BerandaFikihFikih NazilahPernikahan Sejenis Dalam Pandangan Fiqih

Pernikahan Sejenis Dalam Pandangan Fiqih

- Advertisement -spot_img

Fiqih Nazilah Pernikahan SejenisMasyarakat Solo Raya dibuat gempar oleh resepsi pernikahan pasangan sejenis (gay) di sebuah dusun di Kecamatan Musuk, Kabupaten Boyolali, pada hari Sabtu (10/10/2015). Pernikahan sejenis tersebut mendapat liputan luas media massa.

Alim ulama, ormas-ormas Islam, organisasi pelajar, organisasi mahasiswa, dan umat Islam se-Boyolali secara tegas menentang pernikahan sejenis tersebut. Mereka menggelar aksi penolakan di depan kantor DPRD Boyolali.

Kasus pernikahan sejenis di Boyolali tersebut bukanlah kasus pertama di Indonesia. Pada bulan September 2015 pasangan gay bernama Tiko Mulya (warga negara Indonesia) dan Joe Trully (warga negara asing) telah menyelenggarakan resepsi pernikahan mereka di Hotel Four Season Ubud, Kabupaten Gianyar, Bali.

Di dalam masyarakat yang telah dikuasai oleh sistem demokrasi – liberal seperti ini, bukan tidak mungkin pernikahan-pernikahan sejenis lainnya akan bermunculan di masa yang akan datang. Hukum nasional yang sekuler sampai saat ini tidak mampu memberikan sanksi pembuat jera terhadap kasus-kasus seperti itu. Bagaimana fiqih Islam menyikapi kasus pernikahan sejenis?

HOMOSEKS LEBIH KEJI DARI ZINA

Hubungan seks antara dua orang laki-laki (gay atau homoseks) dalam pandangan Islam merupakan sebuah dosa besar. Hal itu berdasar banyak ayat Al-Qur’an yang mengecam keras perbuatan kaum Nabi Luth tersebut.

Seberapa besar dosa homoseksual? Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan dua murid senior Imam Abu Hanifah yaitu Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani dan Qadhi Abu Yusuf berpendapat bahwa homoseksual itu sama dengan perzinaan.

Pendapat tersebut didasarkan kepada hadits dari Abu Musa al-Asy’ari RA bahwa Rasulullah SAW bersabda:

إِذَا أَتَى الرَّجُلُ الرَّجُلَ فَهُمَا زَانِيَانِ

Jika seorang laki-laki menyetubuhi seorang laki-laki lainnya maka keduanya adalah orang yang berzina.” (HR. Al-Baihaqi dan At-Thabarani. Sanadnya dinyatakan sangat lemah oleh Abu Hatim, Al-Baihaqi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, dan lain-lain)

Bahkan sebagian ulama berpendapat dosa homoseks lebih besar dari dosa zina antara seorang laki-laki dan seorang wanita yang tidak memiliki ikatan nikah yang sah. (Az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, 6/24)

Pendapat tersebut berdasar firman Allah,

وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُمْ بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِنَ الْعَالَمِينَ (80) إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِنْ دُونِ النِّسَاءِ بَلْ أَنْتُمْ قَوْمٌ مُسْرِفُونَ (81)

Dan ingatlah Luth ketika ia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kalian melakukan perbuatan keji yang belum pernah dilakukan sebelumnya oleh seorang manusia pun?Sesungguhnya kalian menggauli laki-laki karena dorongan syahwat, dengan membiarkan wanita. Sungguh kalian adalah kaum yang melampaui batas.” (QS. Al-A’raf [7]: 80-81. Lihat juga Asy-Syu’ara’ [26]: 165-166 dan Al-Ankabut [29]: 28-30)

SANKSI HUKUM UNTUK PElAKU HOMOSEKSUAL

Besarnya dosa homoseksual menyebabkan sanksi hukum terhadap pelakunya sangat berat. Banyak para ulama fiqih dari generasi sahabat hingga generasi imam madzhab berpendapat bahwa sanksi untuk pelaku homoseksual dan pasangannya adalah hukuman mati. Pendapat ini didasarkan kepada hadits dari Ibnu Abbas bahwa Nabi SAW bersabda:

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

Barangsiapa kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah si pelaku dan pasangannya!” (HR. Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi. Sanad hadits ini dianggap lemah oleh Yahya bin Ma’in, Al-Bukhari, At-Tirmidzi, An-Nasai, dan lain-lain)

Dalil lainnya adalah hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الَّذِي يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ قَالَ ارْجُمُوا الْأَعْلَى وَالْأَسْفَلَ ارْجُمُوهُمَا جَمِيعًا

Dari Abu Hurairah dari Nabi SAW tentang orang yang melakukan perbuatan kaum Luth, beliau SAW bersabda, “Rajamlah pelaku yang berada di atas dan pasangannya yang berada di bawah. Rajamlah mereka semua!” (HR. Ibnu Majah, Ath-Thahawi, dan Abu Ya’la. Sanadnya dinyatakan lemah oleh At-Tirmidzi, Ibnu Hajar Al-Asqalani, Syu’aib Al-Arnauth, dan lain-lain)

Kemudian para ulama fiqih tersebut berbeda pendapat tentang teknis pelaksanakan hukuman mati tersebut.

  1. Al-Mundziri berkata: “Pelaku homoseksual dihukum bakar oleh Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Zubair, dan Hisyam bin Abdul Malik.”
  2. Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Ali bin Abi Thalib berpendapat sanksi atas pelaku homoseksual adalah ia dihukum mati dengan pedang, kemudian mayatnya dibakar.
  3. Umar bin Khathab dan Utsman bin Affan berpendapat sanksi hukumnya adalah ia harus dijatuhi atau dirobohi bangunan sampai mati.
  4. Ibnu Abbas berpendapat sanksi hukumnya adalah ia harus dijatuhkan dari atap bangunan paling tinggi.
  5. Al-Baghawi meriwayatkan dari Imam Asy-Sya’bi, Az-Zuhri, Malik bin Anas, Ahmad bin Hambal, dan Ishaq bin Rahawaih yang berpendapat sanksi hukumnya adalah dirajam sampai mati. At-Tirmidzi juga meriwayatkan pendapat hukum rajam sampai mati dari Imam Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq.
  6. Imam Sa’id bin Musayyib, Atha’ bin Abi Rabah, Hasan Al-Bashri, Qatadah, An-Nakha’i, Sufyan Ats-Tsauri, Yahya bin Ma’in, dan Asy-Syafi’i dalam salah satu pendapatnya menyatakan sanksi atas pelaku homoseksual adalah seperti sanksi untuk pelaku zina. Jika ia telah menikah, maka ia dihukum rajam. Adapun jika ia belum menikah, maka ia dicambuk 100 kali dan diasingkan selama setahun. (Asy-Syaukani, Nailul Authar min Asrari Muntaqal Akhbar, 9/71-75)

Imam Abu Hanifah berpendapat seorang yang melakukan homoseksual tidak sama dengan orang yang berzina. Sebab tindakan homoseksual tidak menyebabkan tercampur baurnya nasab. Selain itu, tidak ada riwayat yang menunjukkan bahwa Nabi SAW menetapkan hukuman rajam atas orang yang melakukan homoseksual.

Oleh karenanya imam Abu Hanifah berpendapat pelaku homoseksual “hanya” dihukum ta’zir [hukuman pembuat jera yang ditetapkan oleh khalifah atau qadhi] dengan didera atau dipenjara.

Terhadap pendapat Imam Abu Hanifah ini, Imam Asy-Syaukani berkomentar, “Tidak samar lagi bahwa pendapat ini menyelisihi dalil-dalil yang telah disebutkan berkenaan dengan pelaku homoseksual, dan dalil-dalil yang secara umum berkenaan dengan pezina.” (Asy-Syaukani, Nailul Authar, 9/75)

MENGHALALKAN HOMOSEKSUAL ADALAH KEKUFURAN

Jika seseorang melakukan tindakan homoseksual tapi ia masih meyakini keharamannya, maka ia “hanya” melakukan dosa besar.

Adapun jika ia telah “melegalkan” homoseksual tersebut melalui akad nikah pasangan sejenis, maka ia telah melakukan kekafiran karena tindakan tersebut bermakna penghalalan homoseksual.

Sanksi untuk orang yang melegalkan homoseksual adalah hukuman mati, yaitu dipenggal dengan pedang, bukan hukuman rajam. Hal itu seperti halnya sanksi untuk orang yang melegalkan pernikahan dengan mahramnya adalah hukuman mati dengan pedang, bukan hukuman rajam.

Dalil dari hal ini adalah hadits:

عَنِ الْبَرَاءِ قَالَ لَقِيتُ خَالِي وَمَعَهُ الرَّايَةُ فَقُلْتُ أَيْنَ تُرِيدُ قَالَ بَعَثَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى رَجُلٍ تَزَوَّجَ امْرَأَةَ أَبِيهِ مِنْ بَعْدِهِ أَنْ أَضْرِبَ عُنُقَهُ أَوْ أَقْتُلَهُ وَآخُذَ مَالَهُ

Dari Barra’ bin Azib, ia berkata, “Saya bertemu dengan pamanku (dalam riwayat Tirmidzi dan lainnya disebutkan bernama Abu Burdah bin Niyar) dan ia membawa panji perang. Saya bertanya kepadanya ‘Paman hendak pergi ke mana?’ Ia menjawab ‘Rasulullah SAW mengutusku kepada seorang laki-laki yang menikahi istri bapaknya setelah bapaknya meninggal. Rasulullah SAW memerintahkanku untuk memenggal kepalanya dan menyita hartanya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad. Hadits ini dinyatakan hasan oleh Tirmidzi. Asy-Syaukani berkata: Hadits ini memiliki banyak sanad, para perawi salah satu sanadnya adalah para perawi Shahih Bukhari)

Imam Asy-Syaukani berkata, “Hadits ini merupakan dalil bahwasanya imam (khalifah) boleh memerintahkan hukuman mati terhadap orang yang menyelisihi perkara yang qath’i dalam syariat Islam, seperti masalah ini. Sebab Allah SWT telah berfirman, “Dan janganlah kalian menikahi wanita yang telah dinikahi oleh bapak kalian…” (QS. An-Nisa’ [4]: 22). Namun hadits ini harus dibawa pada pengertian bahwa orang yang Nabi SAW memerintahkan untuk dihukum mati tersebut adalah orang yang telah mengetahui keharaman perbuatannya (menikahi istri bapaknya / janda bapaknya) dan ia melakukannya dengan menghalalkannya. Hal itu merupakan penyebab kekafiran, sehingga orang murtad dihukum mati berdasar dalil-dalil yang telah disebutkan.” (Nailul Authar, 9/70)

Wallahu a’lam bish-showab

Referensi:

Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus: Darul Fikr, cet. 2, 1405 H.

Muhammad bin Ali Asy-Syaukani, Nailul Authar min Asrari Muntaqa al-Akhbar, tahqiq: Thariq bin Iwadhullah, Riyadh; Dar Ibni Qayyim, cet. 1, 1426 H.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami