BerandaRenunganSejarahPeringati Hari Santri; Mengingatkan Peran Pesantren Untuk Negeri

Peringati Hari Santri; Mengingatkan Peran Pesantren Untuk Negeri

- Advertisement -spot_img

Sebagai seorang santri, maupun alumni bahkan yang pernah nyantri di Darusy Syahadah sekalipun, pasti tidak asing dengan sosok KH. Mustaqim Safar yang selalu kita lihat dan dengarkan nasehat beliau di manapun berada, mengingatkan kita akan masalalu ketika menjadi santri. Beliau ajarkan nilai-nilai ukhuwah islamiyah yang kita bangun bersama, memaknai bahwa hidup adalah perjuangan menegakkan kalimatullah, dan menyuarakan keislaman di masyarakat sebagai seorang Da’i fi Sabilillah.

Maka dalam rangka memperingati hari santri nasional yang bertepatan pada tanggal 22 Oktober 2021 ini beliau memberikan pesan kepada kita, “Kuatkan peranan santri, kokohkan benteng pertahanan negeri.”

Kata-kata beliau ini sangat erat korelasinya dengan peran pesantren yang mempunyai record sejarah dalam memperjuangkan kemerdekaan Republik Indonesia dan mempertahankannya. Sehingga topik ini menjadi menarik bila kita membaca flash back peranan pesantren di zaman penjajahan.

Sejarah mencatat bahwa peranan kaum ulama dan santri dari awal perjuangan merebut kemerdekaan hingga dapat menikmati suasana kemerdekaan saat ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Merekalah yang memberikan keyakinan kepada rakyat Indonesia yang pada saat itu harga diri dan martabatnya sedang diinjak-injak penjajah dan dicap sebagai inlander atau bangsa rendahan.

Dari gerakan perlawanan bersenjata hingga jalur diplomasi, keyakinan akan syahid-lah yang memberikan keberanian kepada mereka untuk melawan kaum kolonial Barat yang menganggap dirinya sebagai ras kulit putih yang unggul.

Sebagai contoh dari kontribusi pesantren dalam memperjuangkan kemerdekaan adalah peristiwa yang dimulai dari berakhirnya perang Diponegoro, yang masih ada sekitar 130 pertempuran yang melibatkan kalangan pesantren demi bangsa Indonesia. Kemerdekaan merupakan hasil karya seluruh bangsa Indonesia, dan ulama-santri juga ikut andil. Hal ini menunjukkan bahwa pesantren memiliki andil dan konstribusi yang sangat besar bagi kemerdekaan Republik Indonesia.

Bagi pesantren, Indonesia adalah martabat dan harga diri, memprokalamasikan kemerdekaan Republik Indonesia adalah merebut harga diri, memeperjuangakan cita-cita Prokalamasi adalah memperjuangakan kemanuasiaan.

Bagi umat Islam khususnya para santri, Kemerdekaan RI adalah rahmat Allah seperti yang tertulis dalam prembule UUD’45, “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorong oleh keinginan luhur , supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaanya”.

Ulama dan santri, dalam sejarahnya layak disebut pejuang bangsa. Laskar ulama santri membela Indonesia tidak hanya dengan emosi, tapi dengan ilmu pengetahuan, spiritual dan stategi. Ilmu yang dimiliki Kyai ditularkan pada santri dengan semangat membela tanah air berpijak dari fatwa jihad. Demikian juga spiritual ditanamkan agar punya daya tahan dan tidak takut dengan penjajah walau dengan senjata seadanya. Sedangkan strategi diatur sebagaimana ketika Rasululllah SAW menghadang musuh-musuhnya.

Pengalaman yang dimiliki Pangeran Diponegoro dalam menghadang musuh bangsa diteruskan oleh para pengawal setianya dari kalangan santri. Sejumlah nama seperti Kyai Muntaha Wonosobo, Kyai Yusuf Purwakarta, Kyai Muta’ad Cirebon, Kyai Hasan Besari Tegalsari Ponorogo bersama muridnya Kyai Abdul Manan Pacitan, yang mereka semua adalah sisa pasukan perang Diponegoro yang menjadi jejaring ulama Nusantara baik lokal maupun internasional.

Sejarah tidak akan lupa juga dengan seruan Resolusi Jihad yang ditetapkan pada tanggal 22 Oktober 1945 yang dihasilkan oleh santri ulama pondok pesantren dari berbagai propinsi Indonesia yang berkumpul di Surabaya. Resolusi Jihad ini dikumandangkan sebagai jawaban para tokoh ulama pesantren yang didasarkan atas dalil agama Islam yang mewajibkan setiap muslim untuk membela tanah air dan mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia dari serangan penjajah.

Resolusi jihad tersebut tidak semata-mata dimaksudkan sebagai perjuangan membela agama Islam saja, tetapi juga membela kedaulatan bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dengan bekal fatwa jihad yang diteguhkan dalam Resolusi Jihad tersebut, para pejuang pantang mundur menolak kedatangan kolonial. Resolusi Jihad tersebut menyeru seluruh elemen bangsa khususnya umat Islam untuk membela NKRI.

Ketika pertempuran 10 November 1945 meletus, laskar ulama santri dari berbagai daerah di garda depan pertempuran. Sampai Resolusi Jihad ini menjadi membahana di Semarang dan sekitarnya, bahkan telah mengiringi keberhasilan dalam Perang Sabil Palagan Ambarawa. Para laskar ulama santri juga terus melakukan pertempuran mempertahankan daerahnya masing-masing termasuk di tanah Pasundandan dan daerah-daerah lainnya.

Kiprah santri dalam membela negara tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada tahun 1943 hingga tahun 1945 hampir semua pondok pesantren membentuk laskar-laskar, dan yang paling populer adalah laskar hisbullah dan sabilillah. Pada kurun waktu tersebut kegiatan pondok pesantren adalah berlatih perang danolah fisik. Bahkan perlawanan sosial politik terhadap penguasa kolonial, pada umumnya dipelopori oleh para kyai sebagai pemuka agama, para haji, dan guru-guru ngaji. Dan pada 21 Oktober 1945, berkumpul para kyai se-jawa dan madura di kantor ANO (Ansor Nahdlatul Oelama). Setelah rapat darurat sehari semalam, maka pada 22 oktober 1945 dideklarasikan seruan jihad fi sabilillah yang belakangan dikenal dengan istilah “Resolusi Jihad”.

Dari sekilas sepakterjang pesantren di atas, bisa kita tarik kesimpulan bahwa pesantren dan umat islam cukup memberikan kiprah yang besar dalam membangun jiwa nasionalisme dalam merebut kemerdekaan, seperti yang telah disampaikan sejarawan Belanda bernama Douwes Dakker yang mengatakan, “Jika tidak karena pengaruh dan didikan agama Islam, maka patriotisme bangsa Indonesia tidak akan sehebat seperti yang diperlihatkan oleh sejaranya sehingga mencapai kemerdekaan”.

Penting ditegaskan di sini bahwa kiprah pesantren dan umat Islam cukup besar karena para tokoh pergerakan nasional tidak dapat dilepaskan dari dunia pesantren dan spirit Islam.

Pondok pesantren tidak hanya berperan sebagai lembaga pertahanan fisik terhadap intimidasi dan sejata para penjajah, namun pondok pesantren juga menjadi kubu pertahanan yang bersifat mental ataupun moral.

Pemikiran Snouck Horgronje sebagai seorang sarjana Belanda Oriental dan bahasa serta Penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah kolonial Hindia Belanda yang berupaya mengasimilasikan kebudayaan Indonesia dengan budaya Belanda tidak mencapai keberhasilan karena sistem pertahanan masyarakat Indonesia saat itu didominasi pengaruh pondok pesantren. Hal ini karena tradisi dan corak santri yang tidak mudah berasimilasi dengan budaya Barat, dalam hal ini adalah budaya Belanda sang penjajah.

 

Artikel ini dinukil dari sebagian Jurnal Islam Nusantara, Vol. 02, No. 01

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami