BerandaAlumniApi di Bukit Menoreh (Bag. 1)

Api di Bukit Menoreh (Bag. 1)

- Advertisement -spot_img

Api di Bukit Menoreh (Bag. 1)

Alumni TID (sekarang DID) Angkatan 3

Bukit Menoreh

Kisah nyata ini kira-kira terjadi pada tahun 2004, sekarang tahun 2022 berarti sudah lewat 18 tahun. Tapi entahlah, saya masih suka membuka file ini. Terutama saat-saat sunyi dan sepi karena saat itu setan sangat intens menggoda anak Adam untuk melakukan dosa-dosa khalwah agar futur, tak terkecuali menggodaku. Maka tersiasati dengan menekuri artikel ini, biasanya setan jadi bosan menggodaku untuk bermaksiat karena diri segera terlecut agar tidak futur mengikuti bisikan setan.

Bisa terbayang, kan? Betapa masih unyu-unyunya kami saat itu. Ya, kisah ini terjadi saat kami masih nyantri di penjara suci alias pesantren. Bermula dari musim liburan semester di pondok, saat itu kami berinisiatif mengisi liburan dengan aktifitas dakwah dan bakti sosial.

Abdullah adalah orang pertama yang menggulirkan ide itu. Menurutnya, akan lebih baik bagi kami untuk mengadakan bakti sosial, tabligh akbar, perlombaan Islami, pasar murah dan sejenisnya, termasuk penyuluhan seputar antisipasi penyakit gondok di sebuah dusun pedalaman di puncak bukit.

Agenda itu pun hanyalah sebuah gebrakan aksi stimulan saja, karena setelahnya akan ada follow up dari lembaga dakwah setempat. “Ingat!” Pungkas Abdullah dengan serius. “Daerah yang menjadi target kita adalah basis Kristenisasi. Dahulu penduduk kampung ini 100% Muslim, sekarang hanya 25% saja yang Muslim dan sisanya sudah masuk Nasrani.

Mendengarkannya, kami yang sehari-hari mengenyam ilmu syar’i merasa tertantang untuk turut berpartispasi. Setelah rapat membentuk kepanitiaan, membuat konsep kerja, menata mekanisme penggalangan dana, dan survey lokasi akhirnya kami pulang. Dengan berbekal proposal, teman-teman yang di sekitaran Jawa Tengah pulang untuk menggalang dana dan pengumpulan buku-buku Islami.

Beberapa hari kemudian kami kembali bertemu di pondok. Ternyata cukup banyak dana yang terhimpun, ditambah dua karton buku-buku dan majalah karena beberapa Asatidzah kami memiliki penerbit sekaligus sebagai distributor buku. Oh iya, termasuk Majalah Ar-Risalah. Kami segera bermusyawarah seputar pemberangkatan dan schedule di tempat tujuan.

Singkat cerita, alhamdulillah, setelah kurang lebih empat jam long march dan bertungkus lumus mendaki tebing menyusuri terjalnya jalan setapak, kami yang berjumlah 19 santri sampai juga di kampung yang dituju. Rombongan dipecah menjadi dua thaifah (pakai regu saja ya biar familiar).

Regu satu adalah Abdullah, Surya, Fahmi, Ziyad, Subhan, Abdul Haq, Zainudin, Dzulfikar dan saya menempati dusun atas. Sedangkan regu dua dikepalai oleh Irfan Zain, Fida’, Fatih, Faqih, Hamzah, Rosyid, Hafidzusalam, Syarif Hidayatullah. Menyusul Faiz keesokan harinya karena kondisi fisik yang sakit-sakitan dia menyusul dengan diantar motor.

Hari itu juga kami mulai bekerja. Regu bawah langsung membangun MCK dan tempat wudhu. Maklum di situ ada Hamzah yang jago nukang. Kami mengadakan tabligh akbar, penyuluhan terapi gondok, pasar murah dan pensil yakni perlombaan Islami. Puncaknya adalah saat pembagian hadiah, Faiz datang membawa banyak permen dan beragam makanan ringan yang langsung diserbu anak-anak.

Acaranya berjalan lancar dan lucunya ada dua orang mahasiswa KKN dari dusun lain mendatangi kami karena ingin tahu cara kerja kami. Hampir lupa, malam pertama kami disambut bak artis bintang tamu dari kota. Kami diperkenalkan dengan warga sekitar dengan acara yang sangat meriah.

Pengajian dan Qasidah.

Itu lho ada biduanitanya.” Bisik Ziyad di telingaku. Aku hanya tersenyum simpul. Tak terasa tiga hari berlalu, kami perpisahan di rumah warga depan masjid. Lagi-lagi ada rebananya plus vokalis akhwat tadi, hehehe. Saya ingat betul waktu kami didaulat untuk menyumbang suara.

Segera kami bernasyid ria dan berkoor melantunkan lagunya Izzatul Islam berjudul “SELAMAT TINGGAL SAHABATKU”. Saya ingat waktu itu yang paling semangat adalah Nawawi. Ketika tiba di bagian ending nasyid, dengan lantang Fayad dari suku Bugis membawakan puisinya, “Sayonara Majak Singi, Selamat tinggal Bukit Menoreh.”

Konspirasi?

Namun ada beberapa kejanggalan selama 3 hari kami menggelar acara tersebut. Surya misalnya, melalui handy talkynya sempat menyimak ucapan dari seseorang yang masuk ke gelombang frekuensinya, “Awas, ini kandang wedus. Jangan macam-macam.” Begitulah kira-kira nada ancamannya.

Surya pun berkomentar,Kandang wedus ini mungkin maksudnya tempat gembalaan karena orang Nasrani menganggap orang lain sebagai domba-domba yang tersesat.” Kami hanya manggut-manggut saja. “Jadi kita harus hati-hati,” lanjutnya serius.

Saya pun pernah mengalami kejadian yang agak janggal. Saat itu sedang menuju sebuah warung untuk membeli sesuatu sebagai hadiah anak-anak TPA selesai perlombaan. Baru saja melewati rumah seorang pendeta, tiba-tiba sekelompok anjing menggonggong seolah mengejarku. “Sepertinya anjing-anjing itu ada yang memerintah,” pikirku seketika. Beruntung aku segera menyelinap ke salah satu rumah warga.

Kejadian paling aneh adalah pesan dari ‘orang tua’ saat kami berpamitan hendak pulang. “Hati-hati ya Dik, jangan berpencar di jalan.”

Iya Pak,” jawab kami. Di sela basa-basi tersebut kembali orang tua itu mengatakan, “Hati-hati ya.”

Lalu kami segera menuju rumah Pak Kadus (Kepala Dusun). Ternyata beliau tidak ada di tempat, kata istrinya sedang rapat dengan Pak Kades. “Wah, jangan-jangan mereka sedang merapatkan kita?” Komentar Surya seraya berbisik. “Soalnya Pak Kades di sini orang palang.” Bisiknya sembari memperagakan simbol salib.

Sudahlah mari kita pulang. Tolong akhi Fida’, Faqih, dan Hanif antum di depan yang lain ikuti. Hamzah, Fahmi, Azam di belakang sebagai tim penyapu.” Abdullah sebagai ketua regu segera menginstruksi kami.

Sementara malam mulai merayap perlahan. Kami berjalan di punggungan bukit. Kanan kiri kami tebing dan jurang dengan lembah yang siap menelan siapa saja. Selebihnya adalah pepohonan.

Suhu yang sangat dingin tak kami gubris sama sekali. Bismillah, kami segera melangkah pulang. Tampak kesedihan pada raut muka kami terutama Nawawi, dia tidak tega meninggalkan penduduk dusun yang butuh pencerahan (Islam).

Namun baru sekitar dua jam kami berjalan di gelap malam, dengan penerangan seadanya tiba-tiba terdengar teriakan, “Aaarrrgghhhh.” Terlihat Fahmi terjatuh di turunan curam yang agak menikung persis di belakangku.

Bukkk.” Tubuh tambunnya segera terhempas ke bawah. Kami segera berhenti dan memberikan pertolongan. Aku yang terdekat segera memeriksa kondisi tubuhnya, “Tidak apa-apa,” pikirku.

Aku melihat raut mukanya sebelum kedua matanya menutup, dia sempat berkata lirih, “…..Aada…yang…me…mu…kul…ku.” Ujarnya setengah bergumam. “Fahmi bangun! Umat masih membutuhkan orang sepertimu.” Aku berteriak panik takut terjadi apa-apa dengan Fahmi.

“Apakah ini konspirasi?” Selidik Irfan. Santri berkaca mata memang cerdas seperti Einstein. Terbukti selalu peringkat teratas di kelas kami.

Sungguh, kami yang berjumlah 19 orang waktu itu benar-benar tegang. Di tengah rimba perbukitan dengan suasana malam yang begitu mencekam, benarkah Fahmi dipukul?

Bersambung.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
12,700PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
9,600PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami