BerandaKajianAkidahMewaspadai Praktik Syirik Dalam Pengobatan

Mewaspadai Praktik Syirik Dalam Pengobatan

- Advertisement -spot_img

Setiap orang yang ditimpa penyakit sudah pasti berharap agar segera sembuh dari penyakitnya. Terlebih jika penyakit yang diderita sudah sekian lama tak kunjung pulih.

Entah karena sudah berapa obat yang dikonsumsi, berapa dokter yang ia rujuk, atau berapa kali bolak-balik ke rumah sakit dan hasilnya masih nihil.

Karena alasan inilah sebagian orang akhirnya menempuh berbagai macam cara tanpa peduli bahwa ia telah menjual keimanannya dengan dosa syirik.

Fenomena masyarakat yang minim pengetahuan Islam, karena ketidaktahuan akhirnya menempuh metode-metode syirik untuk sembuh dari penyakit.

Padahal ini justru berseberangan dengan syariat Islam yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Maka, artikel kali ini akan membahas tentang beberapa praktik syirik dalam pengobatan yang umumnya terjadi di masyarakat dan jarang sekali diketahui pada umumnya.

Semoga tulisan ini bisa memberikan khazanah keilmuan Islam agar kita semakin kokoh dalam menjaga keimanan dan berpegang teguh kepada Al-Qur’an dan Sunnah sebagai modal utama menghadap Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Mendatangi Dukun dan Tukang Sihir

Fenomena masyarakat muslim awam pada umumnya, tidak jarang mengambil alternatif perdukunan dan ahli sihir sebagai pengobatan yang dianggap mujarab bagi mereka.

Mungkin, beberapa faktor penyebabnya adalah minim pemahaman ilmu agama Islam, terlalu cenderung mengikuti hawa nafsu yang jelas ditinjau dari kacamata syari salah, taklid buta terhadap tradisi keyakinan nenek moyang, atau karena lemahnya iman sehingga terpengaruh dengan gaya tradisi pengobatan ala orang-orang kafir.

Padahal, Islam telah mewanti-wanti umatnya agar tidak bergantung dan tidak mengambil sebab kepada selain Allah.

Karena hal itu hanya sia-sia dan tidak bisa memberikan manfaat, sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam firman-Nya

وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَىٰ مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَٰكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّىٰ يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُم بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ

“Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), padahal Sulaiman tidak kafir (mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan itulah yang kafir (mengerjakan sihir).

Mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil, yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum mengatakan, “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu), maka janganlah kamu kafir.”

Maka mereka mempelajari dari kedua malaikat itu apa yang dengan sihir itu mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan istrinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorang pun, kecuali dengan izin Allâh. Dan mereka mempelajari sesuatu yang memberi mudharat kepada diri mereka sendiri dan tidak memberi manfaat.

Padahal sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allâh) dengan sihir itu, tiadalah baginya keuntungan di akhirat, dan amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya sendiri dengan sihir, kalau mereka mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 102)

Pada ayat di atas Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyatakan kekafiran apa yang telah dilakukan oleh para dukun, para normal, dan tukang sihir.

Karena biasanya para dukun dan tukang sihir hanya mengada-ada dan mengaku bahwa diri mereka mengetahui hal ghaib dan yang akan menimpa seseorang.

Padahal yang berhak mengakui hal-hal ghaib dan mencegah terjadinya hal yang membahayakan hanyalah kuasa Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana telah disebutkan dalam firman-Nya

قُل لَّا يَعْلَمُ مَن فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ ۚ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

Katakanlah, ‘Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah’, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan.” (QS. An-Naml: 65)

Mendatangi dukun, tukang sihir, peramal (paranormal), dan sejenisnya, serta membenarkan ucapan mereka merupakan termasuk perbuatan kufur (mendustakan) agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Beliau bersabda

مَنْ أَتَى كَاهِناً أَوْ عَرَّافاً فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal, lalu ia membenarkannya, maka ia berarti telah kufur pada Al-Qur’an yang telah diturunkan pada Muhammad.” (HR. Ahmad)

Dalam praktik perdukunan dan sihir, mustahil bagi manusia seperti dukun mengetahui hal-hal yang tidak kasat mata.

Meskipun terkadang dugaan mereka terhadap sesuatu itu benar, hal tersebut karena ada campur tangan makhuluk ghaib dari kalangan jin.

Tentu saja itu semua bisa terjadi atas kehendak dan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal, jin dan setan sejatinya tidak akan mau membantu manusia.

Mereka hanya ingin menipu manusia agar terjerat pada lubang kekafiran maupun kesyirikan. Itulah tujuan utama setan menyesatkan umat manusia.

Sebagai contoh adalah para dukun dan para normal mensyaratkan pasiennya untuk mempersembahkan hewan kurban untuk jin, arwah, atau penghuni tempat yang lebih dikenal dengan istilah sesajen.

Ataupun tuntutan lainnya seperti menghinakan simbol-simbol ketauhidan. Contohnya menempatkan kitab suci Al-Qur’an di tempat-tempat tidak suci, kotor, dan lain sebagainya.

Mengalungkan Sesuatu Pada Anak Kecuali Ayat Al-Qur’an atau Hadits Nabi

Menggantungkan jimat atau gelang tangan maupun gelang kaki pada anak dengan keyakinan bahwa ia bisa menjaga anak dari hipnotis, seperti yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak tahu tentang hukum syari maka hal itu jelas diharamkan dalam Islam.

Padahal persoalan tersebut dikategorikan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam sebagai bagian dari syirik jika pelakunya masih saja membandel setelah diberi peringatan.

Abdurrazaq meriwayatkan dalam Mushannaf-nya (11/208) dari Abu Qilabah bahwa ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memutus kalung yang dikenakan oleh anak kecil (yaitu al-Fadhal bin Abbas) pada lehernya yang dimaksudkan untuk melindungi anak dari kejahatan.”

Oleh karena itu, kita temukan adanya peringatan keras dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap berbagai perbuatan dan keyakinan jahiliyah dalam bentuk menggantungkan sesuatu pada dada anak karena takut terkena tindakan jahat.

Hendaklah kita perhatikan hal ini lalu kita ikuti petunjuk Nabi dan jangan sampai mengada-ngada atau melakukan bid’ah.

Menggunakan Jimat Atau Mantra

Di sebagian masyarakat tertentu, tradisi berobat dengan jampi-jampi, jimat, atau mantra masih banyak didapati.

Kadang mereka dapatkan dari pengobatan perdukunan dan terkadang mereka menerimanya dari keyakinan nenek moyang.

Pengobatan yang sering dilakukan paranormal dengan rapalan, bacaan, mantra, dan komat-kamit lainnya sambil kadangkala memegang bagian tertentu pasien ataupun juga kadang dilakukan dari jarak jauh, maka jampi-jampi dan bacaan-bacaan semacam ini terlarang hukumnya terutama yang tidak dimengerti artinya.

Padahal banyak sekali hadits yang melarang kaum muslimin menggunakan praktik pengobatan tersebut. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّمَاتِمَ وَالتِّوَالَةَ شِرْكٌ

Sesungguhnya jampi-jampi, jimat dan juga tiwalah (guna-guna, susuk atau pelet) adalah syirik.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Baihaqi, dan Hakim)

Semoga setelah mengetahui beberapa praktik pengobatan syirik di atas menjadikan kita lebih sadar tetap berpegang teguh dengan ajaran Islam yang murni tanpa terkontaminasi tradisi nenek moyang maupun pengaruh masyarakat awam yang masih jahil, serta berusaha memberikan maklumat pada yang lain untuk meninggalkan praktik tersebut. Wallahu A’lam bish shawab.

 

Artikel ini dilansir dari : santridarsya.blogspot.com

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami