BerandaKajianAdabBatasan dan Etika Bercanda Dalam Islam

Batasan dan Etika Bercanda Dalam Islam

- Advertisement -spot_img

(Bagian. 1)

Fenomena bercanda di kalangan masyarat sudah menjadi topik pembahasan yang umum terjadi. Baik dari kalangan muda-mudi maupun kalangan orangtua, baik itu berupa gosip artis-artis selebritis maupun hanya pembicaraan dari mulut ke mulut dalam lingkup tetangga, teman sejawat, maupun keluarga.

Memang bercanda kerap kali menjadi penghidup suasana, hiburan obrolan yang hanya sekedar relaks dari penatnya aktivitas. Bahkan lebih dari itu, bercanda juga menjadi faktor keakraban satu individu dengan individu yang lain dan menjalin komunikasi yang erat antar sesama.

Bercanda Dalam Pandangan Syar’i

Syari’at Islam, menempatkan tema bercanda sebagai hal yang merupakan fitrah naluri manusia yang membutuhkan kepada sesuatu yang bisa me-refresh otak, menangkan pikiran dan meredam kegelisahan.

Dalam kacamata Syar’i, tidak mengapa seseorang itu bercanda selama komitmen dengan petunjuk Nabi –Shallahu ‘Alaihi wa Sallam– , tidak menimbulkan bahaya bagi orang lain, maka yang demikian itu bahkan dihasung dan diperintahkan. Hal itu karena tabi’at nafsu manusia itu seringkali menemui kejemuan dan kebosanan. Sehingga harus membutuhkan waktu untuk relaks sejenak.

Perihal bercanda ini telah tercerminkan dalam perbuatan Nabi –Shallahu ‘Alaihi wa Sallam– yang pernah bersenda gurau dengan keluarga beliau, bercanda dengan para sahabat dan sesekali tertawa karena mereka.

Sahabat Ibnu Umar – Radhiyallahu ‘Anhuma – pernah ditanya, “Apakah para sahabat Rasulullah dahulu pernah bercanda hingga tertawa?”, beliau menjawab, “Ya, akan tetapi iman dalam hati mereka lebih besar daripada gunung.” (Abdurrazaq bin Hamam Ash-Shan’ani, Mushannaf Abdurrazaq vol. 11, hlm. 451)

Rambu-rambu Bercanda yang Harus Diwaspadai

Kendati bercanda seperti yang pernah dicontohkan Nabi –Shallahu ‘Alaihi wa Sallam– diperbolehkan, perlu hal tersebut terikat dengan rambu-rambu yang harus diperhatikan sebagaimana yang akan dijelaskan berikut ini;

Sesungguhnya syi’ar-syi’ar agama Islam itu bersih dari sendagurau dan ejekan. Oleh karena itu seseorang tidak diperkenankan mengambil simbol-simbol maupun yang berkenaan dengan ajaran Islam sebagai bahan tertawa apalagi sampai menempatkannya untuk ejekan.

Berkaitan dengan pengambilan unsur agama Islam sebagai ejekan, para ulama’ membagi dalam tiga kategori.

  1. Mengejek Allah, Rasul dan Kitab-Nya

Para ulama sepakat bahwa seseorang yang telah mengejek Allah dan Rasul-Nya beserta Al-Qur’an yang diturunkan, maka dia dihukumi telah melakukan tindakan kekufuran yang menyebabkan pelakunya bisa keluar dari millah (agama Islam).

Hal ini berdasarkan peringatakan Allah – Subhanahu wa Ta’ala– dalam firman-Nya :

وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ لَيَقُولُنَّ إِنَّمَا كُنَّا نَخُوضُ وَنَلْعَبُ قُلْ أَبِاللَّهِ وَآَيَاتِهِ وَرَسُولِهِ كُنْتُمْ تَسْتَهْزِئُونَ ( 65) لَا تَعْتَذِرُوْا قَدْ كَفَرْتُمْ بَعْدَ اِيْمَانِكُمْ ۗ اِنْ نَّعْفُ عَنْ طَاۤىِٕفَةٍ مِّنْكُمْ نُعَذِّبْ طَاۤىِٕفَةً ۢ بِاَنَّهُمْ كَانُوْا مُجْرِمِيْنَ ( 66)

“Dan jika kamu tanyakan kepada mereka, niscaya mereka akan menjawab, “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah, “Mengapa kepada Allah, dan ayat-ayat-Nya serta Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?. Tidak perlu kamu meminta maaf, karena kamu telah kafir setelah beriman. Jika Kami memaafkan sebagian dari kamu (karena telah tobat), niscaya Kami akan mengazab golongan (yang lain) karena sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang (selalu) berbuat dosa.” (QS. At-Tawbah: 65-66)

Imam Al-Alusi mengutip riwayat Ibnu Mundzir dan Ibnu Abi Hatim dari Qotadah, dia berkata, “Ketika Rasulullah – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam– dalam perjalan perangnya ke Tabuk, tiba-tiba melihat sekelompok orang di hadapan beliau dari kalangan orang-orang munafik. Mereka mengatakan, “Apakah orang ini berharap agar Istana kerajaan Syam dan bentengnya ditaklukkan untuknya, mana mungkin bisa, ujar mereka.”

Lantas Allah – Subhanahu wa Ta’ala – menyingkap pembicaraan tersebut dan mewahyukannya kepada Nabi – Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam – lalu beliau memerintahkan beberapa sahabat untuk mendatangkan orang-orang tersebut. Setelah diinterogasi mereka beralasan bahwa sebenarnya mereka hanya bercanda dan main-main. (Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, vol. 7, hlm. 282)

Beliau juga menambahkan, bahwa permintaan maaf bagi orang yang telah menghina Nabi -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- tidak diterima dikarenakan mereka telah jelas-jelas menampakkan kekufuran dengan menyakiti Rasulullah – -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- dan mencemarkan kehormatan beliau. Karena kaum munafik itu pada hakekat yang mereka sembunyikan adalah murni kekufuran, dan tidak mempunyai keimanan pada perkara semisal di atas.

Ayat di atas menjadi dalil para ulama’ bahwa perkara menampakkan kata kekufuran secara serius maupun hanya sekedar main-main itu sama saja, dan dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para imam. (Al-Alusi, Ruhul Ma’ani, vol. 7, hlm. 283)

  1. Mengejek Kepribadian Seseorang

Jika selama dalam bercanda itu menyinggung tentang gerak gerik dan tindak tanduk pribadi seseorang yang bersifat duniawi saja. Maka yang demikian itu adalah perbuatan fasik yang telah Allah larang dalam firman-Nya :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِنْ قَوْمٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُونُوا خَيْرًا مِنْهُمْ وَلَا نِسَاءٌ مِنْ نِسَاءٍ عَسَىٰ أَنْ يَكُنَّ خَيْرًا مِنْهُنَّ

“Wahai orang-orang yang beriman, Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan mengolok-olok perempuan yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olok) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok).” (QS. Al-Hujurat : 11)

  1. Mengejek yang Bisa Menyebabkan Pelakunya Dihukumi Fasik atau Kafir

Perkara ini terjadi bila mengejek seorang muslim dikarenakan ketaatannya kepada agama dan peragainya yang ada kesusuaian dengan sunnah. Jika ejekan tersebut ditujukan pada syari’at yang seorang muslim lazimi, maka ini bisa menyebabkan pelakunya melakukan kekufuran yang mengeluarkan dia dari agama.

Namun bila ejekan tersebut kembali pada kepribadian seorang muslim, misal karena dia tidak piawai menjalankan syari’at, atau ia hanya sekedar berlebih-lebihan saja dalam mempraktekkan sunnah yang tidak ada nashnya. Maka hal yang semacam ini sebenarnya adalah ejekan terhadap kepribadian seseorang bukan kepada agamanya.

Dengan demikian, bisa ditarik kesimpulan bahwa pada hakekatnya bercanda itu hukumnya mubah dan boleh saja selama dalam lingkup yang dibutuhkan manusia untuk melepas kepenatan dan merefresh pikiran. Namun bisa jadi bercanda itu diharamkan jika dalam bercanda ada unsur ejekan kepada simbol-simbol dan ajaran syari’at Islam.

Adapun bercanda dalam hal yang selain disebutkan di atas, akan dibahas pada postingan berikutnya, in syaa Allah.

Oleh : Azzam Elmahdie

Silahkan baca juga artikel lanjutan pembahasan ini.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami