BerandaKajianPembelajar: Mengejar Lebih Dari Sekedar Gelar 

Pembelajar: Mengejar Lebih Dari Sekedar Gelar 

- Advertisement -spot_img

Pembelajar: Mengejar Lebih Dari Sekedar Gelar
Oleh Khoirunnisa (Mahasantri Ma’had Aly Li Ta’hil Al-Mudarrisat)

Seiring perkembangan zaman, keilmuan dan pendidikan di negeri ini sudah pasti juga turut mengalami kemajuan. Baik dari segi alat-alat penelitian, fasilitas pendidikan, daya pikir manusia, serta teknologi canggih yang dapat membantu proses belajar.

Jika dicermati, saat ini ratusan ribu sekolah telah berdiri, ribuan perguruan tinggi bermunculan, dan pondok pesantren pun juga mulai menjamur.

Berbagai lembaga dan yayasan sosial juga tidak sedikit yang turut serta dalam membantu menyelesaikan polemik dana pendidikan. Semua hal tersebut tentu ada demi meningkatkan mutu pendidikan bangsa.

Pendidikan era 80 atau 90-an apabila dibandingkan dengan era saat ini jelas terlihat perbedaannya. Zaman dahulu, belum ada smartphone yang dapat mengakses segala informasi dan pengetahuan.

Pun diperlukan usaha yang besar untuk mencapai sekolah karena jarak tempuh yang jauh dan keterbatasan transportasi, serta berbagai kendala lainnya.

Meski demikian, pengalaman menghadapi kesulitan zaman dulu tersebut justru dapat membentuk mental yang kuat. Permasalahan yang terjadi saat ini adalah, meskipun segala hal berkembang pesat, manusia belum mampu memanfaatkannya secara maksimal.

Sangat memprihatinkan melihat ilmu terus berkembang sementara nilai-nilai moral mengalami krisis.

Mencari Ilmu Tak Sebatas di Bangku Sekolah

Allah ﷻ berfirman,

يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ…

“… Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan.”[1]

Allah ﷻ telah secara tegas menyebutkan bahwa tingginya derajat manusia disebabkan akan ilmu. Akan tetapi, sangat disayangkan jika masih banyak yang salah memahami bahwa ilmu hanya bisa diperoleh melalui bangku sekolah saja.

Kesimpulan tersebut akhirnya berdampak pada anggapan bahwa bersekolah sama dengan mencari ilmu dan tidak bersekolah berarti tidak mencari ilmu. Fenomena inilah yang hari ini dikenal sebagai “sekolahisme.”

Bahkan, tidak sedikit yang menganggap bahwa setelah seseorang memperoleh gelar sarjana dan mendapatkan pekerjaan, maka saat itu pula ia telah selesai dalam belajar atau mencari ilmu.

Pandangan tersebut mungkin salah satunya disebabkan oleh kuatnya doktrin sekolah formal.[2]

Manusia memiliki idealisme akan tahapan jenjang pendidikan, umumnya setelah lulus SMA atau sederajat akan berlomba dan bersaing untuk masuk ke perguruan tinggi, bahkan terdapat ‘jual beli kursi kuliah’.

Meskipun pada akhirnya setiap jurusan yang dipilih belum tentu menjanjikan lapangan pekerjaan, atau program studi tidak sesuai dengan bidang keahliannya, setidaknya status sebagai pelajar mahasiswa dapat disandangnya.

Hal tersebut telah menjamur di masyarakat Indonesia yang pada akhirnya mengesampingkan tujuan pendidikan itu sendiri.

Jika dicermati secara seksama, tujuan pendidikan nasional di Indonesia yang tertera dalam UU No. 20 tahun 2003 secara umum, yaitu mencetak manusia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia, sehat, cakap, berilmu, kreatif, mandiri, terampil, kompeten, dan berbudaya untuk kepentingan bangsa.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah tujuan tersebut berhasil diaplikasikan?[3]

Mental Pembelajar

Sebagai seorang pembelajar, sangat disayangkan apabila ia memiliki mental lemah yang tertanam dalam dirinya.

Tujuan pendidikan dan pembelajaran sering kali hanya dibatasi pada bagaimana cara menyelesaikan masa sekolah, kemudian bekerja untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidup.

Akibatnya, kehidupan para pelajar menjadi hampa dari aspek ketakwaan, ibadah, perjuangan, adab, dan sebagainya.[4] Seharusnya seorang pembelajar adalah individu yang mandiri dalam mengejar ilmu, yang berarti bahwa dia akan mengejar ilmu ke mana pun dan kapan pun ilmu tersebut ada.

Seorang pembelajar yang sejati juga sangat erat dengan sifat senang berpikir kritis, berdiskusi, bertanya, menganalisis, dan berani. Tidak kalah pentingnya, seorang pembelajar adalah seseorang yang rajin membaca dan menulis.

Itulah mental pembelajar, bukan sekadar menyelesaikan masa belajar dan mendapatkan gelar.[5]

Pembelajar yang Beradab

Satu hal yang wajib dimiliki oleh seorang pembelajar sebelum berilmu adalah adab.

Hilangnya adab atau lost of adab dapat dilihat ketika manusia tidak paham atau tidak memiliki tindakan yang benar terhadap diri dan lingkungannya serta terhadap ilmu dan tatanan wujud.

Itulah yang sedang dialami oleh umat saat ini, yaitu krisis adab. Prof. al-Attas menegaskan secara yakin bahwa pendidikan dalam Islam pada intinya adalah proses penanaman adab dalam diri seorang muslim.

Sehubungan dengan hal tersebut, Naquib al-Attas menekankan pentingnya untuk memahami tujuan mencari ilmu. Pendidikan bukan sekedar penambahan wawasan atau pengetahuan, namun harus berdampak pada perilaku dan perubahan sikap.

Oleh karena itu, agar perilaku benar maka harus bersumber dari ilmu yang benar.[6] Secara tidak sadar, konsep pendidikan sekuler berhasil masuk ke dalam jiwa para pelajar.

Konsep tersebut memaksa manusia untuk merumuskan nilai-nilai dalam konteks kenegaraan semata, berusaha menggiring manusia bahwa kebahagiaan akan dicapai jika berhasil menduduki posisi dalam Negara.

Tujuan pendidikan juga diarahkan bahwa tolak ukur keberhasilan jika meraih pekerjaan tertentu yang tepat.[7]

Semua itu yang melemahkan mental pembelajar Indonesia terutama pembelajar muslim, sehingga gelar dan pekerjaan menjadi sesuatu yang bergengsi namun melupakan hal yang urgensi. Menjadi pembelajar sejati tentunya tidak lepas dari soal-soal kehidupan.

Terkadang menyandang status seorang pelajar yang identik dengan banyaknya wawasan dan juga lembaran kertas berupa ujian, namun lalai akan tabiat insan yang tidak lepas dari nyatanya ujian kehidupan.

Seseorang yang dapat menghadapi segala tantangan bukanlah seorang yang pintar dan banyak ilmu, namun seseorang yang memiliki semua adab atau soft skill, khususnya kedewasaan, kebijaksanaan, kedisplinan, kemandirian, dan ketangguhan.

Jika perkara-perkara kehidupan telah disikapi dengan adab yang baik dan benar, maka insyaAllah akan terselesaikan secara baik dan tepat.[8] Wallahu a’lam.

Referensi

[1] QS. Al-Mujadalah: 11.
[2] Adian Husaini, Perguruan Tinggi Ideal di Era Disrupsi, cet. I, (Depok: Yayasan Pendidikan Islam at-Taqwa, 2019), hal. 76-77.
[3] Ibid, hal. 82.
[4] Fatih Madini, Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita, (Depok: Yayasan Pendidikan Islam at-Taqwa, 2020), hal. 131.
[5] Ibid, hal. 179.
[6] Adian Husaini, Pendidikan Islam, cet. II, (Depok: Yayasan Pendidikan Islam at-Taqwa, 2018), hal. 9-10.
[7] Ibid, hal. 12.
[8] Fatih Madini, Reformasi Pemikiran Pendidikan Kita,…, hal. 122.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami