Khathib Al Baghdadi), I/201)

Dari Ibrahim bin Al Junaid berkata, sebagian ahli hikmah berkata, “Termasuk bagian dari adab, tidak menyela pembacaan hadits orang lain, walaupun dia lebih mengetahui hadits tersebut dari padanya.” Maka saya katakan, “Jangan kamu menyela pembacaan hadits walaupun engkau lebih mengetahui perkara cabang dan pokok dari masalah tersebut.” (al-Jami’ Li Akhalaq ar-Rawi wa Adaab as-Saami’, karya Al Khathib Al Baghdadi)

Dari Ya’la bin Hakim berkata, “Sesungguhnya Sa’id bin Jubair menyampaikan hadits Rasulullah. Maka ada seseorang dari penduduk Makkah menyahut, “Sesungguhnya Allah berfirman dalam kitabnya begini dan begitu.” Maka Sa’id pun sangat marah dan berkata, “Apakah kalian menganggap Al Qur’an bertentangan dengan hadits Rasulullah. Sesungguhnya Rasulullah lebih mengetahui kitabullah dari pada kamu.”  (Al Jami’ Li Akhalaqir Rawi wa Adaabus Saami’, karya Al Khathib Al Baghdadi)

Maka jika engkau, wahai para penuntut ilmu, mendengar seseorang menyampakan kabar (hadits), sedang engkau telah mengetahui sebelumnya, hendaknya engkau jangan menyela dalam periwatannya. Dengan tujuan untuk menujukkan kepada orang lain bahwa diri telah mengetahui hadits tersebut. Karena perbuatan tersebut termasuk adab yang buruk.

 

Menjawab Peratanyaan Guru

Dalam hal ini dikecualikan jika guru bertanya kepada murid untuk mengetahui kemampuannya. Dalam kondisi demikian hendaknya murid menjawab pertanyaan gurunya sesuai ilmu yang milikinya. Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar –radhiyallahu ‘anhu- bahwasanya Rasulullah –radhiyallahu ‘anhu–  bersabda:

إِنَّ مِنَ الشَّجَرِ شَجَرَةً لاَ يَسْقُطُ وَرَقُهَا وَإِنَّهَا مَثَلُ الْمُسْلِمِ فَحَدِّثُونِي، مَا هِيَ فَوَقَعَ النَّاسُ فِي شَجَرِ الْبَوَادِي (قَالَ عَبْدُ اللهِ): وَوَقَعَ فِي نَفْسِي أَنَّهَا النَّخْلَةُ فَاسْتَحْييْتُ ثُمَّ قَالُوا: حَدِّثْنَا، مَا هِيَ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ: هِيَ النَّخْلَةُ  (أخرجه البخاري)

“Sesungguhnya di antara pohon-pohon di padang pasir ada sebuah pohon yang daunnya tidak gugur, dan sesungguhnya pohon itu adalah sebagai perumpamaan seorang muslim. Ceritakan kepadaku apa yang dimaksud dengan pohon itu ?” Lalu para sahabat menduga-duga mengenai pohon-pohon padang pasir itu. Dan diriku menduga bahwa pohon yang dimaksud adalah pohon kurma, namun saya merasa malu (untuk mengutarakan). Kemudian para sahabat berkata,”Ceritakanlah kepada kami, wahai Rasulullah, apa yang dimaksud pohon itu?” “Pohon itu ialah kurma”, jawab Rasulullah. (HR. Al Bukhari)

Abdullah bin Umar h berkata: Orang-orang mengira pohon padang pasir sementara aku mengiranya pohon kurma. Tapi aku malu mengatakannya. Maka aku beritahu Umar apa yang aku kira lalu Umar berkata:

لأَنْ تَكُونَ ، قُلْتَ : هِيَ النَّخْلَةُ ، أَحَبُّ إِلَيَّ مِنْ كَذَا وَكَذَا

“Sungguh jika kamu mengatakan bahwa pohon itu adalah pohon kurma, niscaya lebih saya sukai dari pada diam saja”. (Riwayat Muslim)

Demikian di antara adab penuntut ilmu. Tidak merasa lebih tahu, memotong pembicaan guru sekalipun dia sudah mengetahui perkara yang disampaikan. Inilah adab yang diajarkan oleh para salaf shalih bagi para penuntut ilmu syar’i. Kecuali guru menghendaki agar murid menjawab pertanyaannya untuk mengetahui kemampuan murid. Wallahu a’lam bish shawwab.

 

Oleh : Yazid Abu Fida’

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami