BerandaKajianUsrohMenyusui Anak Bukan Sekedar Memberikan Nutrisi

Menyusui Anak Bukan Sekedar Memberikan Nutrisi

- Advertisement -spot_img

Saat seorang anak terlahir ke dunia, seperangkat ketentuan sudah Allah tetapkan untuk terjaminnya kebaikannya di masa depan.  Salah satunya adalah dengan menetapkan perintah bagi para ibu untuk menyusui anaknya selama dua tahun yang kemudian dalam dunia kesehatan akan di dibagi dalam dua fase yaitu fase pemberian ASI ekslusif pada usia 0-6 bulan dan ASI disertai MAPSI ( Makanan Pendamping ASI ) pada masa setelahnya sampai dua tahun.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” [QS. Al-Baqarah: 233]

Lafadz ayat: [وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ] di sini, bentuknya adalah khobar (pengabaran) tapi bermakna perintah, sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mandzur dalam Lisanul Arab (8/125) dan As-Sa’di dalam tafsirnya. Al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata: “Ini merupakan petunjuk dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada para ibu agar mereka menyusui anak-anaknya dengan penyusuan yang sempurna yaitu 2 tahun, maka tidak dianggap sebagai ‘menyusu’ jika lebih dari itu.

Selain perintah dalam ayat ini, Allah juga memberikan ketentuan rukhshoh bagi wanita yang  menyusui untuk tidak berpuasa di bulan ramadhan, jika ia khawatir terhadap dirinya sendiri atau khawatir terhadap anaknya jika ia tetap berpuasa dalam kondisi menyusui. Syariat tidak menyuruh seorang ibu  berhenti menyusui untuk melakukan puasa yang hukumnya wajib,  tapi malah memberikan keringanan berpuasa agar dapat menyusui dengan baik. Tentunya ini menunjukkan pentingnya menyusui dalam Islam.

Mari kita ingat pula kisah wanita Al-Ghamidiyyah yang mengaku berzina dan minta dirajam, tapi  Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda hukuman rajamnya sampai ia melahirkan dan menyapih anaknya. Kami nukilkan kisahnya secara ringkas dari hadits Buraidah radhiyallahu ‘anhu :

“Lalu datang seorang wanita Al-Ghamidiyyah, ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku telah berzina, maka sucikanlah aku!” Dan Rasulullah menolaknya. Ketika keesokan harinya, wanita itu berkata: “Wahai Rasulullah, mengapa engkau menolakku? Mungkin engkau menolakku sebagaimana engkau telah menolak Ma’iz, maka demi Allah aku ini hamil!” Rasulullah berkata: “Tidak, pergilah sampai engkau melahirkan.

” Ketika ia sudah melahirkan, ia mendatangi Rasulullah dengan membawa bayinya pada sebuah kain, ia berkata: “Ini aku sudah melahirkan.” Rasulullah berkata: “Pergilah dan susuilah ia sampai engkau menyapihnya!” Ketika ia telah menyapihnya, ia mendatangi Rasulullah dengan bayinya yang membawa remukan roti di tangannya, maka ia berkata: “Ini wahai Nabi Allah, aku sudah menyapihnya dan ia sudah makan makanan.”

Maka anak itu diserahkan kepada seseorang dari kaum muslimin, kemudian beliau memerintahkan untuk merajamnya, maka digalikan untuknya lubang sedalam dadanya lalu beliau memerintahkan orang-orang, kemudian mereka merajamnya.” [HR. Muslim no. 1695, Abu Dawud no. 4442, Ahmad no. 22999, Ibnu Abi Syaibah no. 28809, dll]

Seandainya menyusui bayi dengan ASI adalah perkara yang sepele atau tidak penting bagi bayi tersebut, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menunda hukum rajam tersebut.

Bahkan disebutkan dalam hadits yang shahih bahwa Ibrahim putra Rasulullah yang wafat saat masih berusia 16 atau 18 bulan pun menyempurnakan persusuannya di surga. Dari  Al-Barra’ radhiyallahu ‘anhu berkata:

لَمَّا تُوُفِّىَ إِبْرَاهِيمُ – عَلَيْهِ السَّلاَمُ – قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ لَهُ مُرْضِعًا فِى الْجَنَّةِ »

Ketika Ibrahim meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ia memiliki ibu susu di surga.”

[HR. Al-Bukhari no. 1316, 3082 & 5842, dll]

Peran Ayah dalam Menyusui

Di saat seorang  ibu berupaya untuk dapat menyusui anaknya sebagaiman yang Allah tetapkan, maka di sini peran yang harus diambil oleh seorang ayah adalah mencukupi kebutuhan nafkah dan seluruh kebutuhan ibu sehingga ibu tidak perlu memikirkan hal lain selain konsentrasi terhadap anak yang sedang disusuinya. Bukan malah meninggalkan anaknya bersama orang lain untuk  bekerja agar bisa membelikan susu formula yang pastinya tidak sebanding dengan jika ia menyusui anaknya sendiri.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman :

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf.” [QS. Al-Baqarah : 233]

Selain itu, para ayah juga perlu memberikan dukungan kepada istrinya untuk dapat menyusui dengan baik, dengan memberikan bantuan yang diperlukan, memotivasi saat ASI tidak langsung lancar dan banyak. Tak kalah penting juga, para ayah sangat harus menjaga kestabilan emosi istrinya saat menyusui, karena kualitas ASI sangat ditentukan dari kondisi emosi dan kejiwaan ibu.

Tak Sekadar Kebutuhan Gizi

Akhir-akhir ini, insya Allah pemahaman masyarakat akan pentingnya ASI sudah cukup baik (terutama dari kalangan berpendidikan). Hal ini terlihat dengan  adanya upaya untuk memberikan kemudahan menyusui secara maksimal dengan banyaknya faslitas ruang laktasi/menyusi di kantor-kantor dan ruang publik, jasa antar ASI bahkan bank ASI yang controversial.

Termasuk juga dengan upaya para ibu memiliki stok  ASI mereka dengan cara memompanya dan menyimpan di mesin pendingin. Sehingga saat ibu meninggalkan anaknya, anak tetap bisa mendapatkan ASI  tanpa harus beralih ke susu formula.

Hal ini tentu saja harus dicermati dengan kesadaran bahwa menyusui bukan hanya sekedar memberi ASI yang kaya menfaat kepada anak agar tumbuh kembangnya baik atau sekedar memenuhi kebetuhan fisik  anak berupa nutrisi.

Tapi di balik menyusui ada banyak aspek lain yang juga tidak kalah penting seperti faktor psikologis yakni membangun kedekatan/bonding antara ibu dan anak yang akan sangat penting untuk menumbuhkan kepercayaan anak kepada dirinya dan dunia.

Ada kasih sayang yang diberikan, ada suara dan degup jantung ibu yang didengar sebagai sumber kenyamanan dan ketenangan dan masih banyak hal lain yang tidak bisa didapatkan tanpa faktor kehadiran ibu saat menyusui secra langsung. Wallahu A’lam bish Shawwab.

 

 

Penulis : Ustadzah Suryani Arfa

Editor    : Akhukum Fillah

 

- Advertisement -spot_img
- Advertisement -spot_img
Stay Connected
16,985FansSuka
2,458PengikutMengikuti
61,453PelangganBerlangganan
Must Read
- Advertisement -spot_img
Related News
- Advertisement -spot_img

Silakan tulis komentar Anda demi perbaikan artikel-artikel kami