BerandaAlumniApi di Bukit Menoreh (Bag. 2)

Api di Bukit Menoreh (Bag. 2)

- Advertisement -spot_img

Daftar Isi

Api di Bukit Menoreh (Bag. 2)

Alumni TID (sekarang DID) Angkatan 3

Api di Bukit Menoreh Bagian 1 bisa dibaca di sini.

Solusi

Teman-teman lihat! Aku menemukan ini?!” Teriak Ziyad sambil mengacungkan obor dari balik semak-semak. “Masih panas,” katanya. Belum selesai kami menduga kalau ada yang mengintai keberadaan kami, tiba-tiba ada yang berkata, “Lihat, ada cahaya senter!

Entah siapa yang berkata karena suasana gelap. Memang aku juga sempat melihatnya sekilas di balik bukit sana seperti ada kelebatan cahaya. “Ada yang bisa sandi morse tidak?!” timpal Surya. “Kayaknya, kedipan lampu tadi adalah komunikasi dengan sandi morse,” urainya lebih lanjut.

Kejadian itu pun berjalan dengan begitu cepat. “Ada orang. Lariiiiiii…! Kali ini Nawawi berteriak keras sekali. Mungkin terbawa suasana yang sangat mencekam. Aku ikut hanyut juga dalam suasana tegang itu.

Bagaimana kalau suara itu adalah derap kaki gerombolan anjing yang mengejar kami? Aku teringat dengan anjing yang menggonggong tadi siang. Tak sanggup membayangkan bagaimana rasanya kalau moncong-moncong najis itu mencabik tubuh kami.

Tenang… Saya harap semuanya tenang! Bukankah ini yang kita cari?! Bukankah kita ingin mati syahid?! Abdullah mulai menguasai suasana. “Kita hadapi semuanya dengan kepala dingin.”

Perkataan Abdullah sedikit menenangkan kami. Hanif segera melantunkan doa perlindungan yang membuat kami lebih sadar. “A’udzu bikalimatillahitammah minsyarri ma khalaq (Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna, dari kejahatan ciptaan-Nya.)” Tiga kali aku melantunkan zikir tersebut mengikuti Hanif.

Fahmi? Ya, Fahmi masih terkapar dan membuat kami segera tersadar. Rupanya tubuh Fahmi tidak bisa bangun. Mungkin kakinya terkilir, badan gemetar, mukanya pucat dengan tubuh  tak bergerak. Apakah dia terkena radang dingin?

Kami semua mendekatinya. Segera saja Dzulfikar mencari akar tunggal dari pohon pepaya yang masih kecil. Setelah menemukan, dikunyahlah akarnya dan langsung meminta Fahmi untuk memakannya.

Ini, biar perut anget, bisa menahan dingin sekaligus obat masuk angin,jelasnya. Sementara yang lain berjaga-jaga. Nampak Fida’ sudah siap dengan jurus maut jet kundo nya sedangkan Syarif  terlihat siap dengan bu tong pay nya.

“Tolong, siapa di antara kita yang paling ikhlas? Segera untuk merukiah Akhi Fahmi” Rupanya Hanif angkat suara. Mata kami langsung tertuju pada Faqih. Orang yang paling pendiam tapi tawadhu’.

Aku tidak mungkin melupakan sosoknya yang teduh karena selama dua tahun ini kami menggunakan satu lemari yang sama. Faqih segera membacakan ayat-ayat  rukiah pada sebuah gelas berisi air. Lalu Fahmi pun segera meminumnya.

Disela suasana mencekam itu tiba-tiba kawan kami yang berasal dari Dompu berkata, “Ingat, yang lain tetap waspada dan zikir kepada Allah.” Hal yang mengherankan kami, pernyataan tersebut selalu terucap setiap sepuluh menit. Sudah seperti jam weker yang telah diatur durasi waktunya, “Ingat yang lain tetap waspada dan dzikir kepada Allah.

Sekarang begini saja….” Fayad rupanya akan memberi solusi. “Kita bentangkan sehelai kain sarung lalu Fahmi kita dudukkan di tengahnya dan kita angkat bergantian sampai bawah.” Tanpa ada yang membantah, segera kami melaksanakan usulan Fayad. Kami meneruskan kembali perjalanan dengan tanpa banyak cakap. Kurang dari dua jam kami sudah sampai ke perkampungan di kaki bukit.

Sssstt, kampung ini masih basis Kristen. Kalian yang masih memakai atribut muslim, afwan, ini untuk kemaslahatan tolong di lepas dulu,” Abdullah memberi instruksi. Karena masih terbawa tegangnya suasana,  kami menurut saja. Fahmi sudah agak membaik dan dia pun diminta untuk berjalan dengan diapit dua orang. Hal itu agar tidak menimbulkan tanda tanya bagi warga setempat.

Kebenaran

Demikianlah, kami pun berjalan lagi menembus pekat malam. Hingga akhirnya sampai juga di tempat tujuan. Tempat di mana dahulu kami transit pertama kali. Ada yang terlupa terkait dengan kejadian tadi. Kebersamaan, rasa kebersamaan kami tiba-tiba muncul.

Terus terang biasanya kami kerap berdebat dan berseteru. seperti saat kami baru tiba di tempat transit. Hampir saja Hanif pergi meninggalkan kami karena bertengkar dengan Abdullah gara-gara masalah sepele, idenya tidak di terima. Mungkin itulah berkah dari kejadian yang menimpa kami, rasa kebersamaan dan kerja tim yang solid.

Keesokan harinya, kami berkumpul melingkar untuk mengevaluasi kegiatan. Sambil menikmati wedang jahe yang sangat lezat. Fahmi angkat bicara, “Kepada rekan-rekan semua saya mohon maaf tentang jatuhnya saya malam tadi. Itu adalah pura-pura saja dan tidak ada yang memukul saya.

 Sejenak rasa kesal kami memuncak, “Huuuhhhh…!

Huh dasar bahlul!” Kami bersorak ria.

Wah, padahal aku lho yang paling capek. Soalnya aku nggak ada yang gantiin waktu ngangkat badan Fahmi,” celoteh Fatih. Kami pun hanya tersenyum simpul waktu itu.

Satu minggu kemudian di pesantren kami saat usai liburan.

Aku baru paham kenapa Fahmi berbuat demikian. Dia memelukku erat sekali sambil menangis tersedu-sedu. Rupanya dia hendak pulang, padahal kami harus belajar dua semester lagi.

Aku sekarang mengerti, sebelum pergi Fahmi ingin merasakan indahnya ukhuwah dan manisnya perjuangan serta hangatnya kerja tim di antara kami. Selamat tinggal sobat! Semoga Allah mempertemukan kita di jannah-Nya kelak. Amin.

 

Belum closing….

Nawawi dan Syarif sekarang menjadi seorang yang hafidz (hafal Al-Qur’an) dan mengasuh di pondok pesantren tahfidz. Irfan menjadi seorang Ustadz senior di Pesantren Darusy Syahadah dan kemarin menjadi juara 1 lomba penulisan Sirah Nabawiyah serta masih mengikuti kuliah Bahasa Arab jarak jauh di LIPIA.

Pak Bilal sudah selesai menempuh pendidikan S2 dan mengelola sekolah. Fatih menjadi seorang Ustadz di Pesantren Miftahul Huda dan berbisnis pakaian muslim. Hanif menjadi seorang Mudir Pondok di Purwokerto dan juga memiliki usaha Travel Umroh.

Gank Dompu kembali ke kampung halaman dan berdakwah di sana. Hafidzus Salam menjadi dai kondang yang sering keluar kota. Mualif aktif berdakwah di Lampung. Hamzah kembali menekuni hobinya berkarya dan memiliki usaha furnitur yang elegan.

Fahmi kembali ke Poso, tepatnya di desa Kalora bersama istrinya yang asli Jawa. Dzulfikar juga sudah selesai menghafal Al-Qur’an dan menjadi imam di kota Solo.

Fida’ yang saya belum tahu bagaimana kabarnya. Abdullah dan Surya dahulu dikeluarkan dari Pesantren, akan tetapi saya justru mendengar keduanya sekarang telah mendirikan pondok pesantren.

Untuk saudaraku Fahmi, doakan kami dalam tahajudmu. Agar istiqamah dan ridha dengan takdir-Nya. Adapun Faiz, beliau telah wafat sebab penyakit asma yang sudah akut dan semoga Allah menerima amal ibadahnya.

Sedangkan saya? Saya masih menjadi pemimpi. Kepompong yang tidur melingkar entah mengapa dan bagaimana.

Sekian.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami