BerandaRenunganSejarahMenelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren

Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren

- Advertisement -spot_img

Bersama Pangeran Diponegoro, para ulama bahu membahu melakukan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda.

Mereka berasal dari berbagai perguruan Islam di wilayah kerajaan Mataram.

Dalam karyanya, “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855“, Peter Carey menulis bahwa kurang lebih ada 108 kiai, 31 haji, 15 syekh, 12 penghulu Keraton Yogyakarta, dan 4 kiai-guru (mursyid tarekat) yang turut berperang bersama Diponegoro.

Yang paling terkenal tentu saja Kiai Mojo, ideolog Perang Jawa yang banyak disebut sebagai penasehat spiritual-intelektual sang pangeran.

Menurut sejarawan asal Inggris yang telah meneliti perjuangan Pangeran Diponegoro sejak 30 tahun silam itu, dukungan dari para ulama datang karena sejak kecil Diponegoro sering mengunjungi berbagai pesantren di wilayah Yogyakarta.

Selain itu, Pangeran juga sudah mendapat tempaan secara spiritual oleh nenek buyutnya, Ratu Ageng yang dikenal salehah.

Setelah pangeran ditangkap, kredo perjuangan diubah dengan berpegang teguh pada QS. At-Taubah ayat 122.

Perubahan strategi ini dijalankan dengan cara yang khas; dari perjuangan bersenjata pedang, beralih ke perjuangan di bidang pendidikan.

Kelak, dari metode ini lahir ribuan pejuang yang bukan hanya mahir dalam berbagai ilmu agama, melainkan juga tangguh di medan perang kemerdekaan.

Setelah Pangeran Diponegoro ditangkap, para kiai yang menjadi perwira tinggi dalam kesatuan tempur melakukan langkah diaspora alias menyebar diri.

Kemudian mereka mendirikan sebuah masjid dan merintis pondok pesantren untuk  mendidik masyarakat dengan nilai-nilai keislaman sehingga di kemudian hari lahir para pejuang tangguh yang sadar dengan kewajiban mereka.

Langkah perubahan strategi perjuangan ini salah satunya berpedoman pada QS. At-Taubah 122

وَمَا كَانَ الْمُؤْمِنُوْنَ لِيَنْفِرُوْا كَاۤفَّةًۗ فَلَوْلَا نَفَرَ مِنْ كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَاۤىِٕفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوْا فِى الدِّيْنِ وَلِيُنْذِرُوْا قَوْمَهُمْ اِذَا رَجَعُوْٓا اِلَيْهِمْ لَعَلَّهُمْ يَحْذَرُوْنَ

“Dan tidak sepatutnya orang-orang mukmin itu semuanya pergi (ke medan perang).

Mengapa sebagian dari setiap golongan di antara mereka tidak pergi untuk memperdalam pengetahuan agama mereka dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali, agar mereka dapat menjaga dirinya.”

Langkah strategis seperti ini ditempuh untuk mengimbangi taktik benteng stelsel (mendirikan banyak benteng kecil untuk menjepit gerak langkah pasukan Diponegoro), dalam Perang Jawa yang sebelumnya mereka alami.

Mereka membuka lahan baru (mbabat alas) bersama pengikutnya maupun menempati desa-desa yang miskin nilai agamanya.

Misalnya, Kiai Jamsari yang berasal dari Banyumas, mendirikan sebuah perguruan Islam di Solo. Kelak, pesantren tua ini lebih masyhur disebut dengan Pesantren Jamsaren, yang dinisbatkan ke nama pendirinya.

Di Magelang, terdapat Pondok Pesantren Pabelan yang dibangun kembali pada tahun 1965 oleh KH. Hamam Dja’far, alumni Tebuireng dan Gontor.

Dalam keluarga Hamam mengalir darah ulama yang diturunkan oleh Kiai Haji Muhammad Ali bin Kiai Kertotaruno, pendiri Pondok Pabelan (sekitar tahun 1800-an) yang pertama, yang juga pengikut setia Pangeran Diponegoro.

Menurut masyarakat setempat, Kiai Kertotaruno adalah keturunan Sunan Giri, salah satu wali penyebar agama Islam di Tanah Jawa.

Di Wonosobo, terdapat Pondok Pesantren Al-Asy’ariyah Kalibeber yang terletak di desa Kalibeber, Kecamatan Mojotengah.

Pesantren Al-Qur’an yang mencapai keemasan di era kepemimpinan KH. Muntaha Al-Hafidz ini dirintis oleh Raden Hadiwijaya, anak dari Kiai Nida Muhammad, salah seorang ulama yang ikut mendampingi Diponegoro.

Usai penangkapan Diponegoro, terjadi perburuan sisa-sisa pasukannya. Banyak di antara mereka yang kemudian menyamar menjadi rakyat biasa dan mengubah namanya.

Termasuk Hadiwijaya yang mengubah namanya menjadi Muntaha. Tahun 1832, dia menyingkir ke Dusun Karangsari, Desa Kalibeber.

Di sana, dengan dibantu oleh Mbah Glondong Jogomenggolo, salah seorang tokoh lokal yang sangat berpengaruh, Kiai Muntaha merintis sebuah padepokan dan langgar sederhana di Dukuh Karangsari, Sarimulyo, Kalibeber, di pinggir Kali Prupuk.

Di langgar sederhana ini, Kiai Muntaha mengajar agama. Masyarakat yang sebelumnya awam di bidang agama mulai tertarik dan mendalami agama Islam. Langgar tersebut kemudian berkembang menjadi sebuah masjid sederhana.

Di Temanggung, terdapat nama ulama legendaris, Kiai Subkhi, yang banyak dirujuk oleh para pejuang pada saat perang.

Kiai Subkhi adalah putra salah satu pengikut Diponegoro yang setelah undur diri dari medan tempur memutuskan mendirikan sebuah pesantren di sebuah desa bernama Parakan.

Di masa-masa awal revolusi fisik itu, setiap hari ribuan tokoh pejuang mampir ke Parakan dalam perjalanan mereka ke front-front pertempuran di Magelang, Ambarawa, Ungaran, dan Semarang.

Beberapa di antaranya bahkan datang dari berbagai daerah di Jawa Timur dan Jawa Barat. Kiai Subkhi, saat itu 90-an tahun, adalah magnet yang menarik mereka ke Parakan. Para pejuang itu ingin didoakan oleh sang kiai sepuh.

Di antara mereka misalnya: Panglima Besar Jenderal Sudirman, KH. Wahid Hasyim, KH. Zainul Arifin, KH. Masykur, Mr. Mohammad Roem, Mr. Kasman Singodimejo, dan Anwar Cokroaminoto (Putra H.O.S. Cokroaminoto).

Di wilayah mancanagari timur, jejak perjuangan laskar Diponegoro bisa dilacak melalui teritorial Magetan.

Di kota ini, ada Pesantren Takeran, yang didirikan oleh Kiai Kasan Ngulama (Kiai Hasan Ulama), seorang guru Tarekat Syattariyah, yang juga merupakan putra Kiai Khalifah, pengikut setia Pangeran Diponegoro.

Kiai Khalifah alias Pangeran Kertopati usai perang mengungsi ke arah timur Gunung Lawu, Magetan, dan membangun sebuah padepokan agama di Bogem, Sampung, Ponorogo.

Sezaman dengan Kiai Khalifah, seorang sahabatnya saat berperang, Kiai Abdurrahman, juga mendirikan sebuah masjid di Dusun Tegalrejo, Desa Semen, Kecamatan Nguntoronadi, Magetan.

Di kemudian hari, salah seorang putra Kiai Khalifah, yaitu Kiai Hasan Ngulama, mendirikan pesantren di Takeran Magetan. Pondok yang merupakan cikal bakal Pesantren Sabilul Muttaqin (PSM).

Sedangkan Kiai Abdul Wahid, veteran lainnya, merintis pesantren di Desa Ngroto. Adapun anaknya, Asy’ari, di kemudian hari mendirikan pesantren di Desa Keras.

Nama terakhir ini adalah ayah dari KH. M. Hasyim Asy’ari.

Di Pacitan, ada Pondok Tremas yang banyak melahirkan ulama besar, dari Syaikh Mahfudz Attarmasi, Mbah Hamid Pasuruan, Kiai Ali Maksum Krapyak, Kiai Zubair Umar, Rektor IAIN Walisongo Semarang; hingga Menteri Agama era 1970-an, Prof. Mukti Ali.

Pondok tua ini berdiri tepat ketika Perang Jawa berakhir, 1830. Pendirinya, Kiai Abdul Manan Dipomenggolo, adalah menantu perwira laskar Diponegoro yang bernama asli Raden Ngabehi Honggo Widjoyo.

Kiai Manan ini adalah salah satu perintis hubungan intelektual Nusantara dan Mesir, sebab beliau pernah menunut ilmu di Al-Azhar dan mendirikan sebuah ruwaq Jawi alias semacam asrama tempat tinggal para penuntut ilmu asal Nusantara.

KH. Maimun Zubair, dalam al-‘Ulama al-Mujaddidun, menyebut jika Kiai Mannan ini berjasa dalam mengokohkan Mazhab Syafi’i di Jawa.

Demikian sebab beliau pernah berguru kepada Syaikh Ibrahim Al-Bajuri, Rektor al-Azhar (1847-1860), yang karyanya banyak diapresiasi dunia Islam hingga kini.

Falsafah Pohon Sawo

Zainul Milal Bizawie dalam Masterpiece Islam Nusantara: Sanad dan Jejaring Ulama-Santri (1830-1945)” menjelaskan, para ulama veteran Perang Jawa berkomitmen dengan penanda di lokasi masing-masing sebagai wujud persatuan dan satu tekad melawan Belanda.

Penanda itu adalah adanya dua pohon sawo di depan tempat tinggal masing-masing. Pohon sawo ini mengandung filosofi sawwu shufufakum yang artinya “rapatkan barisanmu”.

Mereka mengacu pada hadits Rasulullah ﷺ dari shahabat Anas bin Malik bahwa beliau ﷺ bersabda

سَوُّوا صُفُوفَكُمْ فَإِنَّ تَسْوِيَةَ الصَّفِّ مِنْ تَمَامِ الصَّلَاةِ

Luruskanlah barisanmu karena lurusnya barisan termasuk menegakkan shalat.” (HR. Bukhari)

Peralihan strategi dari perjuangan bersenjata ke perjuangan pencerdasan masyarakat di bidang pendidikan ini di kemudian hari menampakkan hasilnya.

Usai perang, beberapa pesantren yang didirikan oleh anak-cucu laskar Diponegoro maupun muridnya semakin bertumbuh kembang.

Sungguh pun secara kasat mata berakhir manakala Sang Pangeran ditangkap Belanda, namun secara faktual justru dimulai manakala strategi perjuangan diubah: dari medan perang ke arena pendidikan.

Di kemudian hari, sejarah berulang. Perlawanan terhadap kolonialisme tetap dilanjutkan oleh anak cucu laskar Diponegoro, khususnya pada saat perang kemerdekaan, 1945-1950.

 

(Sumber: Makalah berjudul “Menelusuri Jejak Laskar Diponegoro Di Pesantren” yang ditulis oleh Rizal Mumaziq di Jurnal Falasifa, Vol. 7 Nomor 1 Maret 2016 | 139)

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami