BerandaKajianUsrohKita Adalah Cerminan Bagi Keluarga Kita

Kita Adalah Cerminan Bagi Keluarga Kita

- Advertisement -spot_img

Allah Ta’ala berfirman:

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ قُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَٰٓئِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.”(Q.S At-Tahrim [66]: 6)

 

Rumah tangga yang Islami adalah rumah tangga yang mampu berfungsi sebagai cermin bagi anggota keluarganya. Baik suami, istri, anak maupun  keluarga besar lainnya. Masing- masing menjadi cermin bagi yang lainnya, mengingatkan saat yang lain melakukan penyimpangan dan saling memotivasi dalam menapaki tangga kebaikan,  saat terjadi kelesuan dalam keluarga. Perilaku tersebut biasa kita dengar dengan istilah “Amar ma’ruf dan nahi mungkar”.

Amar ma’ruf dan nahi mungkar sejatinya merupakan perilaku yang wajib dikerjakan bagi setiap individu muslim. Tak pandang statusnya sebagai anak, orang tua, suami, istri, atau pun pembantu rumah tangga, bahkan terhadap seseorang yang tidak memiliki hubungan kekerabatan sekalipun. Rasulullah saw bersabda: “Agama itu adalah nasehat”. Para sahabat bertanya: “Untuk siapa?”. Beliau menjawab: “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan umat muslim seluruhnya”. (H.R Muslim)

Tegaknya amar ma’ruf nahi mungkar dalam keluarga, ikut menentukan  laju bagi keluarga tersebut. Lebih dari itu, persinggahan akhir kelak pun  juga dipengaruhi dengan keseriusan kita dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Suami, sebagai Al Qawwam dalam keluarga bertanggung jawab penuh dalam menjaga manhaj ini.

Pentingnya persoalan ini sampai Imam An-Nawawi dalam kitab Riyadlush shalihin menulis sebuah judul “Bab wajib (bagi suami) untuk memerintahkan kepada istri dan anak-anaknya yang sudah mumayyiz, serta semua orang yang ada dalam tanggung jawabnya, untuk mengerjakan ketaatan kepada Allah Ta’ala, dan melarang mereka dari semua penyimpangan, serta wajib mengatur mereka, serta mencegah mereka dari hal-hal yang dilarang agama.”

Amar ma’ruf dan nahi mungkar harus kita tegakkan dalam rumah tangga, untuk memperbaiki berbagai kekurangan yang ada dalam keluarga tersebut, dan menunjukkan mereka pada kebaikan. Karena itu, kita harus menggunakan sikap yang hikmah. Bukan dengan cara yang kasar yang dapat menimbulkan kemungkaran lain atau bahkan lebih besar dari yang diingkari. Kelembutan, kasih sayang, kesabaran, dan sikap tawakal yang tinggi pada Allah, menjadi langkah-langkah yang efektif, kreatif, dan solutif. Harapannya dengan langkah tersebut dapat menghindarkan diri dari friksi-friksi yang justru berujung pada kerusakan yang lebih besar dari kemungkaran yang diingkari.

Satu hal yang tak kalah penting untuk diperhatikan adalah, bahwa hidayah itu hanya milik Allah Ta’ala. Tanggung jawab kita hanya melakukan proses perubahan itu, bukan menentukan hasil. Adapun hasil, itu hanya di tangan Allah Ta’ala. Sekuat apa pun kita ingin merubah kondisi orang-orang yang kita cintai menjadi lebih baik, jika Allah tidak berkenan maka perubahan tidak akan terjadi. Karena hanya Allah pemilik hati semua manusia.

Terhadap diri sendiri pun kita tidak dapat menjamin, pasti selalu berada di atas jalan hidayah. Apalagi nasib dari keluarga kita. Banyak sejarah yang tercatat dalam Al-Qur’an memberi contoh kongrit pada kita, seperti nabi Nuh yang tak dapat menjamin istrinya dan anaknya.  Asiyah yang tak dapat menjamin Fir’aun (suaminya), Nabi Ibrahim yang tak dapat mentauhidkan ayahandanya, dan nabi Muhammad saw yang tak sanggup menjadikan lisan paman tercinta mengikrarkan dua kalimat syahadat. Semua itu bukti, bahwa hak memberi hidayah itu menjadi milik Allah secara mutlak. Tak seorang pun dapat merubahnya. Allah Ta’ala berfirman:

 

لَّيْسَ عَلَيْكَ هُدَىٰهُمْ وَلَٰكِنَّ ٱللَّهَ يَهْدِى مَن يَشَآءُ ۗ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِنْ خَيْرٍ فَلِأَنفُسِكُمْ ۚ وَمَا تُنفِقُونَ إِلَّا ٱبْتِغَآءَ وَجْهِ ٱللَّهِ ۚ وَمَا تُنفِقُوا۟ مِنْ خَيْرٍ يُوَفَّ إِلَيْكُمْ وَأَنتُمْ لَا تُظْلَمُونَ

“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), Maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan Karena mencari keridhaan Allah. dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup sedang kamu sedikitpun tidak akan dianiaya (dirugikan).” (Q.S Al-Baqarah [2]: 272)

 

Kerja keras, dan ketulusan kita dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, menjadi bukti bahwa kita mampu menjadi cermin bagi keluarga kita, dan itulah jalan  taqwa. Semua ada nilai dan harganya di sisi Allah. Oleh sebab itu dalam menjalankan tugas ini, kita harus menaruh harapan besar pada Allah karena tidak ada usaha yang sia-sia. Andaikan kita tidak dapat melihat hasil dalam kehidupan dunia ini, Allah tetap akan memberikan pahala atas jerih payah yang kita lakukan. Karena itu tetaplah melangkah sejauh yang kita bisa, menjadi cermin bagi keluarga kita, dalam menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar. Jangan pernah berhenti sebelum kita bekerja keras, setelah itu kita doakan mereka dan pasrahkan hasil akhirnya pada Allah Ta’ala. Itulah puncak dari kesabaran dan ketawakkalan kita pada-Nya.

Al Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah berkata: “Aku belajar kesabaran dari anak kecil. Suatu ketika aku berjalan ke masjid, aku mendapati seorang wanita berada di dalam rumahnya, sedang memukuli anaknya. Anak itu berteriak, lalu membuka pintu, kemudian lari. Maka wanita itupun mengunci pintu rumahnya. Tatkala aku pulang dari masjid, aku kembali memperhatikan. Aku dapati anak itu telah tertidur di dekat daun pintu sesudah menangis beberapa saat. Dia sedang berharap belas kasih dari ibunya, maka luluhlah hati sang ibu, sang ibu membukakan pintu untuk anaknya. Kemudian Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah menangis, sampai air matanya membasahi jenggotnya. Beliau berkata: “Kalau seorang hamba bisa bersabar di depan pintu (rahmat) Allah, niscaya pintu itu akan dibukakan untuknya. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah 6/22)

Tidak ada tempat yang paling aman untuk saling mengoreksi, kecuali di rumah kita sendiri. Suami dan istri saling koreksi, begitu juga dengan anak dan orang tua, atau anggota keluarga yang lain. Sebab jika koreksi datang dari orang lain, biasanya cenderung ada perasaan tidak suka, dan sakit hati. Itulah sebabnya maka rumah tangga adalah korektor yang paling aman bagi anggotanya. Sikap saling mengoreksi merupakan bentuk kongrit dari penjagaan kita terhadap keluarga. Wallahu a’lam bish shawab.

Oleh: Ustadzah Siswati Ummu Ahmad

 

 

 

 

 

 

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami