BerandaKajianIbrohMuhammad bin Thahir Al-Maqdisi Menahan Lapar demi Ilmu

Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi Menahan Lapar demi Ilmu

- Advertisement -spot_img

Semangat Belajar Ulama'

Oleh: Ust. Ahsanul Huda

Ilmu adalah pedoman untuk mencapai segala kebaikan di dunia dan akhirat, dengan ilmu manusia bisa membedakan mana yang hak dan mana yang batil. Dengan ilmu pula manusia bisa membedakan mana yang ibadah dan mana yang bukan ibadah, mana yang syirik dan mana yang tauhid, mana yang sunnah dan mana yang bid’ah, mana yang di atas keta’atan dan mana yang di atas kemaksiatan. Sebaliknya, kebodohan akan membawa kepada ketergelinciran, oleh karenanya Islam sangat menganjurkan umatnya untuk menuntut ilmu, Rasulullah saw bersabda:

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ

“Menuntut ilmu merupakan kewajiban atas setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah, no:224, dishahihkan oleh Syeikh Al- Albani di dalam Shahih Ibni Majah)

Dalam hadits ini, Rasulullah saw dengan tegas menyatakan bahwa menuntut ilmu itu hukumnya wajib atas setiap muslim, bukan bagi sebagian orang muslim saja. Oleh karenanya, sebagai seorang muslim kita wajib untuk merealisasikanya.

Ibnu Qayyim menjelaskan, “Bahwa manusia itu dibedakan dari jenis binatang  dengan adanya keutamaan ilmu dan bayan (penjelasan).  Jika manusia tidak memiliki ilmu, maka binatang melata dan binatang buas itu lebih banyak makan, lebih kuat, lebih banyak jima (berhubungan seksual), lebih banyak memiliki anak, dan lebih panjang umurnya daripada manusia. Manusia itu dibedakan dari binatang karena ilmu dan bayan yang dimilikinya. Jika keduanya tidak ada, maka yang tersisa adalah adanya sisi persamaan antara manusia dengan binatang, yaitu sifat kehewanan saja. Dan tidak ada keutamaan manusia atas binatang, bahkan bisa saja manusia lebih jelek darinya.”

Sedemikian urgensinya ilmu bagi kehidupan manusia, maka tidak heran para pendahulu kita begitu antusias dalam mempelajirinya. Salah satunya adalah Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi.

Beliau menuturkan kisahnya dalam salah satu segmen perjalananya saat menuntut ilmu, beliau berkata, “Saya tinggal di Tunis bersama Abu Muhammad bin Al-Haddad Rahimahullah. Bekal saya semakin menipis hingga yang tersisa hanya satu dirham saja. Saat itu saya butuh roti dan kertas untuk menulis. Saya bingung, kalau saya belikan roti, maka saya tidak ada (uang untuk) beli kertas untuk menulis. Jika dipakai beli kertas maka saya tidak akan makan roti.

Kebingungan ini berlanjut sampai tiga hari dan selama itu pula saya tidak merasakan makan sama sekali. Pada pagi hari keempat, dalalam hati, saya berkata: “Kalau saya punya kertas, saya tidak akan bisa menulis karena sangat lapar.” Akhirnya saya letakan dirham itu dimulut, ketika aku berusaha mengeluarkanya untuk membeli roti, tanpa terasa saya telah menelan dirham tersebut, sayapun tertawa. Di saat itu Abu Thahir bin Khaththab Ash-Shaigh Al-Mawaqiti datang menemuiku. Ia bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa?” Kujawab, “Baik-baik saja.” Ia terus mendesakku, tapi aku tetap menolak untuk memberitahukannya. Maka, ia bersumpah seraya berkata, “Katakanlah dengan jujur, mengapa kamu tertawa?” Karena terdesak, aku pun berterus-terang kepadanya. Kemudian ia menggandengku dan membawaku ke rumahnya. Iapun menjamin makananku pada hari itu.

Di waktu Zhuhur, aku keluar untuk menunaikan shalat zuhur bersama Abu Thahir. Ia dikerumuni oleh para pembantu seorang pembesar di Tunisia bernama Ibnu Qadus. Ibnu Qadus menanyakan kepada Abu Thahir tentang diriku. Abu Thahir menjawab, “Ini dia orangnya.” Ibnu Qadus berkata, “Tuanku –yakni pemimpin Tunisia– memerintahkan diriku untuk memberinya uang 10 dirham yang nilainya setara seperempat dinar setiap harinya, tetapi aku lupa.” Ibnu Qadus pun mengambil uang 300 dirham, lalu mendatangiku seraya berkata, “Allah telah memudahkan suatu rezeki yang tak terduga sebelumnya.” Kemudian ia menceritakan kisahnya. Kukatakan, “Tolong simpankan uang itu di rumahmu. Kita tetap berkumpul sampai saatnya aku harus pergi. Aku ini sendirian. Tiada orang yang mengurusi urusanku.” Maka ia melakukannya. Setelah itu, ia memberiku uang sejumlah tersebut sampai aku berangkat ke Syam.”

Demikianlah petikan sejarah Muhammad bin Thahir Al-Maqdisi, serta berbagai kesulitan, kesengsaraan dan kelelahan yang beliau  pikul demi mendapatkan ilmu. Demi ilmu beliau rela tidak makan dan minum. Beliau rela bersabar dengan kesabaran yang luar biasa sampai beliau mendapatkan ilmu. Semoga Allah merahmati dan meridhai beliau. Aamiin

 

Sumber bacaan: Tadzkiratul Huffazh karangan Imam Adz-Dzahabi

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami