Daftar Isi
Muqaddimah
Banyak kaum muslimin memahami shalawat sebatas bacaan yang dianjurkan untuk diucapkan, terutama ketika mendengar nama Rasulullah ﷺ. Padahal, para ulama sejak generasi sahabat hingga ulama kontemporer menaruh perhatian besar terhadap makna terdalam dari ibadah ini. Mereka melihat bahwa shalawat bukan sekadar doa, melainkan jalinan spiritual yang menghubungkan seorang hamba dengan Sang Nabi terakhir melalui pujian, cinta, dan pengagungan. Menariknya, dalam literatur klasik, pembahasan shalawat sering kali dikaitkan dengan rahasia besar mengenai bagaimana Allah sendiri memuji Rasul-Nya di alam malaikat—sebuah dimensi yang jarang disinggung dalam pembahasan populer.
Lebih jauh lagi, istilah shalawat dalam Al-Qur’an ternyata tidak hanya dinisbatkan kepada Nabi, tetapi juga digunakan untuk menggambarkan curahan rahmat, ampunan, dan perhatian Ilahi kepada orang-orang beriman. Ini menunjukkan bahwa kata tersebut menyimpan makna teologis yang sangat dalam dan berlapis-lapis. Sayangnya, banyak kaum muslimin tidak menyadari bahwa memahami makna shalawat secara benar dapat mengubah cara kita bersikap terhadap sunnah Nabi, cara kita beribadah, bahkan cara kita mencintai Rasulullah ﷺ. Pengantar ini mengajak pembaca menelusuri kembali khazanah tafsir dan pemikiran ulama salaf–khalaf untuk menangkap hakikat shalawat sebagaimana yang dipahami generasi awal Islam.
Pembahasan mengenai ash-shalātu ‘ala an-nabī merupakan salah satu tema yang memperoleh tempat khusus dalam literatur para ulama. Tidak hanya karena ia merupakan ibadah lisan yang sangat ditekankan dalam syariat, tetapi juga karena kandungan maknanya yang luas dan kedudukannya sebagai bentuk penghormatan tertinggi kepada Rasulullah ﷺ. Untuk memahami kedalaman maknanya, kita perlu menelusuri terlebih dahulu bagaimana Al-Qur’an menggunakan kata “shalawat” dalam konteks yang lebih umum, lalu bagaimana para ulama menafsirkan maknanya ketika ia disandarkan kepada Nabi ﷺ.
Perspektif Al-Qur’an: Shalawat Allah dan Para Malaikat untuk Orang Beriman
Sebelum masuk ke pembahasan khusus mengenai shalawat kepada Rasulullah ﷺ, kita perlu memahami bagaimana Al-Qur’an menggambarkan shalawat Allah kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Hal ini penting karena akan memberikan kerangka umum tentang bagaimana istilah itu digunakan oleh Allah Azza wa Jalla dalam firman-Nya.
Allah berfirman:
هُوَ الَّذِي يُصَلِّي عَلَيْكُمْ وَمَلَائِكَتُهُ لِيُخْرِجَكُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ ۚ وَكَانَ بِالْمُؤْمِنِينَ رَحِيمًا
“Dialah yang memberi shalawat kepadamu, begitu pula para malaikat-Nya, supaya Dia mengeluarkan kamu dari berbagai kegelapan menuju cahaya. Dan Dia Maha Penyayang kepada orang-orang beriman.”
(QS. Al-Ahzab: 43)
Ayat ini menunjukkan bahwa istilah “shalawat” tidak hanya terkait dengan Nabi, tetapi juga ditujukan kepada seluruh orang beriman. Para ulama salaf memberikan ragam tafsir tentang apa yang dimaksud dengan “shalawat Allah” kepada kaum beriman, sebagaimana dikumpulkan oleh Imam Ibnul Jauzi dalam Zād al-Masīr. Di antara penafsiran tersebut:
- Al-Hasan al-Bashri: shalawat berarti rahmat Allah.
- Sa‘īd bin Jubair: maknanya adalah ampunan Allah.
- Abu al-‘Aliyah: bermakna pujian Allah kepada hamba-hamba-Nya di sisi para malaikat.
- Sufyān ats-Tsauri: bermakna memuliakan hamba-Nya.
- Abu ‘Ubaidah: bermakna keberkahan dari Allah.
Sedangkan shalawat para malaikat kepada orang beriman berarti doa serta permohonan ampun bagi mereka.[1]
Berdasarkan variasi makna ini, terlihat bahwa kata “shalawat” dalam Al-Qur’an memiliki cakupan makna yang luas dan bernilai tinggi. Semua tafsir di atas berporos pada pengertian bahwa shalawat adalah curahan kebaikan dan perhatian khusus dari Allah kepada hamba-hamba-Nya.
Makna Pokok Shalawat untuk Nabi: Perhatian dan Pengagungan Ilahi
Ketika shalawat disandarkan kepada Nabi Muhammad ﷺ, para ulama mencoba merumuskan makna inti yang mengumpulkan seluruh penafsiran salaf.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa esensi shalawat adalah:
مَعْنَى الصَّلَاةِ مِنَ اللهِ تَعَالَى: الاِعْتِنَاءُ بِالْمُصَلَّى عَلَيْهِ، وَتَعْظِيمُ قَدْرِهِ، وَإِظْهَارُ شَرَفِهِ
“Makna ṣalāh dari Allah Ta‘ālā adalah perhatian-Nya kepada orang yang disalati, pengagungan terhadap kedudukannya, serta penampakan kemuliaannya.” [2]
Pandangan ini kemudian dijelaskan dan diperinci oleh para mufassir lain:
- Imam Al-Baydhawi menegaskan bahwa firman Allah (يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ ) berarti Allah dan para malaikat-Nya senantiasa memberikan perhatian khusus untuk menampakkan kemuliaan Nabi dan meninggikan kedudukannya.[3]
- Ibnul Qayyim, dalam Jalā’ al-Afhām, merangkum makna shalawat menjadi tiga unsur besar:
- tsanā’ (pujian) Allah untuk Rasul-Nya,
- ‘ināyah (perhatian dan pemeliharaan),
- i‘lā’ (penampakan kemuliaan dan kedudukan tinggi beliau).[4]
Kesimpulannya, shalawat kepada Nabi adalah bentuk pengagungan Ilahi yang diberikan Allah kepada Rasulullah ﷺ, dan ketika kita bershalawat, kita sedang memohon agar Allah menampilkan kemuliaan Nabi di hadapan makhluk-Nya.
Dimensi-Dimensi Praktis Shalawat kepada Nabi ﷺ
Makna shalawat tidak berhenti sebagai konsep teologis, tetapi terwujud dalam beberapa dimensi nyata. Para ulama merinci bentuk-bentuk pengaruh shalawat dalam kehidupan seorang muslim.
- Dimensi Pujian (الثناء)
Ini adalah penafsiran paling kuat menurut banyak ulama seperti Abu al-‘Aliyah, Ibnul Qayyim, dan Syekh Ibn ‘Utsaimin.
Abu al-‘Aliyah berkata (diriwayatkan oleh Al-Bukhari sebelum Hadits no. 4797):
صلاةُ اللهِ ثناؤه عليه عند الملائكة، وصلاةُ الملائكةِ الدعاء
“Shalawat Allah adalah pujian-Nya kepada Nabi di hadapan para malaikat, dan shalawat malaikat adalah doa mereka.”[5]
Menurut penafsiran ini, shalawat adalah pengagungan Allah terhadap Nabi ﷺ di hadapan al-Mala’ al-A‘lā, para malaikat terdekat dengan-Nya. Seorang mukmin yang bershalawat sedang memohon agar Allah terus menerus menampakkan kemuliaan Nabi-Nya di alam langit.
- Dimensi Doa dan Permohonan
Imam Ibnul Jazari menjelaskan bahwa ucapan:
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
mengandung makna permohonan agar Allah:
- di dunia: meninggikan nama beliau, menjaga syariatnya agar tetap hidup, menampakkan dakwahnya, dan menguatkan pengaruhnya sampai akhir zaman;
- di akhirat: memberikan kepada beliau kedudukan terpuji, membukakan pintu syafa’at terbesar, serta melipatgandakan balasan bagi amal beliau.[6]
Maka shalawat bukan sekadar doa, tetapi doa paling agung yang bisa dipanjatkan untuk makhluk paling mulia.
- Dimensi Pengikutan dan Ketaatan (الاتباع والانقياد)
Dimensi terpenting dari shalawat adalah meniru jejak beliau. Imam Al-Khatib Asy-Syirbini menafsirkan firman Allah:
صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
bukan hanya berarti “ucapkanlah shalawat”, tetapi juga:
“Tampakkanlah kemuliaan Nabi dengan seluruh kemampuan kalian, baik melalui banyak memujinya, mencontoh perilakunya, maupun patuh kepada seluruh tuntunan beliau.”[7]
Dengan demikian, shalawat adalah deklarasi loyalitas, ketaatan, dan cinta seorang hamba kepada Rasulullah ﷺ.
Dua Pendapat Utama Ulama tentang Makna Shalawat kepada Nabi ﷺ
Para ulama sejak era tabi‘in hingga ulama kontemporer mengemukakan dua pendekatan dalam menafsirkan makna shalawat. Keduanya sama-sama diambil dari dalil, hanya bertumpu pada titik penekanan yang berbeda.
Pendapat Pertama (Jumhur): Rahmat, Ampunan, dan Doa
Mayoritas ulama memahami bahwa makna shalawat berubah sesuai pelakunya:
- Shalawat Allah = rahmat dan karunia-Nya.
- Shalawat para malaikat = permohonan ampun dan doa mereka.
- Shalawat manusia = doa agar Allah memberikan rahmat dan berkah kepada Nabi ﷺ.[8]
Menurut pendapat ini, makna shalawat dari sisi manusia adalah permohonan agar Allah terus melimpahkan rahmat dan kemuliaan kepada Nabi-Nya.
Pendapat Kedua (Rajih Menurut Sebagian Peneliti): Pujian Allah untuk Nabi di Hadapan Para Malaikat
Pendapat ini dinisbatkan kepada:
- Abu al-‘Aliyah (tabi’in besar, wafat 90 H),
- dipilih oleh Ibnul Qayyim dalam Jalā’ al-Afhām,
- dan ditegaskan kembali oleh Syekh Ibn ‘Utsaimin dalam Asy-Syarh al-Mumti’ (3/163–164).
Abu al-‘Aliyah secara tegas menyatakan bahwa shalawat Allah kepada Nabi adalah pujian Allah kepada beliau di hadapan al-Mala’ al-A‘lā.
Syekh Ibn ‘Utsaimin memberikan beberapa argumentasi mengapa pendapat ini lebih kuat:
- Al-Qur’an membedakan antara “shalawat” dan “rahmat”
Allah berfirman:
أُولَئِكَ عَلَيْهِمْ صَلَوَاتٌ مِّن رَّبِّهِمْ وَرَحْمَةٌ
“Mereka mendapatkan shalawat dari Rabb mereka dan rahmat.”
(QS. Al-Baqarah: 157)
Huruf wāw (dan) menunjukkan perbedaan makna. Seandainya shalawat identik dengan rahmat, tentu tidak akan disandingkan seperti itu.
- Rahmat dapat diberikan kepada setiap mukmin, sementara shalawat memiliki kekhususan hukum
Para ulama membolehkan mendoakan rahmat untuk siapa saja, namun berbeda pendapat mengenai hukum bershalawat kepada selain Nabi. Ini menunjukkan bahwa shalawat memiliki makna yang lebih khusus daripada rahmat.
- Keterkaitan dengan makna “shilah” (hubungan)
Akar kata shalat memiliki kedekatan makna dengan ash-shilah (hubungan), dan pujian Allah kepada Nabi adalah bentuk hubungan kehormatan paling tinggi antara Allah dan Rasul-Nya.[9]
Kesimpulan Umum: Shalawat adalah Jalinan Cinta, Pujian, dan Kepatuhan
Dengan menggabungkan seluruh penjelasan para ulama, dapat disimpulkan bahwa perintah bershalawat kepada Nabi ﷺ adalah ibadah yang komprehensif. Ia mencakup beberapa aspek besar:
- Memohon agar Allah memuji dan menampakkan kemuliaan Nabi di langit.
- Memohon agar Allah melimpahkan rahmat, keberkahan, dan kedudukan tertinggi untuk beliau.
- Menyatakan kesetiaan untuk mengikuti sunnah dan ajaran beliau.
- Menjadikan pujian kepada Nabi sebagai bentuk cinta dan ikatan spiritual antara kita dan beliau.
Shalawat bukan hanya lafaz yang dilafazkan, tetapi komitmen hidup untuk meneladani dan mengagungkan beliau.
Penutup
Sebagai penutup, semoga rangkaian penjelasan mengenai hakikat shalawat ini membuka mata hati kita bahwa ibadah yang tampak sederhana ini sebenarnya menyimpan kedalaman makna yang luar biasa. Shalawat adalah bentuk cinta yang mengalir antara hamba dan Nabinya; ia menghubungkan kita dengan perhatian Allah, pujian para malaikat, serta jejak langkah Rasulullah ﷺ yang penuh cahaya. Semoga pemahaman ini membuat kita lebih berhati-hati, lebih khusyuk, dan lebih sadar setiap kali melafazkan shalawat, sehingga ia tidak hanya menjadi rutinitas harian, tetapi ibadah yang hidup dan menghadirkan kedekatan spiritual dengan beliau ﷺ.
Lebih dari itu, semoga pembahasan ini menggerakkan jiwa kita untuk memperbanyak shalawat, menjaga sunnah beliau, dan menjadikan akhlaknya sebagai pedoman dalam pergaulan, keluarga, dan setiap pengambilan keputusan. Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk golongan yang mendapat shalawat, rahmat, dan penjagaan-Nya; serta dikumpulkan bersama Nabi Muhammad ﷺ di hari kiamat kelak. Dan semoga shalawat yang kita panjatkan menjadi sebab turunnya keberkahan dalam hidup kita serta mengantarkan kita kepada syafaat beliau pada hari ketika amal tidak lagi menyelamatkan kecuali dengan izin-Nya. Wallahu A’lam bish Shawab.
Oleh : Santri Darsya
[1] Ibnul Jauzī, Zād al-Masīr, Juz 6, hlm. 381–382, tafsir QS. Al-Ahzāb: 43.
[2] Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulūm ad-Dīn, Juz 1, hlm. 553 (tahqīq: al-‘Irāqī), dalam pembahasan makna shalawat.”
[3] Al-Bayḍhāwī, Anwār at-Tanzīl wa Asrār at-Ta’wīl, tahqīq Muḥammad ‘Abd al-Raḥmān al-Mara‘shlī (Beirut: Dār Iḥyā’ at-Turāts al-‘Arabī, cet. 1, 1418 H), jil. 4, hlm. 238.
[4] Ibnul Qayyim al-Jauziyyah, Jalā’ al-Afhām fī Faḍl al-Ṣalāh wa al-Salām ‘alā Khayr al-Anām, tahqīq Syu‘aib al-Arna’ūṭ & ‘Abd al-Qādir al-Arna’ūṭ (Beirut: Mu’assasah al-Risālah, cet. 2, 1404 H), hlm. 39–40
[5] HR. al-Bukhārī, Kitāb Tafsīr al-Qur’ān, tafsir QS. al-Aḥzāb: 56, sebelum no. 4797
[6] Ibn al-Jazarī, al-Ḥiṣn al-Ḥaṣīn min Kalām Sayyid al-Mursalīn (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, cet. 1, 2004), hlm. 263–264.
Dan dalam kitabnya yang lain ‘Uddat al-Ḥiṣn al-Ḥaṣīn, (Beirut: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1998), hlm. 342–343.
[7] Al-Khaṭīb asy-Syirbīnī, As-Sirāj al-Munīr fī al-I‘ānah ‘alā Ma‘rifah ba‘ḍ Ma‘ānī Kalām Rabbinnā al-Ḥakīm al-Khabīr, jilid 3, hlm. 268, cet. Būlāq, 1285 H.
[8] At-Ṭhabarī, Jāmi‘ al-Bayān ‘an Ta’wīl Āy al-Qur’ān, tahqīq Aḥmad Shākir (Kairo: Dār al-Ma‘ārif, 1955), jil. 20, hlm. 256–257. Ibn Katsīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Aẓhīm (Riyadh: Dār Ṭayyibah, cet. 2, 1999), jil. 6, hlm. 414–416. Al-Qurṭubī, al-Jāmi‘ li Aḥkām al-Qur’ān (Kairo: Dār al-Kutub al-Miṣriyyah, 1964), jil. 14, hlm. 230–231. An-Nawawī, Syarḥ Ṣhaḥīḥ Muslim (Beirut: Dār Ihyā’ al-Turāth al-‘Arabī), jil. 3, hlm. 151–152.
[9] Ibn ‘Utsaimin, Asy-Syarḥ al-Mumti‘ ‘alā Zād al-Mustaqni‘ (Dammam: Dār Ibn al-Jauzī, cet. 1), jil. 3, hlm. 163–164.




