BerandaAlumniDuka Darusy Syahadah Atas Wafatnya Muhammad Qosim

Duka Darusy Syahadah Atas Wafatnya Muhammad Qosim

- Advertisement -spot_img

Seutas Kenangan

Darusy Syahadah, dua puluh tiga tahun silam. Tepatnya hari Jum’at antara bulan Maret dan April tahun 1999.

Pagi itu, sinar matahari menyemburat cerah. Indah cahayanya menembus dedaunan pohon jati dan sengon di sekitaran Ma’had.

Berbeda dengan hari biasa, kala itu santri ikut dan menghadiri aksi damai di Kota Barat, Surakarta.

Tujuannya adalah untuk memberi dukungan serta pembelaan kepada muslim Ambon yang sedang menghadapi konflik Sara pada tanggal 19 Januari 1999.

Sekitar pukul 07.30 pagi, satu truk disiapkan pihak pondok untuk armada para santri menghadiri aksi tersebut.

Turut pada kegiatan itu angkatan dua, tiga, dan empat yang dipandu oleh Bagian Kesantrian serta beberapa Ustadz.

Pukul 08.30 seluruh peserta sampai di lokasi aksi damai.

Setiba di sana kami mendengarkan yel-yel penyemangat dan ceramah para Kyai serta tokoh masyarakat lainnya hingga pukul 11.00 WIB.

Seusai acara, kami mencari masjid di sekitar Kota Barat untuk menjalankan ibadah shalat Jum’at.

Bakda melaksanakan shalat Jum’at, kami makan siang dan kemudian kembali ke Pesantren. Pada pukul 14.00 siang, seluruh rombongan telah tiba di Ma’had untuk kemudian segera beristirahat.

Setiba waktu shalat Asar, kami segera berjamaah di mushola pondok sebab saat itu Pesantren belum memiliki masjid.

Taklim

Selepas shalat Ashar, kami yang saat itu kelas nihai (kelas 3 SMA) memiliki jadwal taklim di kampung-kampung sekitar pondok seperti Karang Jati, Tlundan, Sucen, Sirah, dan sebagainya.

Jam 16.30 sore, saya dan Muhammad Qosim berangkat taklim qura dengan mengendarai sepeda onthel tua (pit kebo) menuju kampung Tlundan.

Awalnya, saya membonceng di belakang sedangkan Qosim di depan. Namun ketika sampai di dekat Darusy Syahadah Putri, Qosim meminta untuk mbonceng di belakang.

Saat itu cuaca mendung dan hujan mulai beringsut turun. Sepeda onthel kebo tua itu pun terus saya kayuh sekuat tenaga hingga sampai di Utara jembatan Karang Jati.

Ketika sepeda kami tergopoh menerobos hujan, tiba-tiba sebuah truk melaju dengan kencang dari arah berlawanan.

Di jalan yang menurun itu, truk yang bergerak dengan cepat tak mampu menguasai keadaan hingga memakan lajur kanan.

Qadarullah, benturan antara pit kebo dengan bak belakang truk pun tak bisa dihindari.

Kami berdua terjatuh dan terpental dengan jarak yang lumayan jauh dari lokasi kejadian.

Alhamdulillah, saat kejadian itu saya masih sadar meski darah segar mengalir membasahi baju dan badan.

Sementara Qosim, dia tak sadarkan diri dengan darah yang juga membasahi tubuhnya.

Saya pun segera mengangkat suara, berteriak mencari pertolongan dari masyarakat sekitar.

Waktu berlalu, luka menganga, bingung, sedang pertolongan dari warga belum juga didapat sebab sepi di tengah hujan deras.

Ketabahan

Setelah beberapa saat menunggu, akhirnya kami mendapat pertolongan dan segera dibawa ke puskesmas Simo untuk penanganan awal.

Namun, puskesmas Simo tiada bisa menangani. Mereka memberi saran rujukan agar kami dibawa ke Rumah Sakit Islam Surakarta (YARSIS) untuk penanganan lebih intensif.

Beberapa teman seangkatan juga ikut mengantar.

Akhi Amru Nur Kholis, akhi Muqorrobin, akhi Oemar Mita Abu Bassam, akhi Amali Jundullah, akhi Ubaidillah, akhi Adi Fahd, akhi Yasir (Abu Ammar), akhi Hanafi, akhi Nur Ahwan, dan beberapa nama yang tak bisa saya sebutkan.

Pukul 9 malam, saya siuman seusai menjalani operasi jahitan di beberapa tempat.

Ketika itu telinga sudah mulai bisa mendengar namun mata ini hanya mampu terpejam.

Saya mendengar suara Ustadz Mustaqim, Ustadz Zainal, Ustadz Qomaruddin, Ustadz Imron, dan yang lain saling berkabar bahwa Qosim sudah tidak tertolong lagi.

Sedih menyelimuti.

Sabtu pagi, Ponpes Darusy Syahadah sudah dipadati oleh tamu dari berbagai tempat yang hendak bertakziyah.

Pagi itu pula almarhum Qosim di shalatkan oleh ribuan jamaah dan kemudian dikebumikan di makam sebelah Utara Ma’had.

Ada kabar mengharukan yang disaksikan oleh banyak jamaah dan Asatidzah.

Bahwa saat memandikan jenazah Qosim, beliau tersenyum indah dan darah yang terus mengalir dari luka beliau mewangi semerbak.

Sementara saya, setelah dua hari di rumah sakit dan dinyatakan baik, maka saya segera meminta ijin pondok untuk sementara pulang ke Lamongan demi menjalani proses penyembuhan.

Demikian kisah nyata ini saya tulis sebagai pelaku peristiwa tersebut.

Qosim adalah putra Mbah Ahmad Murdani, seorang yang mengabdikan diri sebagai juru masak pesantren.

Sebagaimana anaknya, beliau pun juga sudah wafat.

Dalam tulisan ini, saya bersaksi bahwa almarhum Qosim adalah Santri yang baik dan cerdas.

InsyaAllah beliau syahid dalam menuntut ilmu dan dakwah.

Atas nama pribadi saya memohon maaf yang sedalam-dalamnya kepada pihak keluarga beliau atas peristiwa itu.

Semoga kelak, saya dan almarhum Qosim serta keluarga beliau dikumpulkan Allah di janah-Nya.

 

Sukoharjo, 12 Agustus 2022.

Khoierul Umam Al-Basyir, Alumni Darusy Syahadah Angkatan Kedua tahun 1999.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami