BerandaKajianTarbiyahPilar Pembinaan Intelektual Bagi Anak

Pilar Pembinaan Intelektual Bagi Anak

- Advertisement -spot_img

Pilar Pembinaan Intelektual Bagi Anak

Ibarat sebuah bangunan tidak akan bisa berdiri kokoh, tanpa diusung dengan unsur-unsur penguat yang melengkapi setiap celah kekurangan, sehingga menjadikannya kuat dan kokoh dari terjangan angin, hujan lebat dan teriknya matahari.

Karena setiap komponennya menjadi penguat peran satu sama lain. Demikian juga dengan pembahasan kita kali ini, pembinaan intelektual anak perlu didukung dengan sarana penunjang, pengetahuan, dan wawasan anak, guna mengantarkan mereka untuk memahami ulumuddin dengan mudah.

Dalam melakukan pembinaan keilmuan dan pemikiran, maka pilar-pilar yang dijadikan pijakan oleh kedua orang tua haruslah jelas. Ini untuk menjamin terwujudnya pembinaan yang sehat, keilmuan yang luas dan pemikiran yang benar.

Sebab, pembinaan ini terhitung sebagai pembinaan terpenting dalam membentuk kepribadian anak, karena ia merupakan pembinaan akal. Jika akal itu sehat, maka ia adalah kebaikan dan kabar gembira bagi kedua orang tua.

Jika tidak demikian, maka kedua orang tua berarti melahirkan musuh bagi keduanya, di mana ia akan memusuhi dari dalam serta akan menghantarkannya menuju neraka Jahannam. Na’udzubillah.

Melalui pilar-pilar pembinaan keilmuan yang akan kita bahas, bisa kita catat bahwa ia mengarahkan anak dari dalam agar melangkah menuju ilmu, belajar dan cinta kepada ulama.

Demikian juga terlihat dengan jelas betapa pentingnya peran kedua orang tua di dalam milihkan guru yang pintar dan shalih yang menjadi cermin bagi hati dan metalitas si anak.

Menanamkan Kecintaan Kepada Ilmu

Nabi Muhammad ﷺ telah meletakkan kaidah mendasar dalam menggunakan fase kanak-kanak ini untuk belajar dan menuntut ilmu yang terus bersambung lintas generasi.

Hal ini terus membangkitkan hasrat orang tua untuk memotivasi anak-anak mereka agar terus menuntut ilmu dan mencintainya.

Sebab, menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim, tua maupun muda, pria maupun wanita, anak laki-laki maupun perempuan.

Para sahabat dan tabi’in seta para ahli hadits menegaskan bahwa belajar di waktu kecil itu memberikan pengharuh yang jauh lebih besar terhadap perkembangan keilmuan anak. Di samping itu juga lebih kuat dan lebih melekat di dalam ingatan.

Dengan demikian, masa kanak-kanak merupakan fase yang paling subur untuk melakukan pembinaan keilmuan pada diri anak.

Jika kecintaan terhadap ilmu dan kecintaan untuk menuntutnya telah tertanam di dalam jiwa dan pikiran anak, maka dengan sendirinya ia akan terus menuntutnya dengan segala kesulitan dan beban berat yang harus dipikul dalam rangka mencari ilmu.

Ia juga akan rela tidak tidur malam untuk mendapatkan ilmu tanpa diperintah oleh kedua orang tuanya.

Membantu Menghafal Ayat Al-Qur’an dan Hadits

Hal yang biasa dilakukan oleh para sahabat dan salafush shalih adalah mengajarkan dan mendiktekan Al-Qur’an dan Sunnah kepada anak-anak mereka. Sebab, keduanya merupakan dua pilar mendasar di dalam melakukan pembinaan keilmuan anak.

Oleh karena itu Ibnu Sina dalam kitabnya, As-Siyasah, mengatakan, “Jika seorang anak sudah bisa mulai dididik dan sudah bisa memperhatikan, maka ketika itu dimulailah pengajaran Al-Qur’an, diajarkan tentang baca tulis Al-Qur’an serta didiktekan rambu-rambu agama.”

Perhatikan sebuah contoh bagaimana seorang anak menghafalkan hadits Nabi ﷺ serta memberikan perhatian yang besar terhadapnya sebagai pondasi ilmu yang dijadikan pijakan.

Sebagai contohnya adalah perkataan imam Al-Bukhari yang berbunyi, “Aku memperoleh inspirasi untuk menghafal hadits ketika aku duduk di bangku madrasah.

Ketika itu usiaku baru sepuluh tahun, atau kurang.” (Muhammad Anwar Al-Kasymiri, Faidhu al-Bari Syarh Shahih al-Bukhari, 1/33)

Memilihkan Guru dan Sekolah yang Baik

Para sahabat dan salafush shalih sangat serius di dalam memilih guru yang baik bagi anak-anak mereka. Dalam hal ini mereka memberikan perhatian yang sangat besar.

Sebab, guru adalah cermin yang dilihat oleh anak sehingga akan membekas di dalam jiwa dan pikiran mereka. Guru juga sumber pengambilan ilmu.

Begitu besar perhatian kaum Salaf dalam hal ini, sampai-sampai mereka memberikan nasihat kepada anak-anak mereka agar mengambil adab sebelum mengambil ilmu.

Seandainya harus menempuh perjalanan jauh untuk menemui seorang guru yang shalih, maka ini pun tetap dilakukan dengan suka hati tanpa merasa berat.

Sudah maklum bahwa yang namanya menempuh perjalanan itu menuntut beban keuangan bagi kedua orang tua. Akan tetapi demi membina keilmuan anak dengan sehat, hal itu menjadi terasa ringan bagi mereka.

Oleh karena itu Ibnu Sina dalam kitabnya, As-Siyasah, mengatakan, “Seyogyanya seorang anak itu dididik oleh seorang guru yang mempunyai kecerdasan dan agama, piawai dalam membina akhlak, cakap dalam mengatur anak; jauh dari sifat ringan tangan (gampang memukul) dan dengki, dan tidak kasar di hadapan muridnya.

Ia harus seorang yang cerdik dan mempunyai kehormatan, kebersihan dan kesucian.”

Imam Mawardi menegaskan urgensi memilih guru yang baik dengan mengatakan, “Memang wajib bersungguh-sungguh di dalam memilihkan guru dan pendidik bagi anak seperti kesungguhan di dalam memilihkan ibu dan ibu susuan baginya, bahkan lebih dri itu.

Seorang anak akan mengambil akhlak, gerak-gerik, adab dan kebiasaan dari gurunya lebih banyak dan waktu belajarnya dengan guru juga lebih lama. Anak akan selalu meneladani gurunya dan juga tunduk kepadanya.

Dengan demikian, seorang guru dan pendidik tidak hanya terbatas pintar mengenai Al-Qur’an, ahli tentang bahasa dan pandai dalam menampilkan syari; akan tetapi ia haruslah seorang yang bertakwa.

Menjauhi dosa-dosa, menjaga kesucian dan kehormatan, mempunyai akhlak yang utama, bersih kantongnya. Mengetahui betul tentang akhlak para penguasa dan adab-adab mereka, serta paham mengenai pokok-pokok agama dan fikih.

Idealnya seorang guru itu mempunyai seluruh yang disebutkan di atas. Jika tidak, maka minimal ia adalah seorang yang bertakwa serta pandai tentang ilmu agama dan fikih.”

Mengajarkan Bahasa Arab

Bahasa Arab merupakan kunci segala ilmu. Jika kemampuan berbahasa seorang anak itu kuat, hal itu menjadi sebab bagi penguasaan selanjutnya terhadap ilmu-ilmu yang ingin dipelajarinya.

Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an dan juga bahasa hadits yang mulia. Nabi ﷺ sangat menekankan pengajaran bahasa Arab ini serta memperhatikan perkembangan anak berkenaan dengan kemampuan kebahasaannya.

Karena perhatian beliau yang sangat tinggi terhadap pengajaran bahasa Arab ini, sampai-sampai beliau menerima tebusan dari para tawanan perang Badr dalam bentuk mengajar baca tulis bahasa Arab kepada anak-anak kaum muslimin.

Setiap tawanan harus menebus dirinya dengan mengajarkan bahasa Arab kepada sepuluh anak sahabat.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، قَالَ: كَانَ نَاسٌ مِنَ الْأُسَارَى يَوْمَ بَدْرٍ لَيْسَ لَهُمْ فِدَاءٌ، «فَجَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِدَاءَهُمْ، أَنْ يُعَلِّمُوا أَوْلَادَ الْأَنْصَارِ الْكِتَابَةَ

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu bahwa ia berkata, “Adalah para musuh yang tertawan dalam perang Badr tidak mempunyai harta untuk menebus diri mereka.

Akhirnya Rasulullah ﷺ menjadikan tebusan mereka dengan cara mengajarkan baca tulis kepada anak-anak kaum Anshar.” (Al-Hakim, al-Mustadrak, 2/140)

Dari sinilah kita bisa tahu bahwa bahasa arab mempunyai peran penting yang bisa mengantarkan anak mengetahui seluk-beluk syari’at Islam dari sumbernya.

Oleh karena itu Imam Abul Hasan Al-Mawardi pernah mengingatkan betapa pentingnya pengajaran bahasa Arab kepada anak.

“Jika seorang anak telah memasuki masa belajar, maka yang pertama-tama adalah diajarkan Al-Qur’an disertai dengan pengajaran bahasa Arab.

Sebab, bahasa Arab merupakan bahasa dimana Allah ﷻ menurunkan Kitab-Nya dengan menggunakan bahasa ini, demikian juga bahasa yang digunakan untuk menjelaskan seluruh syari’at agama-Nya.”

Mengajarkan Bahasa Asing

Setelah anak berhasil menguasai bahasa Arab dengan baik, dan juga menghafal sebagian dari Al-Qur’an dan Hadits, tidak menjadi soal jika ia kemudian menekuni bahasa asing yang dominan.

Hal itu dimaksudkan untuk membentuk generasi muslim yang mampu menyingkap langkah-langkah dan rencana para musuh dan bisa mengantisipasi makar mereka. Di samping itu juga bisa mentransfer ilmu-ilmu umum ke kalangan kaum muslimin.

Inilah yang pertama kali dilakukan oleh Rasulullah ﷺ pada saat awal kehadiran beliau di Madinah Munawarah setelah Hijrah dari Mekkah.

Abu Ya’la dan juga Asakir meriwayatkan dari Zaid bin Tsabit a bahwa ia berkata, “Ketika Nabi tiba di kota Madinah, aku dihadapkan kepada beliau.

Orang-orang berkomentar, ‘Ya Rasulallah, ini adalah seorang anak dari Bani Najjar yang telah hafal tujuh belas surat Al-Qur’an.’ Aku pun kemudian membacakannnya kepada beliau agar disimak dan dicek oleh beliau.

Beliau kagum dengan bacaanku itu dan kemudian bersabda, ‘Wahai Zaid, pelajarilah bahasa Yahudi, karena aku tidak yakin bangsa-bangsa Yahudi itu bisa memahami tulisan kita.’

Aku pun kemudian mempelajarinya. Setengah bulan kemudian aku menguasainya. Akhirnya aku bisa menuliskan apa yang dibacakan oleh beliau dan membacakan surat yang mereka kirim kepada beliau.” (Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah, no. 187)

Membimbing Sesuai Kecenderungan Ilmiahnya

Di depan baru saja kita membaca tentang bagaimana Zaid belajar bahasa Yahudi. Para sahabat sendirilah yang yang memilihnya dan kemudian mengajukannya kepada Nabi ﷺ.

Mereka sengaja mencalonkannya karena mereka tahu tentang bakat dan kemampuan yang dimilikinya, kecenderungannya kepada masalah bahasa dan juga kemampuannya untuk mewujudkan apa yang diinginkan oleh Rasulullah ﷺ di dalam mempelajari bahasa tersebut.

Ini merupakan bukti dan petunjuk bahwa dalam mengarahkan anak adalah sesuai dengan kecenderungan ilmiahnya dan juga keinginan kejiwaannya.

Sebab, dengan demikian anak lebih bisa menekuni ilmu dengan dorongan dari dirinya sendiri dan juga akan bisa menjadi ahli dan lebih hebat dari yang lain.

Hal ini juga telah ditegaskan oleh ulama salaf. Ibnu sina berpendapat, “tidak setiap bidang ilmu dan keterampilan  yang dipelajari anak bisa dikuasainya dengan baik.

Namun seyogyanya ia menekuni bidang ilmu ilmu yang sesuai dengan karakter dan kecenderungannya.”

Ketika Imam Bukhari di masa-masa awal beliau ingin mendalami ilmu fikih, Muhammad bin Hasan berkata kepadanya, “Sekarang  pergilah dan tekunilah ilmu hadits.”

Hal ini dikatakan oleh Muhammad kepada kepada Bukhari karena ia melihat bahwa Bukhari lebih cocok dalam bidang ini. Bukhari pun mematuhi sarannya dan terbukti menjadi tokoh ahli hadits dan bahkan menjadi imam para ahli hadits.

Menyediakan Perpustakaan

Agar anak bisa belajar Al-Qur’an, Hadits, dan bahasa, rumah sebaiknya dilengkapi perpustakaan. Hal ini ternyata tidak sekedar menjadi koleksi bacaan di rumah saja, namun juga merupakan perbendaharaan yang amat berharga bagi keluarga.

Sebab ia merupakan sumber ilmu dan manfaat bagi manusia. Bagaimana tidak, untuk sekelas generasi salaf terbaik saja, sangat menjaga dan memelihara dengan baik kitab-kitab peninggalan orang-orang Alim sebelum mereka.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Salamah dari ayahnya bahwa ia berkata, “Ayahku, Badil bin Waraqa’, pernah memberiku sebuah buku dengan mengatakan, ‘Wahai anakku, ini adalah sebuah buku yang berisi hadits Rasulullah ﷺ, maka peliharalah baik-baik.

Engkau akan selalu dalam kebaikan selama ia ada di sisimu.’ Disebutkan bahwa buku tersebut adalah hasil tulisan tangan Ali bin Thalib radhiyallahu ‘anhu.” (Ibnu Hajar, al-Ishabah fi Tamyiz as-Shahabah, hlm. 33)

Samurah bin Jundub radhiyallahu ‘anhu juga telah menghimpun sekian banyak hadits Nabi ﷺ dalam berbagai lembaran dan kemudian mewariskannya kepada putranya, Sulaiman, dan kemudian Sulaiman pun meriwayatkan hadits-hadits itu dari ayahnya.

Ini menunjukkan urgensi perpustakaan di dalam rumah, dan bahwa hal itu sangat berguna dalam proses pembinaan keilmuan anak.

Oleh karena itu Al-Jahizh mengatakan, “Manakala seseorang itu menguasai bidang ilmu dan ia mewariskan buku-buku yang berarti, maka anak akan tertarik untuk belajar sejak dini.

Di samping itu anak juga memandang bahwa membiarkan perpustakaan itu begitu saja adalah suatu kesalahan.”

Jika apotek rumah (baca: P3K) merupakan sesuatu yang sangat penting untuk mengobati tubuh yang sakit, maka perpustakaan Islam merupakan sesuatu yang sangat penting untuk memperbaiki akal.

Kedua orang tua harus menjaga agar jangan sampai ada buku-buku konyol dan dan koran-koran yang tidak sopan masuk ke dalam perpustakaan yang dibaca oleh anak mereka.

Caranya bukan dengan melarang dan mengancam, karena hal itu justru akan semakin membuat anak penasaran dan mencari-cari sendiri.

Cara yang baik adalah dengan mengarahkannya kepada buku-buku yang bermanfaat serta memancingnya agar cenderung untuk membaca buku-buku yang baik dan berguna.”

Sumber: Majalah Taujih, edisi Nov-Des 2018

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami