BerandaKajianTazkiyahMakna Takwa dan Keterkaitannya dengan Keimanan

Makna Takwa dan Keterkaitannya dengan Keimanan

- Advertisement -spot_img

Makna Takwa dan Keterkaitannya dengan Keimanan

Pluralisme –juga multikulturalisme– dalam arti kemajemukan masyarakat adalah sebuah keniscayaan.

Allah berfirman dalam Surat Al-Hujurat Ayat 13

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.

Ayat tersebut menegaskan bahwa manusia yang beragam itu sesungguhnya setara di hadapan Allah. Hal yang membedakan mereka adalah ketakwaannya.

Kemuliaan manusia di sisi Allah berbanding lurus dengan level ketakwaan seseorang.

Ayat itu pula yang digunakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menghapuskan fanatisme jahiliyah dan diskriminasi.

Dalam khotbah fathu Makkah, sebelum menyampaikan Surat Al-Hujurat ayat 13 ini beliau bersabda

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَذْهَبَ عَنْكُمْ عُبِّيَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ وَتَعَاظُمَهَا بِآبَائِهَا فَالنَّاسُ رَجُلاَنِ رَجُلٌ بَرٌّ تَقِىٌّ كَرِيمٌ عَلَى اللَّهِ وَفَاجِرٌ شَقِىٌّ هَيِّنٌ عَلَى اللَّه

Hai manusia, sesungguhnya Allah telah melenyapkan dari kalian keaiban masa jahiliyah dan tradisinya yang selalu membangga-banggakan orang tua. Manusia itu hanya ada dua macam; yakni yang berbakti, bertakwa lagi mulia di sisi Allah; dan orang yang durhaka, celaka lagi hina di sisi Allah.”  (HR. Tirmidzi; shahih)

Apa makna kata takwa?

Sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Umar bin Khattab radhiyallahu’anhu pernah bertanya kepada Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu, “Apa sebenarnya arti takwa itu wahai sahabatku?”

“Bukankah Anda pernah melewati jalan yang penuh dengan duri wahai Ibnul Khattab?” Ubay bin Ka’ab radhiyallahu’anhu balik bertanya.

“Iya, pernah.” Jawab Umar radhiyallahu’anhu.

“Apa yang kemudian Anda lakukan?” Tanya Ubay radhiyallahu’anhu.

“Tentu aku bersiap-siap dan berjalan dengan sangat hati-hati.” Terang Umar radhiyallahu’anhu.

“Itulah takwa.” Simpul Ubai bin Ka’ab. (Nashih Ulwan, Tarbiyatu Al-Awlad, hlm. 359)

Makna takwa secara bahasa bisa dilacak dari akar kata waqa-yaqi-wiqayatan yang berarti menghindar, menjauhi, memelihara, dan menjaga sesuatu dari segala yang dapat menyakiti dan mencelakakan. (Murtadha Az-Zabidi, Taj Al-‘Arus, jilid 40, hlm. 226-230)

Adapun pengertian takwa menurut istilah, akan bisa didapatkan pada banyak literatur, termasuk Al-Qur’an, Hadits, dan pendapat sahabat serta para ulama.

Semua pengertian takwa itu mengarah pada satu konsep, yakni melaksanakan semua perintah Allah Ta’ala, menjauhi larangannya, dan menjaga diri agar terhindari dari api neraka atau murka Allah Ta’ala.

Selain kisah Umar bin Khattar radhiyallahu’anhu di atas, Ali bin Abi Thalib juga mendefinisikan takwa sebagai perilaku yang “tidak mengulang-ulang perbuatan maksiat, dan tidak terpedaya olehnya dengan merasa puas melakukan ketaatan.”

Ali mengatakan, “Takwa adalah rasa takut kepada Allah, mengamalkan Al-Qur’an, merasa cukup (qana’ah) dengan yang sedikit, dan bersiap-siap untuk hari kematian.” (Abdul Hamid Kasyk, Fi Rihab At-Tafsir, Al-Maktab Al-Misri Al-Hadits, tth, jilid 28, hlm. 6235)

Ibnul Qayyim juga mengaitkan takwa dengan iman.

Menurutnya, takwa adalah melaksanakan amal ketaatan kepada Allah karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah lantaran perintah dan larangan-Nya dan takut kepada ancaman-Nya. (Ibnul Qayyim, Zad Al-Muhajir, hlm. 10)

Islam memang membahas kata takwa dengan panjang lebar.

Sebab, takwa merupakan sebuah konsep yang khas dalam ajaran Islam dan selalu bergandengan dengan iman.

Ibnul Qayyim mengatakan bahwa takwa adalah amal ketaatan kepada Allah karena keimanan. (Ibnul Qayyim, Zad Al-Muhajir, hlm. 10)

Bahkan menurut Abdullah Nashih Ulwan, takwa adalah konsekuensi logis dari keimanan yang kokoh. (Nashih Ulwan, Tarbiyatu Al-Awlad, jilid 1, hlm. 355)

Sedangkan Imam Ar-Razi mengartikan bahwa takwa itu sama dengan iman. (Fakhruddin Ar-Razi, Mafatih Al-Ghayb, jilid 2, hlm. 267)

Jadi, orang yang bertakwa haruslah beriman terlebih dahulu atau pada saat iman seseorang itu kokoh maka secara otomatis dia akan bertakwa kepada Allah.

Hal yang pasti, tidak ada orang yang bertakwa tanpa beriman kepada Allah.

Penafsiran kata takwa, tentu tidak bisa dilepaskan dari agama Islam karena memang konsep takwa itu –sebagaimana shalat, zakat, puasa, dsb- bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah yang tidak bisa sembarangan untuk ditafsirkan.

Sedangkan makna takwa dalam bentuk perintah, ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 86 kali. (Muhammad Fuad ‘Abdul Baqi, Al-Mu’jam Al-Mufahras, hlm. 759-760)

Mengingat bentuknya perintah, maka tentu dalam perintah itu terdapat objeknya. Sehingga lain objek lain pula maknanya.

Ada sedikitnya empat macam objek yang dikaji oleh para ulama,

Pertama, objeknya adalah Allah.

Termaktub dalam firman Allah Surat Al-Baqarah: 231 dan QS. An-Nur: 52, “Bertakwalah kepada Allah” maka maknanya adalah “Takutlah kepada Allah”, “Berlindunglah kepada Allah”, atau “Jagalah dirimu dari sesuatu yang tidak disukai dan dibenci oleh Allah.”

Kedua, objeknya adalah Tuhanmu.

Firman Allah dalam Surat An-Nisa’: 1. Bertakwalah dalam ayat tersebut dapat ditafsirkan tidak hanya dalam arti “Takutlah”, tetapi juga “takutlah dengan menjalankan perintah-Nya, dengan memberikan hak kepada anak dan istri.” At-Thabari mengartikannya dengan “Berhati-hati dan jangan sampai meninggalkan perintah-Nya.” (Ibnu Jarir At-Thabari, Jami’ Al-Bayan, jilid. 6, hlm. 339)

Ketiga, objeknya adalah neraka.

Ketika objeknya neraka, maka makna takwa berarti “Jagalah dirimu dari, atau peliharalah dirimu dari api neraka.” Seperti yang disebutkan dalam firman-Nya QS. Al-Baqarah: 24 dan QS. Ali ‘Imran: 131.

Keempat, objeknya adalah fitnah/siksaan.

Maka takwa disini bermakna “Peliharalah dirimu dari”, seperti disebutkan dalam firman-Nya QS. Al-Anfal: 25. Ar-Razi mengatakan bahwa takwa disitu berarti “Berhati-hatilah terhadap fitnah yang turun di antara kalian.” (ar-Razi, Mafatih Al-Ghayb, jilid. 15, hlm. 473)

Adapun jika kata takwa tidak dalam bentuk perintah, maka maknanya menurut ar-Razi ada lima.

Pertama, artinya beriman.

Allah berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (degan firman-Nya): ‘Datangilah kaum yang zalim itu, (yaitu) kaum Fir’aun. Mengapa mereka tidak bertakwa (beriman)?’” (QS. Asy-Syu’ara: 10-11) (Ar-Razi, Mafatih Al-Ghayb, jilid. 24, hlm. 492)

Kedua, artinya bertaubat.

Allah berfirman, “Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa (bertaubat), pastilah Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya” (QS. Al-A’raf: 96) (Ar-Razi, Mafatih Al-Ghayb, jilid. 14, hlm. 322)

Ketiga, artinya taat.

Allah berfirman, “Dan kepunyaan-Nya lah segala apa yang ada di langit dan di bumi, dan untuk-Nya lah ketakwaan (ketaatan) itu selama-lamanya. Maka mengapa kamu bertakwa (taat) keapada selain Allah?” (QS. An-Nahl: 52 ) (Ar-Razi, Mafatih Al-Ghayb, jilid. 20, hlm. 221-222)

Keempat, artinya meninggalkan kemaksiatan.

Allah berfirman, “Dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya dan bertakwalah (tinggalkan kemaksiatan) kepada Allah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Baqarah: 189) (Ar-Razi, Mafatih Al-Ghayb, jilid. 5, hlm. 285-286)

Kelima, artinya ikhlas.

Allah berfirman, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati (keikhlasan hati).” (QS. Al-Hajj: 32) (Ar-Razi, Mafatih Al-Ghayb, jilid. 23, hlm. 224)

Jadi, orang yang bertakwa adalah orang yang sudah beriman kepada Allah dan dalam keimanannya itu dia menjalankan ketaatan dengan penuh keikhlasan.

Sehingga akan sangat sulit untuk melakukan kemaksiatan kepada Allah.

Sementara agama selain Islam, karena bahasa pengantarnya bukan bahasa Arab, kata takwa tidak ditemukan.

Jika pun muncul kata takwa dalam ajaran agama non-Islam, niscaya hal itu merupakan kutipan dari Islam.

Maka, kata takwa tidak semestinya didefinisikan dengan makna selain dari mana istilah itu muncul dan sering dipakai.

Sebab, jika dipaksakan maka akan keluar dari makna yang sesungguhnya diinginkan sebagaimana telah disebutkan oleh para ulama terdahulu.

Wallahu a’lam bi shawwab.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami