Daftar Isi
Khutbah Idul Adha 1446 H
Khutbah Pertama
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلِّلَّهِ اْلحَمْدُ.
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِالله ِمِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا, مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أَمَّا بَعْدُ…
فَيَا عِبَادَ اللهِ أُوصِيكُمْ وَإِيَّايَ نَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ, فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُونَ الْمُتَّقُونَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِي كِتَابِهِ اْلكَرِيمِ:{يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُّسْلِمُونَ}.
وَقاَلَ تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ)
Puji syukur kita panjatkan kepada Allah Ta’ala atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya yang tak terbilang. Dengan izin dan karunia-Nya semata kita bisa melaksanakan shalat Idul Adha pada tahun 1446 H ini dalam keadaan fisik yang sehat dan kondisi yang lapang. Semoga nikmat kesehatan, waktu luang, dan kelapangan ini bisa kita syukuri sebaik-baiknya, untuk memelihara dan meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita di hadapan Allah Ta’ala.
Shalawat dan salam senantiasa kita panjatkan untuk suri tauladan kita, Rasulullah ﷺ, beserta segenap keluarganya, sahabatnya, dan umatnya yang sabar menjalankan ajaran agamanya.
Kaum muslimin dan muslimat, jama’ah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah Ta’ala…
Di pagi hari yang mulia ini, kaum muslimin di seluruh dunia melantunkan takbir, tahlil, dan tahmid, demi mengagungkan Allah dan mensyukuri nikmat-Nya. Pada pagi hari ini, takbir, tahlil, dan tahmid dilantunkan oleh jutaan jama’ah haji yang sedang melaksanakan manasik di Mina. Kumandang takbir, tahlil, dan tahmid juga dilantunkan oleh milyaran kaum muslimin di berbagai penjuru dunia, di wilayah pedesaan dan perkotaan, di wilayah pantai dan pegunungan, di wilayah ramai dan pedalaman.
Takbir, tahlil, dan tahmid tidak akan berhenti dengan selesainya shalat Idul Adha. Takbir, tahlil, dan tahmid akan terus dilantunkan oleh seluruh kaum muslimin sampai waktu Ashar tanggal 13 Dzulhijah esok. Selama hari raya Idul Adha dan tiga hari tasyriq esok, gema takbir, tahlil, dan tahmid akan terus berkumandang dari masjid-masjid, jalan-jalan, pasar-pasar, dan rumah-rumah kaum muslimin. Demikianlah sebagaimana diamalkan oleh Rasulullah ﷺ dan generasi sahabat selama hari raya Idul Adha dan hari-hari tasyriq.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illallahu, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil hamdu….
Jama’ah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah Ta’ala…
Ibadah haji, shaum Arafah, shalat Idul Adha, dan udhiyah (yaitu menyembelih hewan ternak tertentu untuk mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala pada tanggal 10, 11 12, dan 13 Dzulhijah) kembali menyapa kaum muslimin pada tahun ini. Setiap tahun, keempat ibadah yang istimewa ini hadir di hadapan kaum muslimin. Setiap tahun keempatnya berulang datang.
Pengulangan demi pengulangan tersebut seharusnya meninggalkan bekas yang mendalam bagi keimanan dan ketakwaan kita. Bukan sebaliknya, kehadiran demi kehadirannya menjadikannya peristiwa yang kita anggap biasa saja. Akibatnya, datang dan pergi begitu saja, tanpa ada manfaat bagi dunia dan akhirat kita, tanpa ada maslahat bagi pribadi kita dan umat kita.
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illallahu, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil hamdu….
Ibadah-ibadah istimewa di bulan suci Dzulhijah ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah kehidupan Nabiyullah Ibrahim, Nabiyullah Ismail, dan ibunda Hajar. Jika kita mencermati dan merenungi sejarah mereka dengan seksama, niscaya kita bisa memetik banyak pelajaran berharga untuk meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita.
Salah satu pelajaran terpenting yang bisa petik dari sejarah kehidupan mereka adalah memahami bahwa hakikat ajaran agama Islam adalah al-istislaam lillah. Yaitu berserah diri sepenuhnya kepada perintah dan larangan Allah Ta’ala. Berserah diri sepenuhnya kepada agama Allah dan syariat-Nya. Menerima sepenuh jiwa pedoman hidup yang diturunkan-Nya kepada Nabi dan Rasul-Nya, Muhammad ﷺ sang penutup seluruh nabi dan rasul.
Nabi Ibrahim dan Ismail telah memberikan contoh keteladanan dalam berserah diri kepada Allah Ta’ala semata. Saat mendapat perintah untuk menyembelih sang anak, Ismail AS, Ibrahim sang bapak melaksanakannya dengan penuh keikhlasan dan kepasrahan. Demikian pula Ismail menerimanya dengan kelapangan hati dan kepasrahan jiwa kepada Allah semata. Allah mengabadikan kepasrahan jiwa keduanya kepada Allah, dengan firman-Nya:
فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ
Maka ketika keduanya telah menyerahkan diri kepada Allah dan ia (Ibrahim) membaringkan anaknya (Ismail) pada dahinya. (Ash-Shâffât [37]: 103)
Imam Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari dalam tafsirnya, Jâmi’ Al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi Al-Qur’ân, berkata, ”Maknanya adalah keduanya menyerahkan urusannya kepada Allah semata, keduanya berserah diri kepada-Nya, keduanya bersepakat untuk menerima perintah Allah dan ridha dengan takdir-Nya.”
Ikrimah Maula Ibnu Abbas berkata, ”Keduanya berserah diri kepada perintah Allah, sang anak ridha untuk disembelih, dan sang bapak ridha untuk menyembelihnya.” (Ibnu Jarir Ath-Thabari, Jâmi’ Al-Bayân ‘an Ta’wîl Ayyi Al-Qur’ân, Juz XIX hlm. 583-584)
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Laa Ilaaha Illallahu, Allahu Akbar, Allahu Akbar, Walillahil hamdu….
Kepasrahan, ketundukan, dan penerimaan kepada perintah dan larangan Allah SWT tidak hanya ditampilkan oleh sang bapak dan sang anak. Sang bunda Hajar pun memberikan keteladanan yang tak kalah hebatnya. Seorang diri Hajar dengan penuh keikhlasan, kesabaran, dan ketabahan mengasuh bayinya, Ismail, di tengah padang pasir yang tandus, panas, tiada sumber air, tiada sumber makanan, tiada pepohonan tempat bernaung, dan tiada manusia lainnya.
Imam Al-Bukhari meriwayatkan sebuah hadits panjang dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang kisah perjuangan Hajar. Sang suami Ibrahim ‘alaihissalam membawa istrinya, Hajar, dan bayi laki-lakinya, Ismail, saat ibundanya dalam masa menyusuinya. Ibrahim alaihissalam menempatkan mereka di lembah Bakkah yang tandus, panas, dan sepi dengan hanya berbekalkan sekantung kurma dan sekantung air minum.
Lalu Ibrahim beranjak pergi, untuk kembali ke negeri Palestina. Maka Hajar mengikutinya di belakangnya, sembari bertanya,
يَا إِبْرَاهِيمُ، أَيْنَ تَذْهَبُ وَتَتْرُكُنَا بِهَذَا الوَادِي، الَّذِي لَيْسَ فِيهِ إِنْسٌ وَلاَ شَيْءٌ؟
”Wahai Ibrahim, engkau hendak pergi kemana? Apakah engkau akan meninggalkan kami di lembah ini, padahal di sini tiada seorang manusia pun, dan tiada suatu apa pun juga?”
Berulang kali pertanyaan itu diajukan oleh Hajar. Namun, Ibrahim menegarkan hatinya. Ia sama sekali tidak mau menoleh kepada Hajar, karena khawatir hatinya akan luluh dan tidak tega meninggalkan keduanya di lembah Bakkah. Akhirnya Hajar meminta satu ketegasan dari suaminya:
آللهُ الَّذِي أَمَرَكَ بِهَذَا
“Apakah Allah yang memerintahkanmu untuk melakukan hal ini?”
Maka Ibrahim pun menjawab, ”Ya.”
Mendengar jawaban itu, Hajar tidak berkeluh kesah sedikit pun. Jika Allah telah memerintahkan hal itu, maka nasib setelahnya harus diserahkan kepada Allah semata pula. Maka Hajar memberikan pernyataan yang menenteramkan hati suaminya:
إِذَنْ لَا يُضَيِّعُنَا
”Jika demikian, Allah pasti tidak akan menelantarkan kami.” (HR. Al-Bukhari: Kitab Ahadits Al-Anbiya’ Bab Yaziffun An-Nasalanu fil Masyi no. 3364)
Jama’ah shalat Idul Adha yang dimuliakan Allah Ta’ala…
Sungguh keimanan dan ketundukan Hajar kepada syariat Allah sangat luar biasa. Ia semula hanyalah seorang budak perempuan, yang dihadiahkan oleh raja kafir Mesir kepada Sarah. Sarah yang sampai usia tuanya belum juga hamil lantas memerdekakan Hajar dan mendorong suaminya, Ibrahim, untuk menikahinya. Dari pernikahan itu Hajar hamil dan melahirkan bayi laki-laki yaitu Ismail.
Jarak waktu antara ibunda Hajar dihadiahkan oleh raja Mesir dan Hajar melahirkan Ismail mungkin hanya satu atau dua tahun saja. Namun, ibunda Hajar telah berhasil meraih tingkat keimanan, kepasrahan, ketundukan, dan ketaatan kepada syariat Allah yang demikian tingginya. Sampai-sampai jejak susah payahnya di lembah Bakkah diabadikan dalam rangkaian ibadah haji dan umrah, yang dilaksanakan oeh milyaran kaum muslimin sejak zaman Nabi Ibrahim sampai zaman Nabi Muhammad ﷺ. Bahkan sampai zaman Imam Al-Mahdi dan Isa bin Maryam sebelum terjadinya hari kiamat kelak.
Ibunda Hajar telah mengajarkan kepada kita semua puncak keteladanan dalam masalah mengimani, menerima, dan mengamalkan sepenuh hati perintah-perintah Allah dan Rasul-Nya. Ibunda Hajar telah mengajarkan kepada kita hakikat dien Islam, yaitu ketundukan dan kepasarahan total hamba kepada syariat Allah Ta’ala.
Kita layak bertanya kepada diri kita masing-masing, kenapa kita yang lahir dari bapak-ibu yang muslim, hidup dalam lingkungan berpenduduk mayoritas muslim, dan bertahun-tahun mengkaji Islam…namun tingkat keimanan, ketundukan, kepasrahan, dan penerimaan kita terhadap syariat Allah Ta’ala masih sangat lemah? Betapa sering kita lebih tunduk patuh kepada bisikan setan, godaan hawa nafsu, godaan kenikmatan duniawi, atau ancaman orang-orang kafir dan munafik yang menghalang-halangi kita dari tunduk sepenuhnya kepada syariat Allah.
Padahal kisah nyata Ibrahim, Hajar dan Ismail telah membuktikan bahwa ketundukan sepenuhnya kepada syariat Allah akan mendatangkan keberkahan yang luar biasa besar, di dunia maupun akhirat. Ketundukan sepenuhnya kepada syariat Allah mengantarkan Ibrahim, Hajar, dan Ismail kepada kehidupan yang aman, makmur, sentosa, dan bahagia di dunia maupun akhirat. Ketundukan sepenuhnya kepada syariat Allah mengabadikan keteladanan mereka bagi seluruh kaum beriman di muka bumi.
Jama’ah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah Ta’ala…
Semoga kita bisa meneladani keimanan, ketundukan, kepasrahan, dan ketaatan Nabiyullah Ibrahim, Ismail, dan ibundanya Hajar terhadap syariat Allah.
Demikian sedikit uraian tentang beberapa pelajaran yang bisa kita petik dari ibadah haji, shaum Arafah, shalat Idul Adha, dan penyembelihan hewan ternak. Jika ada kebenaran dan kebaikan dalam uraian ini, maka hal itu dari Allah semata. Jika ada kekurangan dan kesalahan dalam uraian ini, maka hal itu dari setan dan dari diri pribadi kami, semoga Allah memaafkannya.
أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ. بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ.
وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)
بَارَكَ اللهُ لِي وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيمِ وَ نَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيهِ مِنَ اْلآيَاتِ و الذِّكْرِ اْلحَكِيمِ وَتَقَبَّلَ مِنِّي وَمِنْكُمْ تِلاَوَتَهُ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمِ. وَقُلْ رَبِّ اغْفِرْ وَارْحَمْ وَأَنْتَ أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ
Khutbah Kedua
اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ، اللهُ أَكْبَرُ، اللهُ أَكْبَرُ، وَلِّلَّهِ اْلحَمْدُ.
الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلَا أَنْ هَدَانَا اللَّهُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. أَمَّا بَعْدُ…
فَيَا عِبَادَ اللهِ… أُوصِيكُمْ وَإِيَّاي َنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ. فَقَدْ فَازَ الْمُؤْمِنُونَ الْمُتَّقُونَ. قَالَ الله تَعَالَى فِي كِتَابِهِ الْكَرِيمِ {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ}
Jama’ah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah Ta’ala…
Allah Ta’ala mensyariatkan penyembelihan hewan kurban untuk mencapai tujuan-tujuan yang agung. Minimal ada dua hikmah agung yang hendak diraih dari penyembelihan hewan kurban. Hikmah pertama adalah meningkatkan keimanan, ketaatan, dan ketakwaan kepada Allah Ta’ala. Dengan kata lain, memperbaiki dan meningkatkan kualitas hubungan vertikal antara seorang hamba dengan Allah Sang Maha Pencipta.
Tentang hikmah ini, Allah Ta’ala berfirman,
لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. (Al-Hajj [22]: 37)
Hikmah kedua adalah menunjukkan simpati, kepedulian, solidaritas, dan persaudaraan dengan sesama muslim yang mengalami kesulitan dalam hidupnya. Memberi daging kepada orang-orang fakir dan miskin, yang mengalami kesulitan ekonomi. Menggembirakan hati mereka yang berasal dari golongan ekonomi lemah ke bawah. Dengan kata lain, memperbaiki hubungan horisontal dengan sesama hamba Allah.
Tentang hikmah ini, Allah Ta’ala berfirman,
لِيَشْهَدُوا مَنَافِعَ لَهُمْ وَيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ فِي أَيَّامٍ مَعْلُومَاتٍ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ الْأَنْعَامِ فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
Supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah ditentukan atas rezeki yang Allah telah berikan kepada mereka berupa binatang ternak. Maka makanlah sebahagian daripadanya dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir. (Al-Hajj [22]: 28)
Dalam ayat di atas, Allah Ta’ala memperkenankan orang-orang yang menyembelih hewan kurban untuk mengambil dan memakan sebagian daging hewan sembelihannya. Namun, Allah juga memerintahkan untuk memberikan dan membagikan sebagian lainya kepada orang-orang fakir dan miskin. Allah Ta’ala berfirman,
وَأَطْعِمُوا الْبَائِسَ الْفَقِيرَ
dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara lagi fakir.
Imam Muhammad Thahir bin ‘Asyur (w. 1393 H) dalam tafsirnya menjelaskan bahwa al-bâis adalah orang yang ditimpa oleh bu’s, yaitu kesulitan harta, kesulitan ekonomi. Maka makna al-bâis dalam ayat ini adalah orang yang miskin.
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma menjelaskan perbedaan al-bâis dan al-faqîr dalam ayat itu sebagai berikut. Al-Bâis adalah orang miskin, yang kesulitan ekonominya nampak terlihat pada raut wajah dan pakaiannya. Adapun al-faqîr adalah orang miskin, yang kesulitan ekonominya tidak nampak terlihat pada raut wajah dan pakaiannya. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, Juz VII hlm. 387)
Dalam ayat yang lain Allah Ta’ala juga berfirman,
فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
Kemudian apabila unta sembelihan itu telah roboh (mati), maka makanlah sebagiannya dan beri makanlah orang miskin yang rela dengan apa yang ada padanya (yang tidak meminta-minta) dan orang miskin yang meminta. (Al-Hajj [22]: 36)
Bagi jama’ah haji, menyembelih hewan kurban (hadyu) adalah bagian dari kewajiban haji. Apa hukum jama’ah haji memakan sebagian daging hadyu yang disembelihnya? Imam Malik dan Ahmad bin Hambal menyatakan hukumnya boleh. Imam Abu Hanifah menyatakan boleh memakan sebagian dagingnya apabila ia menunaikan haji dengan cara tamattu’ atau qiran. Namun, ia tidak boleh memakannya apabila ia melakukan haji ifrad. Adapun Imam Asy-Syafi’i berpendapat ia haram memakan sebagian dagingnya. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, Juz VII hlm. 398)
Dari keempat pendapat ulama madzhab tersebut dapat disimpulkan bahwa memakan sebagian daging hewan kurban sembelihannya sendiri, bagi seorang jama’ah haji, hukumnya berkisar antara sekedar boleh (mubah) dan haram.
Adapun bagi orang biasa, yang bukan jama’ah haji, ayat Al-Qur’an tersebut dan hadits-hadits shahih menunjukkan kebolehan mengambil dan memakan sebagian daging hewan kurban yang disembelihnya. Namun, jangan sampai ia melupakan perintah Allah Ta’ala;
وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ
Dan berikanlah sebagian dagingnya sebagai makanan bagi al-qani’ dan al-mu’tar.
Dalam ayat ini, Allah memerintahkan orang yang menyembelih hewan kurban untuk membagi-bagikan dagingnya kepada al-Qani’ dan al-Mu’tar. Al-Qani’ adalah orang miskin yang memiliki sifat qanâ’ah, merasa cukup dengan rizki pemberian Allah walaupun sedikit. Ia adalah orang miskin yang tidak pernah meminta-minta belas kasihan orang lain.
Adapun al-mu’tar adalah orang miskin yang menghadiri tempat pembagian sedekah dan semisalnya, tanpa mengucapkan ucapan meminta-minta. Ia hadir di tempat itu, sebagai tanda ia butuh bantuan ekonomi dan belas kasihan orang lain. Namun, ia menjaga harga dirinya dengan tidak mengucapkan ucapan permintaan bantuan. (Muhammad Thahir bin ‘Asyur, At-Tahrîr wa At-Tanwîr, Juz VII hlm. 399)
Jama’ah shalat Idul Adha
Dalam setiap waktu, setiap tempat, dan setiap keadaan; setan tidak akan pernah tinggal diam. Setan akan senantiasa menggoda dan menjerumuskan kita ke jalan kesesatan. Tidak terkecuali saat kita sedang melaksanakan ibadah penyembelihan hewan kurban. Di antara jebakan-jebakan setan dalam hal ini adalah menjadikan penyembelihan hewan kurban sebagai semata-mata ajang pamer dan berbangga diri. Setan berusaha keras menjerumuskan kita, agar hewan kurban yang kita sembelih tidak mengantarkan kita kepada ketakwaan dan sarana mempererat ukhuwah dengan sesama umat Islam.
Setan menjadikan ibadah penyembelihan hewan sebagai ajang pamer dan riya’ serta berbangga diri. “Ini lho, dusun kami, masjid kami, hanya terdiri dari 50 KK, atau 100 KK, tapi kami mampu menyembelih 25 ekor sapi, 50 ekor sapi, 75 ekor sapi. Ini lho, di dusun kami, masjid kami, semua hewan yang disembelih adalah sapi. Di sini, dusun kami, masjid kami, kambing itu tidak laku.”
Tidak berhenti sampai di situ, setan menjadikan penyembelihan hewan kurban sebagai sarana untuk menonjolkan penyakit kekikiran dan ketidakpedulian terhadap nasib sesama umat Islam yang mengalami kesusahan ekonomi. Di satu dusun, atau satu masjid, menyembelih 20 ekor sapi, 50 ekor sapi, 75 ekor sapi; tetapi penduduk muslim dusun tersebut atau masjid tersebut tidak terbetik sedikit pun di dalam hatinya untuk mengirimkan sekedar 5 ekor sapi, 10 ekor sapi, 20 ekor sapi untuk disembelih oleh saudara-saudaranya di daerah-daerah lain yang miskin, seperti daerah-daerah rawan kristenisasi, atau daerah-daerah minoritas muslim.
Lebih parah lagi, hampir 2 juta umat Islam di Jalur Gaza meregang nyawa. Tanpa makanan, minuman, dan obat-obatan yang memadai karena mengalami blokade total dan bombardir masif oleh penjajah zionis-Israel sejak lebih dari 600 hari yang lalu. Namun, hati mereka tidak tersentuh untuk mengirim setidaknya 5 ekor sapi, 10 ekor sapi, 20 ekor sapi, kepada umat Islam di Gaza. Atau setidaknya kepada pengungsi muslim Gaza di Gurun Sinai, Mesir dan perbatasan Yordania.
“Lho, ini hewan kurban dari harta kami, untuk dusun kami, masjid kami, tentu saja hanya boleh dinikmati oleh kami. Kami tidak rela hewan kurban kami dibawa ke daerah lain.” Begitu kata sebagian umat Islam, yang telah terperangkap dalam jaring-jaring bisikan setan. Na’ûdzu billâhi min dzâlika.
Jama’ah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah Ta’ala…
Jika kita masih menjadikan penyembelihan hewan kurban sebagai ajang riya’ dan berbangga diri, bukan sebagai sarana meningkatkan ketakwaan dan kepedulian kepada nasib sesama umat Islam yang kesusahan; niscaya selamanya ukhuwah Islamiyyah tidak akan pernah terealisasikan di alam nyata. Padahal Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu telah meriwayatkan bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
تَرَى الْمُؤْمِنِينَ فِي تَرَاحُمِهِمْ وَتَوَادِّهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، كَمَثَلِ الجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى عُضْوًا تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ جَسَدِهِ بِالسَّهَرِ وَالحُمَّى
”Engkau akan melihat orang-orang beriman dalam sikap saling menyayangi di antara mereka, saling mencintai di antara mereka, dan saling menyantuni di antara mereka, adalah laksana sebuah tubuh. Jika ada satu anggota tubuh yang sakit, seluruh anggota tubuh lainnya ikut merasakan sakit dengan mengalami sulit tidur dan demam panas.” (HR. Al-Bukhari no. 6011 dan Muslim no. 2586)
Sesungguhnya menginfakkan harta di jalan Allah, untuk membantu kaum muslimin yang mendapat kesusahan, adalah salah satu ciri utama kaum yang bertakwa. Tiada balasan yang lebih indah atas hal itu selain ridha Allah dan ampunan-Nya.
Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengampuni dosa seorang perempuan pelacur di zaman Bani Israil, karena jasanya memberi minum seekor anjing yang hampir mati kehausan. Renungkanlah, seorang wanita pelacur yang banyak dosa, dan seekor anjing, hewan yang dalam ilmu fikih termasuk najis mughalazhah alias najis berat.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwasanya Rasulullah ﷺ bersabda,
بَيْنَمَا كَلْبٌ يُطِيفُ بِرَكِيَّةٍ قَدْ كَادَ يَقْتُلُهُ الْعَطَشُ إِذْ رَأَتْهُ بَغِيٌّ مِنْ بَغَايَا بَنِي إِسْرَائِيلَ فَنَزَعَتْ مُوقَهَا فَاسْتَقَتْ لَهُ بِهِ فَسَقَتْهُ إِيَّاهُ فَغُفِرَ لَهَا بِهِ.
”Suatu ketika seekor anjing berjalan mengelilingi sebuah sumur dan ia hampir mati karena kehausan. Tiba-tiba ada seorang wanita pelacur dari kalangan Bani Israil [zaman sebelum diutusnya ﷺ] melihat anjing tersebut. Wanita pelacur itu melepaskan sepatunya dan mengambil air sumur dengannya, lalu memberi minum kepada anjing tersebut. Atas perbuatannya tersebut wanita pelacur itu diampuni [oleh Allah Ta’ala].” (HR. Al-Bukhari no. 3467 dan Muslim no. 2245)
Jama’ah shalat Idul Adha yang dirahmati Allah Ta’ala…
Marilah kita akhiri khutbah pada pagi hari yang mulia ini dengan melantunkan shalawat kepada suri tauladan kita, dan memanjatkan doa kepada Rabb sesembahan kita. Semoga keberkahan, keselamatan, keamanan, dan kedamaian senantiasa dilimpahkan kepada umat Islam di seluruh penjuru dunia.
إِنَّ اللَّهَ وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى النَّبِيِّ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا صَلُّوا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، وَبَارِكْ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ، فِي العَالَمِينَ إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ، وَارْضَ اللَّهُمَّ عَنْ خُلَفَائِهِ الرَّاشِدِينَ، وَعَنْ أَزْوَاجِهِ أُمَّهَاتِ المُؤْمِنِينَ، وَعَنْ سَائِرِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِينَ، وَعَنِ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ إِلَى يَوْمِ الدِّينِ، وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لَنَا و لِلمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ، وَالْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ، الأَحْيَاءِ مِنْهُمْ وَالأَمْوَاتِ، إِنَّكَ سَمِيعٌ قَرِيبٌ مُجِيبُ الدَّعَوَاتِ. يَا قَاضِيَ الْحَاجَاتِ.
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
رَبَّنَا إِنَّنَا آمَنَّا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَإِسْرَافَنَا فِي أَمْرِنَا وَثَبِّتْ أَقْدَامَنَا وَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
رَبَّنَا إِنَّنَا سَمِعْنَا مُنَادِيًا يُنَادِي لِلْإِيمَانِ أَنْ آمِنُوا بِرَبِّكُمْ فَآمَنَّا رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ.
رَبَّنَا ظَلَمْنَا أَنْفُسَنَا وَإِنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدَيْنَا وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ
رَبَّنَا اصْرِفْ عَنَّا عَذَابَ جَهَنَّمَ إِنَّ عَذَابَهَا كَانَ غَرَامًا
رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا
اللَّهُمَّ اجْعَلْ جَمْعَنَا هَذَا جَمْعًا مَرْحُومًا، وَاجْعَلْ تَفَرُّقَنَا مِنْ بَعْدِهِ تَفَرُّقًا مَعْصُومًا، وَلا تَدَعْ فِينَا وَلا مَعَنَا شَقِيًّا وَلا مَحْرُومًا.
اللَّهُمَّ أَعِزَّ الإِسْلامَ وَالْمُسْلِمِينَ، وَوَحِّدِ اللَّهُمَّ صُفُوفَهُمْ، وَأَجْمِعْ كَلِمَتَهُمْ عَلَى الحَقِّ، وَاكْسِرْ شَوْكَةَ الظَّالِمِينَ، وَاكْتُبِ السَّلاَمَ وَالأَمْنَ لِعِبادِكَ أَجْمَعِينَ.
اللَّهُمَّ انْصُرْ إِخْوَانَنَا الْمُسْلِمِينَ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَالْمُجَاهِدِينَ وَالْمَأْسُورِينَ فِي سَبِيلِكَ فِي غَزّةَ وَالضَّفَّةِ الْغَرْبِيَّةِ وَلُبْنَانَ وَسُورِيَّةَ وَالْيَمَنِ وَفِي كُلِّ مَكَانٍ وزَمَانٍ. اللَّهُمَّ وَحِّدْ صُفُوفَهُمْ وَثَبِّتْ أَقْدَامَهُمْ وَسَدِّدْ رَمْيَهُمْ وَانْصُرْهُمْ عَلَى الْيَهُودِ الْغَاصِبِينَ وَالنَّصَارَى الْحَاقِدِينَ وَمَنْ عَاوَنَهُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ وَ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُجْرِمِينَ وَاْلخَائِنِينَ.
اللَّهُمَّ يَا حَيُّ يَا قَيُّومُ يَا ذَا الجَلالِ وَالإِكْرَامِ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحَانَكَ بِكَ نَستَجِيرُ، وَبِرَحْمَتِكَ نَسْتَغِيثُ وَلاَ تَكِلْنَا إِلَى أَنْفُسِنَا طَرْفَةَ عَيْنٍ، ، وَأَصْلِحْ لَنَا شَأْنَنَا كُلَّهُ يَا مُصْلِحَ شَأْنِ الصَّالِحِينَ.
رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ .
وَالسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ