BerandaRenunganSejarahMemahami Praktek Dakwah Nabi

Memahami Praktek Dakwah Nabi

- Advertisement -spot_img

Dakwah NabiRasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah sosok pribadi yang sempurna bagi kaum muslimin dalam berbagai aspek. Beliau tidak hanya sekedar paham akan hukum–hukum Islam yang diwahyukan kepadanya, akan tetapi beliau juga ahli dalam berbagai bidang lainnya, baik dalam hal ke-pemerintahan, perpolitikan, ekonomi, sosial budaya ataupun hal-hal yang diaggap remeh lainnya. Kenyataan ini bisa dilihat bagaimana Rasulullah shallahalalhualaihiwasallam membangun gerakan dakwah yang semasa itu adalah merupakan hal yang sangat luar biasa, beliau membagi dakwah melalu dua fase, fase sirriyah dan fase jahriyah. Setelah dakwah tersebut selesai, beliau memobilisasi para sahabat agar hijrah ke Madinah untuk membentuk sebuah kekuatan yang dengannya kaum muslimin dapat hidup independen tanpa ada batasan-batasan dari pihak negara lain.

Kalau kita mau memperhatikan metode dakwah Rasulullah shallahalalhualaihiwasallam, maka kita akan mendapatkan suatu hal yang sangat luar biasa. Misalnya, strategi dakwah  sirriyah, beliau melakukan ini  karena beliau sangat paham betul dengan karakter musyrikin Quraisy. Mereka bersedia untuk berperang dan mati untuk mempertahankan kepercayaan mereka. Mereka akan menghukum dan menyerang orang-orang yang mencela keyakinan dan sembahan mereka. Karena itulah, Nabi Muhammad memilih dakwah secara sembunyi-sembunyi kepada keluarga dan kerabat beliau serta pembesar-pembesar Quraisy yang akhirnya nanti menjadi tameng pertahanan beliau selama dakwah di Mekah. Hal ini bisa dilihat dari sikap pamannya Abu Thalib, walaupun dia tidak mau masuk Islam akan tetapi beliau komitmen akan melindungi dakwah Rasul dari ancaman pemuka Quraisy selama dia masih hidup.

Selain beliau mendapat jaminan keamanan dari pamannya, beliau juga sukses dalam menarik jargon-jargon Quraisy dalam taraf waktu yang sangat singkat yaitu Khadijah radhiallahu ‘anha, seorang wanita kaya raya yang akhirnya menjadi istri beliau, Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu seorang laki-laki yang ahli dalam peperangan, Abu Bakar As Siddiq radhiallahu ‘anhu seorang hartawan yang dari tangan beliaulah banyak pembesar-pembesar Quraisy lainnya masuk Islam dan Zaid bin Haritsah radhiallahu ‘anhu walaupun beliu seorang budak akan tetapi sebenarnya beliau adalah anak dari saudagar yang kaya. Dari nama-nama itulah yang akhirnya mereka mendapat gelar assabiqunalawwalun.

Setelah dakwah Sirriyah selesai, beliau mendakwahkan Islam secara terang-terangan kepada lapisan masyarakat Mekah. Dakwah tersebut beliau lakukan kepada kabilah-kabilah sekitar mekah seperti Tha’if, Bani Kalb, Bani Hanifah, dan lain sebagainya. Dakwah beliau juga disampaikan kepada para jamaah haji yang setiap tahun berkunjung ke Mekah serta kepada saudagar-saudagar dari negara-negara tetangga yang melakukan perdagangan. Berangkat  dari fase inilah, dakwah beliau mulai mendapat dukungan dan perhatian, terutama ketika beliau berhasil mendapat dukungan dari penduduk Madinah, yang akhirnya mereka melakukan sumpah setia di hadapan Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk selalu taat dan patuh yaitu Bai’ataqabah.

Pembentukan Kekuatan

Setelah berdakwah selama tiga belas tahun di Mekah dan kabilah-kabilah sekitarnya, Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam telah cukup berhasil membentuk keimanan dan mental yang tangguh dalam diri para rijal sebagai penyangga dakwah Islam. Hal ini terus beliau lanjutkan dengan membentuk sebuah komunitas yang islami dengan tatanan sosial yang lebih baik, oleh karena itu masyarakat muslim awal memerlukan suatu daerah yang mampu memberikan perlindungan  bagi mereka sekaligus tempat untuk membentuk kawasan percontohan komunitas muslim yang ideal.

Setelah mendapat  izin dari Allah, akhirnya beliau dan para sahabat lainnya melakukan hijrah ke Yatsrib. Selain untuk menghindar dari siksaan, fitnah dan cacian dari kafir Quraisy, beliau bertujuan untuk membentuk masyarakat baru di dalam negeri yang aman. Oleh karena itu beliau mewajibkan bagi muslim yang mampu untuk ikut andil dalam hal ini.

Akan tetapi setelah kondisi keamanan dan sosial kaum muslimin di Madinah mulai membaik, beliau tidak serta merta melakukan konfrontasi bersenjata dengan orang-orang kafir Quraisy yang telah menindasnya, bahkan Allah subhanahu wa ta’ala mewahyukan agar menahan tangan-tangan mereka dari perang. Kondisi yang demikian agaknya menjadikan beberapa sahabat sedikit ghill lantaran perbuatan musuh yang membabi buta, membunuh dan menyiksa pada waktu di Mekah, sedangkan kondisi kaum muslimin saat itu dilihat mental dan kemiliterannnya sudah cukup siap untuk melakukan konfrontasi, di sana didapatkan Hamzah bin Abi Thalib, Umar bin Khattab seorang komandan terkenal militer di mekah dan lain sebagainya serta beberapa tokoh lainnya.

Pada saat inilah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tampil sebagai pemimpin. Beliau tidak hanya menuruti tuntutan darah, akan tetapi beliau mempunyai pandangan lebih jauh dari pada apa yang dipahami oleh para sahabatnya. Dari hal inilah yang akan memberikan efek besar dan kemaslahan kepada kaum muslimin pada suatu hari nanti. Beliau memandang konfrontasi pada saat itu belum tepat karena beberapa hal:

  1. Sebagai bentuk pengaplikasian ayat larangan untuk berperang kepada orang kafir.
  2. Beliau merasakan masih didapatkan di dalam diri para sahabat unsur balas dendam atas apa yang dialaminya selama di Mekah. Unsur yang demikian ini selain dilarang di dalam Islam, ia juga sangat membahayakan eksistensi jihad karena tidak berangkat dari kesadaran
  3. Dalam dunia peperangan sekali seseorang melakukan konfrontasi berarti ia harus siap untuk melakukan konfrontasi-konfrontasi berikutnya. Karena itulah beliau lebih mempersiapakan kondisi kaum muslimin yang lebih matang, terlebih lagi apabila dilihat dari sosial politik negara Mekah yang mempunyai sekutu dari beberapa imperium lainnya, dan hal ini penting untuk dipertimbangkan.
  4. Beliau memandang dakwah secara lebih luas dan jauh ke depan, tidak hanya terbatas pada Mekah dan sekitarnya yang merupakan bagian kecil dari dunia lainnya.
  5. Jihad disyari’atkan tidak hanya memberikan kepuasan yang sementara, akan tetapi disyari’atkan untuk menegakkan kalimat Allah di muka Bumi.

Berangkat dari tolak ukur inilah beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam mengurungkan sementara adanya konfrontasi dengan orang kafir. Selain sebagai kemaslahatan kaum muslimin juga sebagai bentuk pentarbiyahan kepada para sahabatagar selalu sabar dalam menjalankan segala hal yang diajarkan oleh Allah melalui Rasul-Nya.

Hal ini sangat bertolak belakang dengan apa yang terjadi pada zaman sekarang ini, kebanyakan aktivis dakwah mereka berfikir sempit dan literal tanpa ada pandangan yang lebih jauh dan tanpa melakukan pertimbangan-pertimbangan sosial yang akan diakibatkan. Sekali mendapatkan kesempatan untuk melakukan konfrontasi mereka langsung memanfaatkannya tanpa ada kajian yang lebih mendalam, sehingga amaliyah-amaliyah yang sering dilakukan oleh mereka justru dimanfaatkan musuh untuk menyebarkan isu keburukan tentang Islam sendiri. Waallahu ‘a’lam bish al-shawab.

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami