BerandaKajianFikihYaumul Qarri dalam Sorotan Syariat: Ibadah, Hukum, dan Hikmah

Yaumul Qarri dalam Sorotan Syariat: Ibadah, Hukum, dan Hikmah

- Advertisement -spot_img

Pendahuluan

Setiap hari dalam kalender Islam memiliki makna, namun tak semua hari memancarkan keagungan yang sama. Di antara hari-hari istimewa itu, terdapat satu hari yang mungkin masih asing di telinga sebagian kaum Muslimin, yaitu Yaumul Qarri. Hari ini bukan sekadar tanggal biasa dalam bulan Dzulhijjah, tetapi memiliki kedudukan yang sangat tinggi di sisi Allah subḥānahu wa ta‘ālā.

Setelah puncak pelaksanaan ibadah haji di Arafah dan Hari Nahr (Idul Adha), Yaumul Qarri hadir sebagai masa transisi yang sarat makna — hari di mana para jamaah haji mulai menetap di Mina, merenung, berdzikir, dan melanjutkan serangkaian ibadah yang mendalam. Hari ini telah disebut oleh Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam sebagai hari teragung kedua setelah Hari Nahr, sebuah isyarat akan kemuliaan dan keutamaannya.

Apa yang membuat Yaumul Qarri begitu istimewa? Apa saja aktivitas yang dilakukan jamaah haji pada hari itu? Dan bagaimana kedudukannya dalam hukum fikih Islam? Artikel ini akan mengupasnya secara komprehensif.

Definisi Yaumul Qarri

Yaumul Qarri, atau sebagian menyebutnya Yaumul Qurri, adalah hari pertama dari hari-hari Tasyriq, yaitu tanggal 11 Dzulhijjah, sehari setelah Hari Raya Idul Adha (Yaumun Nahr). Hari ini memiliki keutamaan besar sebagaimana ditegaskan oleh Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam:

إنَّ أعظمَ الأيامِ عندَ اللهِ -تباركَ وتعالى- يومُ النحرِ ثمَّ يومُ القَّرِ

“Sesungguhnya hari yang paling agung di sisi Allah -Tabaraka wa Ta‘ala- adalah Hari Nahr (Idul Adha), kemudian Yaumul Qarri.” (HR. Abu Dawud, dari Abdullah bin Qarth, no. 1765)

Disebut Yaumul Qarri (hari menetap) karena pada hari ini jamaah haji mulai menetap dan beristirahat di Mina setelah menyelesaikan sebagian besar ritual haji seperti tawaf ifadhah, penyembelihan kurban (nahr), dan melempar Jumrah Aqabah.

“Disebut demikian karena para jamaah haji berhenti (menetap) dan beristirahat di Mina setelah Hari Nahr.” [Al-Azhari, Az-Zahir fi Gharib Alfazh Asy-Syafi’i, hlm. 125]

Semua jamaah haji diwajibkan tinggal di Mina pada hari-hari Tasyriq dan tidak diperbolehkan meninggalkan tempat tersebut sebelum waktunya.

“Jamaah haji harus tetap berada di Mina dan tidak diperkenankan mengakhiri manasik tanpa menyelesaikannya di sana.” [Ahmad Huthaibah, Syarh Kitab Al-Jami’ li Ahkam Al-‘Umrah wa Al-Hajj wa Az-Ziyarah, hlm. 3]

Aktivitas Jamaah Haji pada Yaumul Qarri

Berikut beberapa aktivitas utama jamaah haji pada hari Yaumul Qarri:

  1. Bermalam (Mabit) di Mina

Terdapat perbedaan pendapat ulama mengenai hukum mabit di Mina pada malam-malam Tasyriq:

  • Mazhab Hanafi: Mabit di Mina adalah sunnah, namun lebih utama dilakukan agar dapat melempar jumrah. Tidak ada konsekuensi bagi yang meninggalkannya, sebagaimana Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan kepada Abbas untuk tidak bermalam karena tugasnya menyediakan air bagi jamaah haji.
  • Mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanbali: Mabit di Mina pada malam-malam Tasyriq hukumnya wajib. Bagi yang tidak melaksanakannya tanpa uzur, dikenai dam (denda). Menurut pendapat jumhur, yang dimaksud mabit adalah menginap lebih dari separuh malam.

Bagi yang mempercepat meninggalkan Mina, cukup mabit dua malam (11–12 Dzulhijjah). Adapun yang menunda, maka mabit tiga malam (11–13 Dzulhijjah), sebagaimana firman Allah Ta‘ala:

 

وَاذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْٓ اَيَّامٍ مَّعْدُوْدٰتٍ…

“Dan berzikirlah kepada Allah pada hari-hari yang telah ditentukan jumlahnya. Barang siapa mempercepat (meninggalkan Mina) setelah dua hari, maka tidak ada dosa baginya. Dan barang siapa mengakhirkannya, juga tidak ada dosa baginya, yaitu bagi orang yang bertakwa…”
(QS. Al-Baqarah: 203)

  1. Melempar Jumrah

Pada hari ini, jamaah haji melempar tiga jumrah: Jumrah Sughra, Wustha, dan Kubra, masing-masing dengan tujuh batu kecil secara berurutan. Melempar jumrah merupakan bagian wajib dari manasik haji.

Disunnahkan untuk:

  • Bertakbir setiap kali melempar batu.
  • Menghadap kiblat dan berdiri sejenak sambil berdoa setelah melempar Jumrah Sughra dan Wustha.
  • Tidak berhenti untuk berdoa setelah melempar Jumrah Kubra.

[Kumpulan Penulis, Al-Mausu‘ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, hlm. 321]

 

Hukum-hukum yang Berkaitan dengan Yaumul Qarri

  1. Hukum Berpuasa pada Yaumul Qarri

Berpuasa pada Yaumul Qarri (11 Dzulhijjah) hukumnya haram, sebagaimana halnya dengan Hari Nahr dan seluruh hari Tasyriq. Pengecualian hanya berlaku bagi orang yang tidak memiliki hewan hadyu (kurban), berdasarkan hadits:

لَمْ يُرَخَّصْ في أيَّامِ التَّشْرِيقِ أنْ يُصَمْنَ، إلَّا لِمَن لَمْ يَجِدِ الهَدْيَ

“Tidak diberikan keringanan (disyariatkan) untuk berpuasa pada hari-hari Tasyriq kecuali bagi mereka yang tidak mendapatkan hadyu.” (HR. Al-Bukhari, dari Abdullah bin Umar dan ‘Aisyah radhiyallāhu ‘anhumā, no. 1997)

Mazhab Maliki, Hanbali, Syafi’i, dan Hanafi sepakat melarang puasa pada hari-hari ini, termasuk Yaumul Qarri, kecuali dalam kasus yang disebutkan.

  1. Hukum Menyembelih Hewan Kurban pada Yaumul Qarri

Penyembelihan hewan kurban boleh dilakukan pada:

  • Hari Nahr (10 Dzulhijjah), dan
  • Hari-hari Tasyriq setelahnya.

Menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali, waktu penyembelihan kurban hanya sampai 12 Dzulhijjah. Sedangkan mazhab Syafi’i memperbolehkan hingga akhir hari Tasyriq (13 Dzulhijjah). [Abdullah Ath-Thayyar, Al-Fiqh Al-Muyassar, hlm. 77–78]

 

Penutup

Yaumul Qarri bukan hanya bagian dari perjalanan manasik haji, tetapi juga momen perenungan dan ketundukan total di hadapan Allah subḥānahu wa ta‘ālā. Di hari inilah keteguhan hati para jamaah diuji: setelah keringat perjuangan Arafah dan Hari Nahr, mereka tidak langsung pulang, melainkan diperintahkan untuk tinggal, berdzikir, dan menyempurnakan amal.

Bagi umat Islam yang tidak berhaji pun, pemahaman tentang Yaumul Qarri memberikan pelajaran spiritual yang dalam: bahwa dalam ibadah, tidak hanya momentum besar yang dihargai, tapi juga ketekunan dalam menyempurnakan proses. Ia mengajarkan bahwa “menetap” dalam ketaatan setelah puncak ibadah, jauh lebih berat dan butuh kesabaran — namun justru di situlah letak nilai yang agung.

Semoga dengan mengenal Yaumul Qarri, kita semakin menghargai hikmah di balik setiap fase ibadah, dan terdorong untuk menjaga semangat ibadah kita, bahkan setelah puncak-puncaknya berlalu.

 

 

Oleh: Santri Darsya

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
12,700PengikutMengikuti
2,458PengikutMengikuti
9,600PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami