BerandaKonsultasiFikihHukum Mengaqiqahi Bayi yang Sudah Meninggal

Hukum Mengaqiqahi Bayi yang Sudah Meninggal

- Advertisement -spot_img

Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Pertanyaan :

Apakah bayi yang sudah meninggal usia lima bulan itu wajib diaqiqahi?

(Muhammad Yasin – Sumenep)

Jawaban :

Wassalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakatuh

Mengaqiqahi anak yang meninggal dan sudah berumur lebih dari tujuh hari, para ulama berbeda pendapat mengenai hukum aqiqahnya sebagai berikut :

Pendapat pertama adalah pendapat Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa aqiqah untuk anak yang sudah meninggal hukumnya wajib secara mutlak. (al-Muhalla, vol. 6, hlm. 234)

Kedua, sunnah hukumnya melaksanakan aqiqah dalam keadaan tersebut. Pendapat ini adalah salah satu dari dua versi pendapat madzhab Syafi’i sebagaimana yang disebutkan oleh Ar-Rafi’i, sekaligus sependapat dengan madzhab Hambali (asy-Syarh al-Mumti’, vol. 7, hlm. 540)

Pendapat ketiga, jika anak dalam keadaan sudah meninggal maka gugur hukum mengaqiqahinya. Pendapat ini merupakan versi lain dari pendapat madzhab Syafi’i yang juga merupakan pendapat madzhab Maliki. (al-Majmu’ :  vol. 8, hlm. 432, al-Muntaqa : vol. 4, hlm. 200)

Dari perbedaan pendapat di atas, pendapat yang paling rajih (kuat) adalah pendapat kedua yang menyatakan bahwa disunnahkan mengaqiqahi anak meskipun sudah meninggal. Alasan pertarjihanny adalah sebegai berikut:

Pertama, Para fuqaha sepakat bahwa kelahiran anak menjadi sebab pelaksanaan aqiqah untuk anak. Maka dari sinilah, pelaksanaan aqiqah itu masih tetap ada meskipun keadaan anak sudah meninggal. Sehingga pendapat yang mengatakan gugurnya pelaksanaan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal adalah pendapat yang lemah karena alasan tersebut. (al-Mufashshol fi Ahkam al-‘Aqiqah, hlm. 147)

Dalam kaidah fiqih disebutkan :

زَوَالُ الأَحْكَامِ بِزَوَالِ أَسْبَابِهَا

Tiadanya hukum disebabkan oleh tiadanya sebab-sebab pelaksanaan hukumnya” (Izzuddin bin Abdis Salam, Qowa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, vol. 2, hlm. 3)

Maka mafhum mukholafah dari kaedah di atas dapat disimpulkan bahwa selama sebab itu ada, maka akibat hukumnya – yaitu pelaksanaan aqiqah- tetap ada dan tidak gugur.

Kedua, pendapat pertama yang mewajibkan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal, juga merupakan pendapat yang lemah. Hal ini dikarenakan kesimpulan hukum berdasarkan lafal perintah Nabi “amarahum” (beliau memerintahkan mereka) yang dari kata tersebut menunjukkan sesuatu yang wajib, sehingga hukum aqiqahnya menjadi wajib menurut ulama Zhahiriyah. (Ash-Shan’ani, Subul as-Salam, vol. 4, hlm. 97-98)

Pendapat kedua ini tidak tepat, dikarenakan ada redaksi hadits lain mengenai aqiqah yang mengindikasikan perintah di atas bukanlah wajib melainkan sunnah. Redaksi lain tersebut mengaitkan pelaksanaan aqiqah dengan kesukaan (mahabbah) dari mukallaf (ayah anak). Seandainya aqiqah itu hukumnya wajib, niscaya tidak dikaitkan dengan kesukaan mukallaf, meliankan harus dilakukan baik dalam keadaan yang disukai mukallaf maupun tidak. (Imam An-Nawawi, al-Majmu’, vol. 8, hlm. 426)

عن عمرو بن شعيب عن أبيه عن جده ” قال سئل رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم عن العقيقة فقال لا أحب العقوق وكأنه كره الاسم فقالوا يا رسول الله إنما نسألك عن أحدنا يولد له قال من أحب منكم أن ينسك عن ولده فليفعل عن الغلام شاتان مكافأتان وعن الجارية شاة “

Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya berkata, “Rasulullah -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam-  pernah ditanya mengenai Aqiqah, lalu beliau menjawab, “Saya tidak menyukai istilah “al-‘Uquq” , seakan-akan beliau membenci penamaan tersebut. Lalu para sahabat bertanya kembali, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya yang kami tanyakan kepada anda adalah mengenai salah satu di antara kami yang anaknya lahir. Maka beliau bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang ingin menyembelih aqiqah untuk kelahiran anaknya maka hendaklah ia melakukannya, dua kambing yang setara untuk anak laki-laki, dan satu kambing untuk anak perempuan.” (HR. Ahmad 2/182, Abu Dawud no. 2742, dan An-Nasa’i 7/626)

Berdasarkan dua alasan tersebut, maka pendapat yang paling kuat (rajih) adalah yang tetap mensunnahkan aqiqah untuk anak walaupun anaknya sudah meninggal. Imam Nawawi berkata,”Kalau sekiranya anak yang dilahirkan meninggal setelah hari ketujuh dan setelah adanya kemampuan untuk menyelembelih aqiqah, maka di sini ada dua pendapat sebagaimana disebutkan oleh Imam Rafi’i; yang pertama dan ini yang paling sahih, yakni tetap mustahab (sunnah) untuk mengaqiqahi anak tersebut” (al-Majmu’, 8/432). Wallahu ‘Alam bish Showab. [azzam -ed]

Artikel ini merupakan jawaban dari Tim Syar’i Pondok Pesantren Darusy Syahadah

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami