Antara Syukur, Riya’, dan Tanggung Jawab di Era Digital
Di era digital, media sosial sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Dari bangun tidur hingga menjelang tidur lagi, banyak orang tak lepas dari layar ponsel. Timeline kita dipenuhi dengan berbagai macam postingan: ada yang membagikan momen bahagia, ada yang berbagi inspirasi, ada juga yang sekadar pamer harta atau pencapaian.
Foto liburan mewah, video unboxing barang branded, hingga update saldo rekening—semuanya bisa kita lihat hanya dengan sekali scroll. Pertanyaannya: bagaimana seorang muslim seharusnya bersikap terhadap fenomena ini? Apakah boleh kita menampilkan harta di media sosial? Apakah itu bentuk syukur, atau justru riya’?
Di sinilah Islam hadir memberi panduan. Karena bagi seorang muslim, dunia maya pun bagian dari dunia nyata—ada adab, ada etika, ada pahala, bahkan ada hisab.
- Niat Adalah Pondasi
Dalam Islam, setiap amal bergantung pada niat. Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niat, dan setiap orang hanya mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.”
— (HR. al-Bukhari, no. 1; Muslim, no. 1907)
Maka, sebelum menekan tombol “unggah”, tanyakanlah pada diri sendiri:
Apakah ini bentuk syukur atau sekadar ingin dipuji?
Apakah ini untuk memberi inspirasi atau justru mengundang iri?
Niat bisa mengubah sesuatu yang sepele menjadi ibadah, tapi juga bisa menjadikan sesuatu yang mubah menjadi dosa.
Contoh sederhana: seseorang posting foto rumah barunya sambil menulis, “Alhamdulillah, ini semua karunia Allah. Semoga rumah ini menjadi tempat ibadah dan berbagi.” Itu bisa bernilai syukur. Tapi kalau caption-nya, “Akhirnya bisa ninggalin kontrakan, sekarang levelnya udah naik dong!” — ini condong ke riya’ dan kesombongan.
- Kesederhanaan Adalah Kemuliaan
Islam tidak melarang kita menikmati rezeki Allah. Bahkan Allah berfirman:
قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ
“Katakanlah: Siapakah yang berani mengharamkan perhiasan Allah yang telah Dia sediakan untuk hamba-hamba-Nya, dan rezeki yang baik-baik itu?”
— (QS. al-A‘rāf [7]: 32)
Namun, Islam menekankan kesederhanaan. Rasulullah ﷺ adalah pemimpin umat manusia, tapi beliau hidup penuh zuhud. Dalam riwayat disebutkan:
إِنَّ مِنَ السُّنَّةِ التَّوَاضُعَ فِي اللِّبَاسِ
“Sesungguhnya termasuk sunnah adalah tawadhu’ dalam berpakaian.”
— (al-Baihaqi, Syu‘ab al-Imān, 5/166)
Kesederhanaan bukan berarti miskin atau anti-nikmat. Ia berarti tidak berlebihan dan tidak menjadikan harta sebagai bahan kesombongan.
Di media sosial, kesederhanaan bisa tercermin dari cara kita menampilkan diri. Boleh saja berbagi kebahagiaan, tapi tidak perlu menjadikan feed kita katalog pamer kekayaan.
- Hindari Tabdzir dan Gaya Hidup Boros
Salah satu dampak media sosial adalah munculnya budaya konsumtif. Banyak orang membeli barang bukan karena butuh, tapi agar bisa dipamerkan. Inilah jebakan “biar keliatan punya” yang membuat banyak orang terjebak utang.
Allah sudah memperingatkan:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Sesungguhnya orang-orang yang boros itu adalah saudara-saudara setan.”
— (QS. al-Isrā’ [17]: 27)
Di era digital, tabdzir bukan hanya soal menghambur-hamburkan uang, tapi juga menormalisasi gaya hidup boros melalui postingan. Bayangkan, setiap kali kita mengunggah sesuatu yang mendorong orang lain untuk ikut-ikutan konsumtif, kita sebenarnya sedang ikut menebarkan budaya yang Allah benci.
- Menjaga Perasaan Sesama
Tidak semua orang hidup dalam kondisi yang sama. Saat kita posting makan malam di restoran mahal, mungkin ada followers kita yang sedang menahan lapar. Saat kita posting koleksi tas branded, mungkin ada yang sedang kesulitan membayar biaya sekolah anaknya.
Ibn Qudāmah al-Maqdisī pernah berkata:
فَإِنْ كَانَ فِي إِظْهَارِ النِّعْمَةِ أَذًى لِلْفُقَرَاءِ، فَإِنَّهُ يُكْرَهُ
“Jika menampakkan nikmat itu menyakiti orang-orang fakir, maka hal itu makruh.”
— (Mukhtaṣar Minhāj al-Qāṣidīn, hlm. 340)
Artinya, meski halal, bisa jadi menampakkan harta justru melukai hati orang lain. Maka seorang muslim hendaknya bijak: kalau pun ingin berbagi, lakukan dengan cara yang lembut, penuh empati, dan tidak menyinggung.
- Gunakan untuk Kebaikan
Media sosial bukan hanya ruang pamer, tapi juga bisa jadi ladang pahala. Bayangkan jika setiap posting kita bisa menginspirasi orang untuk bersyukur, bekerja keras, atau berbagi—betapa besar pahalanya.
Contoh perbandingan:
❌ “Akhirnya bisa beli mobil 3M cash, hidup memang harus hedon!”
✅ “Alhamdulillah, rezeki dari Allah bisa beli kendaraan sendiri. Semoga makin rajin bekerja dan tidak lupa berbagi.”
Kedua kalimat sama-sama menampakkan nikmat. Bedanya, yang pertama mengundang iri, sementara yang kedua mengalirkan syukur.
- Media Sosial Adalah Amanah
Seringkali kita lupa bahwa apa yang kita tulis, foto, atau rekam di media sosial akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Allah berfirman:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada satu kata pun yang diucapkannya, melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”
— (QS. Qāf [50]: 18)
Setiap posting bisa menjadi amal jariyah atau dosa jariyah. Maka, sebelum berbagi sesuatu tentang harta, tanyakanlah:
Apakah ini menambah hisabku atau menambah amal baikku?
Apakah ini sekadar memuaskan ego atau benar-benar membawa manfaat?
Penutup: Bijaklah, Karena Dunia Maya Pun Nyata
Media sosial adalah cermin diri. Ia bisa menjadi ajang syukur, dakwah, dan inspirasi. Tapi ia juga bisa berubah menjadi panggung riya’, kesombongan, dan tabdzir.
Sebagai muslim, kita diajarkan untuk selalu berhati-hati, bahkan dalam hal yang tampak sepele. Karena apa pun yang kita bagikan, tidak hanya dilihat oleh manusia, tapi juga dicatat oleh malaikat.
Jadi, mari gunakan media sosial dengan bijak. Jadikan ia sarana untuk menebar kebaikan, bukan sekadar etalase harta. Karena di akhirat nanti, setiap posting akan diputar kembali—dan semoga yang muncul adalah catatan amal baik, bukan penyesalan.
Oleh : Santri Darsya