Daftar Isi
Oleh: Mujahid Ammar Syahida
(Mahasantri Ma’had Aly Ta’hil Al-Mudarrisin Darusy Syahadah)
Mukjizat vs Penyihir Fir’aun
Kisah pertempuran antara Nabi Musa dan para penyihir Fir’aun adalah salah satu cerita paling epik dalam Al-Qur’an. Selain karena Nabi Musa merupakan nabi yang paling sering disebutkan dalam Al-Qur’an, kisah ini juga diulang dalam beberapa surat yang berbeda.
Pada saat itu, Fir’aun menantang Nabi Musa untuk menghadapi para penyihirnya. Para penyihir melemparkan tali-temali dan tongkat mereka, yang kemudian berubah menjadi ular-ular yang seolah-olah hidup dan siap menyerang Nabi Musa. Dengan perintah Allah, Nabi Musa melemparkan tongkatnya, yang berubah menjadi ular besar dan melahap semua ular para penyihir. Ketika para penyihir menyaksikan kehebatan mukjizat tersebut, mereka segera bersujud dan menyatakan keimanan mereka.
Melihat kejadian itu, Fir’aun sangat murka dan mengancam akan menyalib serta memotong tangan dan kaki mereka. Namun, para penyihir dengan tegas menjawab:
قَالُوْا لَنْ نُّؤْثِرَكَ عَلٰى مَا جَاۤءَنَا مِنَ الْبَيِّنٰتِ وَالَّذِيْ فَطَرَنَا فَاقْضِ مَآ اَنْتَ قَاضٍۗ اِنَّمَا تَقْضِيْ هٰذِهِ الْحَيٰوةَ الدُّنْيَا ۗ
“Mereka (para penyihir) berkata, ‘Kami tidak akan memilih (tunduk) kepadamu atas bukti-bukti nyata (mukjizat), yang telah datang kepada kami dan atas (Allah) yang telah menciptakan kami. Maka putuskanlah yang hendak engkau putuskan. Sesungguhnya engkau hanya dapat memutuskan pada kehidupan di dunia ini.’” (QS. Taha: 72)
Salah satu alasan para penyihir beriman kepada Nabi Musa adalah karena pengetahuan mereka tentang sihir. Dalam kitab tafsir Madârik al-Tanzîl wa Haqâiq al-Ta’wîl, Imam an-Nasafi menjelaskan:
“Kejahilan Firaun tentang sihir membahayakannya (sehingga ia tetap berada dalam kekafiran), sedang pengetahuan para tukang sihir tentang sihir bermanfaat bagi mereka. Jadi, bagaimana dengan ilmu syar’i?”
Fir’aun tidak memiliki pengetahuan tentang sihir, ia hanya mengandalkan kekuasaannya untuk memerintah para penyihir. Karena ketidaktahuannya, ia mengira mukjizat Nabi Musa hanyalah sihir biasa. Berbeda halnya dengan para penyihir yang memiliki ilmu tentang sihir. Dengan pengetahuan mereka, mereka dapat membedakan antara sihir dan mukjizat. Ketika tongkat Nabi Musa berubah menjadi ular besar, mereka segera menyadari bahwa itu bukanlah sihir melainkan mukjizat dari Allah.
Mukjizat vs Kafir Quraisy
Kurang lebih 1.000 tahun setelah peristiwa Nabi Musa, di tanah Arab, seorang Nabi terakhir ditantang oleh kaumnya untuk menunjukkan mukjizatnya. Mereka berjanji akan beriman jika Nabi Muhammad menunjukkan mukjizat yang mereka minta, yaitu membelah bulan.
Pada malam yang telah ditentukan, kaum kafir Quraisy berkumpul untuk menyaksikan mukjizat tersebut. Nabi Muhammad berdoa kepada Allah, dan bulan pun terbelah. Semua yang hadir terkejut dan terpana menyaksikan peristiwa dahsyat itu. Namun, sebagian dari mereka berkata, “Ini hanyalah sihir, Muhammad adalah seorang penyihir.”
Meskipun ilmu sihir bukan hal yang asing bagi masyarakat Arab saat itu, mereka tahu bahwa efek sihir hanya terbatas pada orang-orang yang berada di sekitar pelakunya. Untuk memastikan kebenaran peristiwa tersebut, mereka mencegat para musafir yang baru tiba di Mekah dan menanyakan apakah mereka juga melihat bulan terbelah. Para musafir itu membenarkan bahwa mereka menyaksikan hal yang sama. Meskipun demikian, kaum Quraisy tetap menolak beriman dan malah terus mengolok-olok Nabi Muhammad sebagai penyihir.
Kejujuran Membawa Kebaikan
Apa yang membuat akhir dari kedua kisah ini berbeda? Dalam kisah pertama, para penyihir Fir’aun yang menyaksikan mukjizat Nabi Musa segera beriman karena mereka tahu dan jujur mengakui bahwa itu bukanlah sihir. Pengetahuan mereka membawa mereka pada keyakinan bahwa mukjizat tersebut adalah kebenaran.
Sementara itu, dalam kisah kedua, kaum kafir Quraisy yang juga menyaksikan mukjizat Nabi Muhammad tetap menolak beriman meskipun mereka tahu bahwa itu bukan sihir. Mengapa? Karena mereka tidak jujur pada diri mereka sendiri. Mereka membiarkan kesombongan menghalangi mereka untuk mengakui kebenaran. Sebagaimana yang disampaikan oleh nabi, bahwa kejujuran adalah kunci dari kebaikan. Nabi Muhammad bersabda:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ
“Hendaklah kalian berlaku jujur karena sesungguhnya kejujuran mengantarkan pada kebaikan, dan kebaikan menghantarkan ke surga.” (HR. Bukhori dan Muslim)
Di antara bentuk kejujuran adalah jujur pada diri sendiri, yaitu keberanian untuk mengakui kebenaran yang telah jelas di hadapan kita, meskipun itu mungkin bertentangan dengan ego, kepentingan pribadi, atau kepercayaan sebelumnya. Jujur pada diri sendiri berarti tidak menyangkal kebenaran yang tampak jelas, bersikap objektif terhadap kenyataan, dan menghindari pembenaran diri yang hanya didasarkan pada hawa nafsu atau kepentingan pribadi.
Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa kejujuran adalah awal dari setiap kebaikan. Ketika seseorang memintanya untuk memberi nasihat tentang cara bertaubat, beliau berkata, “Aku tidak menganjurkan kepada kalian kecuali hendaknya kalian berlaku jujur.” Mereka yang merenungkan nasihat ini akhirnya menyadari bahwa kejujuran membawa mereka kepada kebaikan.
Wallahu a’lam bish-shawab.