BerandaKajianAkidahKonsep Iradah Syar'iyah dan Kauniyah Dalam Islam

Konsep Iradah Syar’iyah dan Kauniyah Dalam Islam

- Advertisement -spot_img

Kajian Maqashid Syari’ah: Keburukan Kehendak Siapa?
Penulis Azzam Elmahdie

Salah satu wacana yang sering menjadi pembicaraan dan perdebatan di kalangan kaum muslimin dalam masalah akidah adalah perkara takdir baik dan buruk. Hal ini seringkali menjadi sumber kesalahpahaman di kalangan umat Islam, terutama di antara mereka yang memiliki pandangan ekstrem.

Seperti pandangan Jabariyah yang meyakini bahwa segala sesuatu terjadi sesuai dengan kehendak mutlak Allah ﷻ, dan pandangan Qodariyah yang menolak ketetapan takdir sepenuhnya serta mengklaim bahwa semua makhluk tidak terkait dengan kehendak dan takdir yang telah ditetapkan oleh Allah ﷻ.

Berbeda dengan kedua pandangan tersebut, Ahlu Sunnah mengambil sikap pertengahan. Mereka berpandangan bahwa tidak semua kehendak baik dan buruk yang terjadi pada makhluk dapat dinisbatkan kepada Allah ﷻ, yang memberikan kesan bahwa semua kejadian baik dan buruk terjadi atas takdir Allah ﷻ semata.

Meski demikian, bukan berarti Ahlu Sunnah menolak konsep takdir. Sebab mereka berkeyakinan bahwa setiap mukallaf (individu yang telah terbebani syariat) diberi kebebasan untuk memilih. Dengan kebebasan tersebut, mereka dapat memilih untuk mengikuti jalan yang benar atau bahkan sebaliknya.

Iradah Syar’iyah dan Iradah Kauniyah

Berbicara mengenai kehendak buruk berpihak kepada siapa, maka hal itu tidak terlepas dari pembahasan mengenai iradah syar’iyah dan iradah kauniyah. Sebab segala kejadian dan peristiwa mempunyai keterkaitan dengan sebab-musabab dari makhluk dan juga tidak kehendak Allah ﷻ.

Sehingga dengan demikian pemahaman berkenaan dengan iradah syar’iyah dan iradah kauniyah perlu diketahui lebih lanjut agar tidak menghasilkan pemahaman yang keliru dari awal.

Para ulama pengkaji dan peneliti dari kalangan Ahlu Sunnah menyimpulkan bahwa iradah dalam kitabullah ada dua macam, yaitu iradah diniyah amriyah syar’iyah dan iradah qadariyah kauniyah khalqiyah .

Iradah syar’iyah secara bahasa adalah segala adalah segala hal yang mencakup rasa cinta dan keridhaan. Sedangakan iradah kauniyah adalah kehendak yang mencakup segala apa yang ada.

Sebagaimana Allah ﷻ berfirman

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلإِسْلامِ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ  [الأنعام:125]

“Barangsiapa dikehendaki Allah akan mendapat hidayah (petunjuk), Dia akan membukakan dadanya untuk (menerima) Islam. Dan barangsiapa dikehendaki-Nya menjadi sesat, Dia jadikan dadanya sempit dan sesak, seakan-akan dia (sedang) mendaki ke langit. Demikianlah Allah Menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al-An’am: 125)

Adapun dalil yang menunjukkan iradah syar’iyah seperti dalam firman-Nya

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ

Allah Menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak Menghendaki kesukaran bagimu. (QS. Al-Baqarah: 185)

Maksud dari iradah tersebut, sebagaimana yang dikatakan orang-orang kepada pelaku kejelekan, “Perbutan yang dilakukan ini bukanlah yang dikehendaki Allah.” Maksudnya adalah perbutan tersebut bukanlah yang dicintai, diridhai, dan tidak pula yang diperintahkan oleh-Nya.[1]

Adapun maksud dari iradah kauniyah yaitu iradah yang sering disebut-sebut dalam perkataan kaum Muslimin bahwa, “Apa yang Allah ﷻ kehendaki pasti terjadi, dan apa yang Dia tidak kehendaki tidak akan terjadi.”[2]

Perbedaan Iradah Syar’iyah dan Iradah Kauniyah

Perbedaan antara kedua iradah di sini adalah; bahwa iradah kauniyah pasti ada maksud pada iradah tersebut. Maka setiap apa saja yang dikehendaki Allah baik itu ada sebab atau secara kebetulan, maka hal itu pastilah ada atau terjadi.

Hanya saja hal tersebut bisa jadi merupakan apa yang disukai oleh-Nya atau tidak disukai.[3] Sedangkan apa yang dikehendaki oleh-Nya secara syar’i dan perhitungan-Nya, maka tidak akan terjadi.

Dengan demikian, maka ketaatan kepada Allah dan amal shaleh yang dikehendaki oleh-Nya merupakan apa yang dikehendaki oleh-Nya secara syar’i dan perhitungan-Nya untuk semua makhluk yang Allah sukai dari mereka. Akan tetapi hal itu terkadang terjadi pada sebagian makhuk dan tidak terjadi pada sebagian yang lain.[4]

Iradah qadariyah tidak selalu berkaitan dengan kecintaan dan keridhaan-Nya. Seluruh kejadian yang terjadi di alam ini baik yang diridhai atau yang tidak diridhai-Nya seperti ketaatan dan kemaksiatan, keimanan dan kekafiran adalah merupakan kehendak Allah ﷻ.

Karena terkadang Allah juga menghendaki terjadinya sesuatu yang tidak diriddai-Nya, seperti menciptakan iblis, menghendaki adanya kekafiran dan kemaksiatan. Hal ini Allah kehendaki karena adanya suatu hikmah yang Allah kehendaki pula.

Adapun dalam iradah syar’iyah selalu berkaitan dengan masalah kecintaan dan keridhaan-Nya. Apa yang dikehendakinya dalam syari’at adalah apa yang diridhai-Nya. Apa yang Allah perintahkan, seperti ketaatan, rasa syukur, amal shalih dan lainnya adalah merupakan hal yang dicintai dan diridhai-Nya.

Sebaliknya apa yang Allah larang seperti kemasiatan dan kekafiran adalah merupakan hal yang dibenci-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Jika kalian kafir, maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan kalian dan Dia tidak meridlai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridlai bagimu kesyukuran kalian itu… “(QS. Az-Zumar: 7)

Apa yang Allah kehendaki dalam iradah qadariyah, maka hal itu pasti akan terjadi, karena berkaitan dengan takdir yang telah Allah tetapkan sebelum diciptakannya langit dan bumi. Allah ﷻ berfirman, “…Jikalau Rabb-mu menghendaki, niscaya mereka tidak mengerjakannya, maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS.Al-An’aam: 112).

Adapun apa yang Allah kehendaki dalam iradah syar’iyah karena merupakan perintah, tentu berkaitan dengan ketaatan para hamba-Nya. Sehingga ada di antara mereka yang taat, dan ada pula yang bermaksiat kepada-Nya.

Allah ﷻ berfirman, “Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah….“(QS. An-Nisaa’: 64) Maka dengan ayat ini Allah menghendaki agar manusia taat kepada rasul-Nya yang diutus-Nya (iradah syar’iyah).

Namun di antara manusia ada yang mentaati kehendak Allah dan ada pula yang menentangnya (iradah qadariyah).

Allah ﷻ berfirman, “Dan sungguh Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut itu. Maka di antara umat itu ada orang-orang yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula di antaranya orang-orang yang telah pasti kesesatan baginya. Maka berjalanlah kalian di muka bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan (para rasul).’” (QS. An-Nahl: 36)

Kesesatan Aliran Qadariyah dan Jabariyah

Terhadap iradah syari’yah dan iradah qadariyah ini, Ahlus Sunnah mengimani keduanya, hingga mereka berada di atas jalan yang lurus dan selamat dari penyimpangan dan kesesatan.

Hal ini berbeda dengan aliran sesat Qadariyah. Kelompok ini mempercayai adanya Iradah syar’iyah, namun mengingkari adanya iradah qadariyah. Padahal beriman kepada takdir baik atau buruk adalah merupakan salah satu rukun dari rukun-rukun iman.

Mereka beranggapan bahwa Allah tidak mungkin menakdirkan hal-hal yang tidak dicintai-Nya. Aqidah mereka ini sama seperti keyakinan agama Majusi yang berkeyakinan bahwa Tuhan terang hanya menciptakan kebaikan saja. Adapun kejelekan-kejelekan diciptakan oleh Tuhan gelap.

Sebaliknya aliran Jabriyah, kelompok ini meyakini adanya iradah qadariyah, tapi mengingkari adanya iradah syar’iyah. Sehingga mereka berpendapat bahwa semua yang telah ditakdirkan oleh Allah berarti dicintai dan diridlai-Nya.

Dengan keyakinan ini, mereka menganggap bahwa orang kafir dan mukmin sama dalam ketaatannya kepada Allah, karena keduanya menjalani kehendak Allah. Maka dengan keyakinan sesat ini pula mereka telah menggugurkan syariat sama sekali.

Mereka tidak menyalahkan orang kafir dan tidak pula memuji orang mukmin, karena –bagi mereka- keduanya sedang menjalankan kehendak Allah.[5]

Demikianlah kesesatan Qadariyah dan Jabriyah dalam memahami sifat iradah dan masyi’ah bagi Allah. Sedangkan Ahlus Sunnah berada di tengah-tengah antara kedua kelompok tersebut. Ahlus Sunnah mengimani adanya iradah qadariyah dengan tetap berusaha mengikuti kehendak Allah yang syar’i yaitu iradah syar’iyah[6].

Syubhat “Kepada Siapakah Kehendak Buruk Berpihak”

Adanya syubhat yang diperselisihkan antara orang-orang yang meniadikan takdir buruk dengan mengatakan bahwa Allah ﷻ tidak layak untuk dikatakan bahwa Dia adalah yang menghendaki keburukan ataupun pelakunya, karena Allah ﷻ tidak menghendaki kejelekan dan sekaligus menjadi pelakunya[7].

Dalam pembahasan ini, Ahlus Sunnah mengambil sikap bahwa takdir Allah itu tidak ada yang buruk dari segala aspeknya, karena ilmu Allah, kekuasaan, ketetapan, dan kehendak-Nya itu adalah baik secara mutlak, dan sempurna dari segala aspeknya.

Maka dengan demikian keburukan atau kehendak jelek tidak dinisbatkan kepada Allah ﷻ baik dari sisi manapun, tidak pada dzat-Nya, asma’ dan sifat-Nya, tidak pula dalam segala perbuatan-Nya.

Hanya saja kejelekan itu masuk dalam kategori bagian yang dinisbatkan pada hal-hal yang perlu dikategorikan dalam hal takdir, sehingga kejelakan itu dinisbatkan kepada suatu keadaan dan kebaikan dinisbatkan kepada keadaan yang lain, dan bisa jadi menjadi kebaikan tergantung kepada siapa pelaku itu dinisbatkan[8].

Allah ﷻ berfirman

وَإِن تُصِبْهُمْ حَسَنَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِ اللّهِ وَإِن تُصِبْهُمْ سَيِّئَةٌ يَقُولُواْ هَـذِهِ مِنْ عِندِكَ قُلْ كُلًّ مِّنْ عِندِ اللّهِ فَمَا لِهَـؤُلاء الْقَوْمِ لاَ يَكَادُونَ يَفْقَهُونَ حَدِيثاً -٧٨- مَّا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِن سَيِّئَةٍ فَمِن نَّفْسِكَ وَأَرْسَلْنَاكَ لِلنَّاسِ رَسُولاً وَكَفَى بِاللّهِ شَهِيداً -٧٩- (النساء : 78 -79)

“Jika mereka memperoleh kebaikan, mereka mengatakan, “Ini dari sisi Allah”, dan jika mereka ditimpa suatu keburukan mereka mengatakan, “Ini dari engkau (Muhammad).” Katakanlah, “Semuanya (datang) dari sisi Allah.”

Maka mengapa orang-orang itu (orang-orang munafik) hampir-hampir tidak memahami pembicaraan (sedikit pun). Kebajikan apa pun yang kamu peroleh, adalah dari sisi Allah, dan keburukan apa pun yang menimpamu, itu dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami Mengutusmu (Muhammad) menjadi Rasul kepada (seluruh) manusia. Dan cukuplah Allah yang menjadi Saksi.” (QS. An-Nisa’: 78-79)

Telah diketahui bahwasanya Allah ﷻ telah membedakan antara al-hasanat (kebajikan) – yang merupakan kenikmatan- dan antara  as-sayyiat (kejelekan)- yang merupakan musibah- dan menjadikan sebagiannya itu berasal dari Allah ﷻ, dan menjadikan sebagian yang lain dari manusia itu sendiri.

Karena kebajikan itu dinisbatkan kepada Allah saja, karena Dia-lah yang layak untuk disebut paling baik dari segala aspek. Adapun kejelekan, Allah menciptakannya karena ada hikmahnya, yaitu agar manusia bisa mengambil pelajaran dari hikmah tersebut yang merupakan wujud ihsan Allah kepada hamba-Nya.

Karena Allah ﷻ tidak melakukan kejelekan sama sekali, tetapi justru melakukan semua hal yang merupakan kebaikan dan kebajikan.[9] Oleh karena itu Nabi ﷺ bersabda dalam sebuah pembukaan

والخير كله بيديك والشر ليس إليك

“Dan kebaikan itu semuanya ada di tangan-Mu, sedangkan kejelekan bukanlah berasal dari-Mu.” (HR. Muslim & Abu Daud).

Maksud dari hadits di atas adalah bahwa Allah ﷻ tidak menciptakan kejelekan secara murni, akan tetapi setiap apa yang Dia ciptakan, maka di dalamnya pasti ada hikmah, yaitu bisa mengambil pelajaran darinya (kejelekan) adalah merupakan kebaikan.

Akan tetapi terkadang ada kejelekan yang dilakukan oleh sebagian manusia, maka inilah yang dinamakan kejelekan juz’i idhafi (kejelekan sebagian yang disandarkan), adapun kejelekan yang bersifat universal ataupun mutlak, maka Allah ﷻ Maha Suci dari semua hal ini. Karena kejelekan ini tidak dinisbatkan kepada-Nya.

Sehingga bisa diambil kesimpulan bahwa kejelekan itu tidak dinisbatkan kepada Allah ﷻ semata, akan tetapi adakalanya masuk dalam kategori keumuman semua makhluk-Nya.[10]

Referensi

[1] Ibnu Jibrin, Syarhu al-Aqidah at-Thohawiyah, vol. 10, hlm. 11

[2] Ibid.

[3] Ibid, hlm. 12

[4] Ibid.

[5] Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf, Edisi: 53/Th. II, 30 Muharram 1426 H/11 Maret 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Sifat Iradah dan Masy’iah Bagi Allah”.

[6] Ibid.

[7] Ibn al-Qoyim al-Jauzi, Syifa’ al-Alil fi Masa’il al-Qadha’ wa al-Qodr wa al-Hikmah  wa at-Ta’lil,  (Bairut : Dar al-Ma’rifah : 1398 H/ 1978 M) vol. I, hlm. 27.

[8] Ibid, hlm. 269

[9] Ali ibn Abi al-Izz, al-Minhah al-Ilahiyah fi Tahdzhib Syarh at-Thohawiyah, (Bairut : Dar Ibn al-Jauzi: 1995), hlm. 333-334.

[10] Ibid.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami